Gambaran Warisan Ekonomi Indonesia di Era Jokowi:Â
Pasak Lebih Besar dari Tiang?
Indra Wardhana
Â
Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia telah mengalami sejumlah transformasi ekonomi yang ambisius, mulai dari pembangunan infrastruktur besar-besaran hingga dorongan untuk menarik investasi asing. Namun, di balik prestasi yang sering diklaim, muncul kekhawatiran serius mengenai arah perekonomian Indonesia. Dengan postur fiskal yang menunjukkan defisit berkelanjutan dan ketergantungan pada utang, banyak pihak menilai ekonomi Indonesia saat ini seperti "pasak lebih besar daripada tiang," yang membawa bayangan suram di masa depan.
Defisit yang Terus Menganga
Data fiskal menunjukkan bahwa belanja negara (14,59-15,18% dari PDB) terus melampaui pendapatan negara (12,30-12,36% dari PDB) (sumber:APBN 2025). Dengan keseimbangan primer yang tetap negatif (-0,15% hingga -0,61%), Indonesia harus terus mencari utang untuk menutupi kekurangan anggarannya. Meskipun defisit ini dianggap wajar untuk mendorong pertumbuhan melalui belanja produktif, kenyataannya adalah bahwa efisiensi belanja masih jauh dari optimal. Proyek-proyek mangkrak, pembengkakan biaya, hingga infrastruktur yang tidak memberikan dampak ekonomi langsung, semuanya menjadi tanda tanya besar.
Ketergantungan pada Utang
Dalam beberapa tahun terakhir, utang pemerintah meningkat secara signifikan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, rasio utang terhadap PDB mencapai sekitar 39% pada tahun 2023, meningkat drastis dibandingkan periode awal pemerintahan Jokowi. Utang ini sebagian besar digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur seperti jalan tol, bandara, dan pelabuhan. Namun, pertanyaan yang muncul adalah: apakah proyek-proyek tersebut memberikan manfaat ekonomi yang setara dengan biaya yang dikeluarkan?
Ketergantungan pada utang menjadi semakin berisiko di tengah kenaikan suku bunga global dan ketidakpastian ekonomi dunia. Jika penerimaan negara tidak dapat meningkat secara signifikan, pemerintah akan menghadapi tantangan besar untuk membayar bunga utang, apalagi melunasi pokoknya.
Ekonomi yang Rentan pada Faktor Eksternal
Perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor komoditas seperti batu bara, minyak kelapa sawit, dan nikel. Ketergantungan ini membuat ekonomi nasional sangat rentan terhadap fluktuasi harga global. Di sisi lain, ketegangan geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina dan perlambatan ekonomi di negara-negara maju menambah ketidakpastian permintaan global.
Reformasi struktural untuk mendorong industrialisasi dan diversifikasi ekonomi masih berjalan lambat. Sektor manufaktur yang diharapkan menjadi motor pertumbuhan justru stagnan, sementara Indonesia tertinggal dalam pengembangan sektor teknologi dan energi terbarukan.
Inflasi dan Daya Beli yang Tergerus
Meskipun inflasi domestik masih relatif terkendali dibandingkan banyak negara lain, daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah terus menurun. Lonjakan harga bahan pokok dan energi telah membuat banyak rumah tangga menghadapi tekanan ekonomi yang lebih berat. Di sisi lain, subsidi yang diharapkan menjadi bantalan bagi kelompok rentan sering kali tidak tepat sasaran.
Kritik Terhadap Kebijakan Pemerintah
- Fokus Berlebihan pada Infrastruktur: Meskipun pembangunan infrastruktur adalah langkah positif, orientasi pemerintah yang berlebihan terhadap proyek-proyek besar telah mengorbankan sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan. Padahal, investasi pada modal manusia akan memberikan dampak jangka panjang yang lebih signifikan.
- Minimnya Efisiensi dan Transparansi: Pengelolaan anggaran sering kali diwarnai dengan masalah efisiensi. Proyek yang diumumkan besar-besaran di awal sering kali tidak selesai tepat waktu, bahkan terancam mangkrak.
- Reformasi Pajak yang Lambat: Tax ratio Indonesia masih stagnan di kisaran 10-12%, jauh di bawah standar internasional. Upaya meningkatkan penerimaan pajak, termasuk dari sektor digital dan informal, berjalan lamban dan terhambat oleh birokrasi.
Masa Depan yang Penuh Ketidakpastian
Dengan kondisi fiskal yang terus-menerus defisit, ketergantungan pada utang, dan tantangan global yang semakin berat, masa depan ekonomi Indonesia berada dalam situasi yang rentan. Jika pemerintah tidak mengambil langkah-langkah drastis untuk meningkatkan efisiensi belanja, mengurangi ketergantungan pada utang, dan mendorong pertumbuhan sektor-sektor strategis, Indonesia bisa terjebak dalam stagnasi ekonomi.
Sebagai negara dengan populasi besar dan sumber daya melimpah, Indonesia memiliki potensi besar untuk bangkit. Namun, tanpa kebijakan yang tepat dan eksekusi yang efektif, potensi ini hanya akan menjadi mimpi yang tidak terwujud. Pemerintah Jokowi dan kabinetnya harus bertanggung jawab untuk meninggalkan warisan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan bagi generasi mendatang. Jika tidak, masa depan yang suram akan menjadi kenyataan yang tidak terhindarkan.
Pernyataan di atas didasarkan pada analisa pribadi sebagai berikut :
Gambaran Ekonomi Indonesia:Â
Perekonomian Indonesia saat ini berada pada persimpangan jalan. Di satu sisi, pembangunan infrastruktur masif dan upaya reformasi ekonomi yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo telah memberikan dorongan positif bagi beberapa sektor. Namun, di sisi lain, sejumlah tantangan struktural yang belum terselesaikan dan kebijakan fiskal yang bergantung pada utang memunculkan kekhawatiran tentang keberlanjutan ekonomi nasional. Dengan kondisi "pasak lebih besar daripada tiang," prospek ekonomi Indonesia menuju masa depan yang penuh ketidakpastian menjadi perhatian utama.
Analisis Postur Makro Fiskal
- Pendapatan Negara (12,30-12,36% dari PDB)
Pendapatan negara Indonesia relatif rendah dibandingkan negara-negara lain dengan tingkat ekonomi serupa. Rasio tax-to-GDP masih stagnan, menunjukkan bahwa basis perpajakan perlu diperluas, khususnya pada sektor digital dan informal. Kurangnya efektivitas dalam penarikan pajak menjadi tantangan besar, yang jika tidak segera diatasi, akan membatasi kapasitas fiskal negara untuk mendanai pembangunan. - Belanja Negara (14,59-15,18% dari PDB)
Belanja negara yang tinggi menunjukkan komitmen pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, banyaknya proyek infrastruktur besar-besaran yang pembangunannya tidak efisien atau mangkrak menjadi tanda tanya besar atas manfaat belanja ini. Masalah klasik seperti korupsi dan birokrasi yang lambat memperburuk efektivitas belanja negara. - Keseimbangan Primer (-0,15% hingga -0,61%)
Keseimbangan primer yang terus negatif menandakan bahwa pendapatan negara tidak cukup untuk membiayai pengeluaran, bahkan tanpa memperhitungkan bunga utang. Ketergantungan pada utang terus meningkat, yang dalam jangka panjang dapat mengganggu stabilitas fiskal. - Defisit Fiskal (-2,29% hingga -2,82% dari PDB)
Meski defisit ini masih dalam batas wajar menurut standar internasional, langkah penurunan defisit perlu dilakukan secara strategis. Tanpa alokasi yang tepat, defisit ini hanya akan memperbesar beban utang di masa depan tanpa memberikan manfaat nyata bagi pertumbuhan ekonomi.
