Mohon tunggu...
Indra Wardhana
Indra Wardhana Mohon Tunggu... Konsultan - Advance Oil and Gas Consulting

Expert in Risk Management for Oil and Gas, Security and Safety

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemerintah Indonesia : Pengabaian Sejarah dan Manipulasi Hak Tanah Ulayat untuk Kepentingan Kolonial Modern !

15 Desember 2024   18:13 Diperbarui: 15 Desember 2024   18:30 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sultan Sepuh Jaenudin II Arianatareja - Keraton Kasepuhan,Cirebon

 

 

 

Pemerintah Indonesia:

Pengabaian Sejarah dan Manipulasi Hak Tanah Ulayat 

Keraton Kasepuhan-Kesultanan Cirebon 

untuk Kepentingan Kolonial Modern!

Indra Wardhana SE, MSc HSE-aud

December 15th 2024

Sultan Sepuh Jaenudin II Arianatareja - Keraton Kasepuhan,Cirebon
Sultan Sepuh Jaenudin II Arianatareja - Keraton Kasepuhan,Cirebon

Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi setiap individu dalam masyarakat. Selain memiliki nilai ekonomis yang dapat dicadangkan sebagai sumber pendukung kehidupan manusia di masa mendatang, tanah juga mengandung aspek spiritual dalam lingkungan dan kelangsungan hidupnya. Tanah merupakan tempat pemukiman, tempat melakukan kegiatan manusia bahkan sesudah matipun masih memerlukan tanah.1 Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pemilikan tanah diawali dengan menduduki suatu wilayah yang oleh masyarakat adat disebut sebagai tanah komunal (milik bersama). Khususnya di wilayah pedesaan, tanah ini diakui oleh hukum adat tak tertulis baik berdasarkan hubungan keturunan maupun wilayah. Kedudukan tanah dalam hukum adat sangat penting. Ada 2 hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu:2 (1Achmad Chulaemi, Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Tertentu Dalam Rangka Pembangunan, Semarang: Majalah Masalah-Masalah Hukum Nomor 1 FH UNDIP, 1992), hlm 9. 2 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988), hlm.197 1). Karena sifatnya, yakni :

1. merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan terkadang menjadi lebih menguntungkan.

2. Karena faktanya, yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu:

  • Merupakan tempat tinggal persekutuan.
  • Memberikan penghidupan kepada persekutuan.
  • Merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan.
  • Merupakan pula tempat tinggal kepada dayang dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.

Berdasarkan penguasaannya maka tanah adat dibedakan antara tanah adat yang dikuasai oleh kelompok (komunal) yang populer dengan sebutan tanah ulayat; dan tanah adat yang dikuasai oleh individual. Penyebutan atau istilah yang digunakan bagi tanah adat (komunal dan individual) tersebut berbeda-beda pada masing-masing lingkungan hukum adat yang ada dan berlaku. Tanah ulayat dikenal dengan beberapa istilah sesuai dengan penggunaan dan pemanfaatannya seperti pertuanan (Ambon -- tanah wilayah sebagai kepunyaan, panyampeto (Kalimantan -- sebagai tempat yang memberi makan, pewatasan (Kalimantan -- sebagai daerah yang dibatasi), wewengkon (Jawa), prabumian (Bali) atau, sebagai tanah yang terlarang bagi orang lain (totabuan -- Bolaang Mongondouw). Akhirnya dijumpai juga istilah-istilah: Torluk (Angkola), limpo (Sulawesi Selatan), muru (Buru), payar (Bali), paer (Lombok) dan ulayat (Minangkabau).3 Sedemikian pentingnya arti tanah bagi manusia, Indonesia sebagai negara agraris memandang perlu mengatur politik hukum di bidang pertanahannya (konsepsi agraria dalam arti sempit) dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk menjalankan amanat konstitusi, Pemerintah membentuk Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1960. Dengan berlakunya UndangUndang Pokok Agraria sebagai hukum tanah nasional di Indonesia tersebut sering terjadi permasalahan pertanahan.Ada berbagai saluran yang dapat ditempuh oleh para pihak yang bersengketa untuk mendapatkan solusi dari sengketa pertanahan.Para pihak yang berperkara dapat menempuh jalur litigasi dan/atau jalur non litigasi. Jalur litigasi yang dimaksud adalah melalui lembaga peradilan yaitu Peradilan Umum (yang menyangkut unsur pidana dan maupun perdata (antara lain terkait dengan masalah tuntutan ganti rugi dan perbuatan melawan hukum)) dan melalui Peradilan Tata Usaha Negara (terkait dengan sengketa surat keputusan yang bersifat einmalig, konkrit, dan sekali selesai). Sedangkan melalui jalur non litigasi dapat ditempuh dengan rekonsiliasi, negosiasi, mediasi dan arbitrase.4 Selain bentuk penyelesaian melalui pengadilan umum dan penyelesaian di luar pengadilan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa di atas, dalam masyarakat yang masih kental dengan adat, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian melalui hukum adat. Perdamaian merupakan nilai-nilai yang mendapat dukungan kuat dari masyarakat. Seperti halnya konflik pertanahan yang terjadi antara Pemerintah Kota Cirebon dengan Keraton Kasepuhan Cirebon yang mana kedua belah pihak beranggapan bahwa tanah-tanah tersebut adalah miliknya. Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dan dengan berdasarkan kepada Diktum Keempat huruf A Undang-Undang tersebut, maka tanah-tanah yang dikuasai oleh eks Kesultanan-Kesultanan itu, telah diambil alih oleh Pemerintah Daerah Kota Cirebon karena tanah-tanah itu dikategorikan sebagai tanah swapraja/bekas swapraja, yang dilakukan melalui Panitia Landreform Kota Praja Cirebon. Pihak Pemerintah Kota Cirebon beranggapan bahwa tanah-tanah tersebut adalah tanah swapraja/bekas swapraja yang kemudian diambil alih dan digunakan untuk kepentingan pemerintah. Sedangkan di lain pihak yaitu pihak Keraton Kasepuhan Cirebon beranggapan bahwa tanah-tanah tersebut bukan merupakan tanah swapraja/bekas swapraja. Menurut pihak Keraton, tanah-tanah tersebut adalah tanah warisan turun temurun (wewengkon) nenek moyang yang kemudian diambil oleh negara dan digunakan atas kepentingan negara.

(3) Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid I Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Djambatan, 1970), hlm.180.

(4) Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan, (Jakarta: Margaretha Pustaka, 2012), hlm 328.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun