Pembeda kedua, kualitas guru. Boleh dibilang, hampir semua guru di sekolah favorit merupakan guru pilihan yang mumpuni. Mereka berkesempatan mengikuti pelatihan/up-grading. Juga banyak kunjungan pihak ketiga, Â sehingga guru banyak mendapat input.
Guru sekolah favorit rajin hadir, jarang absen. Banyak kegiatan intra dan ekstrakurikuler di sekolah yang harus diawasi. Â Tingkat kesejahteraan guru pun lebih baik, karena adanya sertifikasi guru.Â
Berbeda dengan rekan guru di sekolah pinggiran. Mereka sering absen mengajar, berhalangan. Sakit, atau bentrok waktu urusan ngobjek cari tambahan di luar sekolah. Â Gabut- gaji buta, begitu kata siswa, jika kelas kosong tanpa guru pengganti.Â
Dengan adanya sistem zonasi sekolah ini, kondisi di atas tadi berubah ke arah yang lebih positif. Tampaknya banyak guru, terutama guru dari sekolah pinggiran, akan tersenyum bahagia. Selama ini mereka seolah terlupakan.Â
Meski, di sisi lain, sebagian orangtua cemberut menelan kepahitan, anaknya terpaksa bersekolah bukan di sekolah idaman. Â Mudah-mudahan hal ini tidak terjadi lagi di tahun mendatang, dengan kesigapan pihak dinas pendidikan di masing-masing daerah meningkatkan jumlah sekolah/ruang kelas serta mutu pembelajarannya. Â
MESKI BANYAK DIPROTES ORANGTUA, KEBIJAKAN ZONASI JALAN TERUS
Penerapan sistem zonasi untuk penerimaan peserta didik baru jenjang SMP dan SMA pada tahun ajaran 2019/1920 ini, seperti di Depok dan Bandung (Jawa Barat), Surabaya dan di beberapa kota lain, Â menuai protes orangtua.
Rasa kuatir, Â anak pintar dengan nilai NEM tinggi diterima di sekolah biasa-biasa saja yang bermutu rendah. Kursi kelas diberikan lebih utama kepada siswa yang tinggal dekat dengan sekolah. Bersekolah di SMA jelek, misalnya, dengan akreditasi rendah, kecil peluang untuk dapat jatah undangan masuk perguruan tinggi negeri (jalur SNMPTN).Â
Menanggapi protes itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi, menyatakan telah merevisi  persentase untuk siswa zonasi dan menambah jatah siswa berprestasi.  Lagipula, selama 3 tahun berjalan, program zonasi ini terus diperbaiki, dan di banyak daerah tidak ada kesulitan menerapkannya.Â
Ia berkukuh kebijakan zonasi sekolah ini akan diteruskan dengan perbaikan-perbaikan. "Ibarat wajah kalau dari jauh kelihatan halus. Saat di close-up kelihatan bopeng-bopengnya, 'kan? Nah, setelah tahu masalahnya ini akan kami selesaikan per zona. Mulai dari ketidakmerataan peserta didik, kesenjangan guru, ketidakmerataan guru, jomplangnya sarana prasarana antarsekolah. Itu bisa ketahuan," begitu dalil Menteri Muhadjir Effendi.
Dengan zonasi sekolah, terungkaplah daerah-daerah yang kurang kualitas pendidikannya, termasuk yang lambat membangun dan meningkatkan kualitas sekolah ketimbang kecepatan perkembangan penduduknya.
GURU SEKOLAH PINGGIRAN AKAN TERSENYUM BAHAGIA
Di atas protes orangtua itu, akan banyak perubahan yang terjadi akibat penerapan zonasi sekolah. Ini semacam revolusi pendidikan, yang menyentuh akar masalah, yaitu buruknya praktek penyelenggaraan pendidikan di banyak wilayah.Â