Tantangan Internal
- Efektivitas Pengelolaan Anggaran
Korupsi, proyek mangkrak, dan lemahnya pengawasan dalam pelaksanaan proyek menjadi tantangan besar yang menggerus efektivitas belanja negara. Infrastruktur yang dibangun dengan anggaran besar sering kali tidak mendukung sektor-sektor produktif seperti pendidikan dan kesehatan. - Rendahnya Tax Ratio
Reformasi perpajakan yang diusulkan pemerintah berjalan lambat. Dengan tax ratio yang hanya sekitar 10-12%, Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya. Basis pajak harus diperluas untuk mencakup sektor digital dan informal, sekaligus meningkatkan kepatuhan wajib pajak. - Ketergantungan pada Utang
Rasio utang yang terus meningkat mengindikasikan bahwa pemerintah terlalu bergantung pada pembiayaan eksternal. Dalam kondisi suku bunga global yang meningkat, biaya utang ini bisa menjadi beban berat bagi perekonomian nasional.
Tantangan Eksternal
- Ketidakpastian Ekonomi Global
Fluktuasi harga komoditas, ketegangan geopolitik, dan perlambatan ekonomi global menjadi ancaman serius bagi perekonomian Indonesia, terutama karena ketergantungan pada ekspor komoditas seperti batu bara dan kelapa sawit. - Inflasi Global
Meningkatnya inflasi global dapat menekan daya beli internasional dan mengurangi permintaan terhadap ekspor Indonesia. Di dalam negeri, kenaikan harga energi dan bahan pokok juga membebani masyarakat kelas menengah ke bawah. - Persaingan Investasi
Indonesia menghadapi persaingan ketat dari negara-negara Asia lainnya dalam menarik investasi asing langsung (FDI). Stabilitas politik, kemudahan berbisnis, dan infrastruktur menjadi faktor kunci yang perlu ditingkatkan.
Kritikan Pedas terhadap Kebijakan Ekonomi dimasa Jokowi
- Kurangnya Efisiensi dalam Belanja Negara
Belanja infrastruktur masif sering kali tidak diiringi dengan perencanaan dan pengawasan yang baik. Proyek-proyek mangkrak atau hasil yang tidak sesuai harapan memperlihatkan pemborosan anggaran yang menghambat produktivitas. - Minimnya Diversifikasi Ekonomi
Perekonomian Indonesia masih terlalu bergantung pada ekspor komoditas mentah. Ketergantungan ini membuat ekonomi nasional rentan terhadap guncangan harga global. Sayangnya, upaya diversifikasi ekonomi ke sektor teknologi, manufaktur berbasis nilai tambah, dan energi terbarukan berjalan lambat. - Reformasi Pajak yang Lamban
Rasio pajak terhadap PDB yang rendah menunjukkan kurangnya reformasi perpajakan yang signifikan. Banyak potensi pajak dari sektor-sektor besar, termasuk digital, yang belum tergarap dengan maksimal.
Rekomendasi untuk Masa Depan
- Optimalisasi Pendapatan Negara
Reformasi perpajakan yang lebih luas dan tegas harus menjadi prioritas utama. Pemerintah perlu mengembangkan sistem digitalisasi perpajakan dan memberlakukan pajak untuk sektor-sektor yang selama ini luput dari jangkauan, seperti ekonomi digital. - Peningkatan Kualitas Belanja
Belanja negara harus difokuskan pada sektor-sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan energi terbarukan. Pengawasan dan transparansi dalam pelaksanaan anggaran perlu ditingkatkan untuk meminimalkan pemborosan. - Diversifikasi Ekonomi
Indonesia harus mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas dan mendorong pengembangan sektor manufaktur berbasis nilai tambah. Investasi pada teknologi dan energi terbarukan juga harus menjadi prioritas untuk menjaga daya saing di era global. - Pengurangan Ketergantungan pada Utang
Pemerintah perlu mencari alternatif pembiayaan yang lebih berkelanjutan, seperti meningkatkan partisipasi sektor swasta melalui skema kerja sama pemerintah-swasta (PPP) untuk proyek infrastruktur.
Masa Depan yang Penuh Ketidakpastian
Dengan rasio pendapatan rendah, belanja yang terus meningkat, dan ketergantungan pada utang, masa depan ekonomi Indonesia menghadapi tantangan besar. Reformasi kebijakan yang lebih strategis dan eksekusi yang lebih efektif menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan ekonomi Indonesia tetap kompetitif di tingkat global. Tanpa perubahan signifikan, bayangan suram akan menjadi kenyataan, meninggalkan beban berat bagi generasi mendatang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI