Apa demokrasi sesuai untuk Indonesia? Pertanyaan yang kerap hadir jika melihat tingkah elite politik kita saat ini.
Seperti tulisan di "Negeri Media" saat ini jalan ini yang digunakan untuk memboyong mass opinion dan menjaring suara mereka. Isinya benar, tipu-tipu, atau khayalan sekalipun dibuat agar rakyat pemilih dapat memilih dia, perkara nanti setelahnya mau berbuat apa terserah mereka. Itu kondisi ironic bangsa kita saat ini.
Pernah saya memiliki pemikiran yang kalau disampaikan akan banyak orang mengecam saya, "Bubarkan DPR". Saya berpikir bagaimana jika DPR kita ganti menjadi benar-benar wakil rakyat yang memikirkan rakyat.
Maaf, saat ini memang ada anggota DPR yang bekerja dengan benar, namun sudah menjadi stereotype di masyarakat soal miringnya kerja DPR kita. Pemikiran saya, bagaimana jika Wakil Rakyat dipilih dengan recruiting, untuk awal ambil recruitment party dari luar yang walaupun sulit menghilangkan embel-embel KKN, namun setidaknya sudah dimulai mengikis itu.
Setelah itu rekrut lulusan-lulusan terbaik atau yang berminat dan lolos test untuk ini, bidang yang diambil disesuaikan dengan kebutuhan WR (Wakil Rakyat) dalam mengambil keputusan, misalnya Komisi Hukum diisi sekian % lulusan Hukum, tambah sekian % lulusan lain yang akan terkait seperti teknik, pertanian, kehutanan, dll.Â
Begitupun dengan komisi yang lain. Patok good salary untuk mereka yang jika mereka baru lulus dan masuk perusahaan  akan dapat sekiab namun jika di WR akan dapat lebih, ini akan lebih memotivasi lulusan dan menjadi cita-cita baru lulusan serta memicu mereka lebih baik lagi belajar.
Pemikiran itu setidak nya akan mengurangi kondisi yang timpang saat ini, tukang sayur punya modal banyak bisa punya masa dan bikin spanduk, iklan, dan kasih ini itu  akhirnya dapat kursi. Atau artis yang karena terkenalnya dapat suara, yang semua nya akan memerlukan waktu yang tidak singkat untuk mereka belajar dulu.
Katakan di 5 tahun masa jabatan mereka belajar 2 tahun, lalu 3 tahun berikutnya balikin modal kampanye dan bayar ke partai. Ini yang menjadi lahirnya pemikiran saya yang mengharapkan perubahan di negeri saya.
Sekarang ini dibangun juga "Politik Cinta Mati", yang membawa rakyat berkubu-kubu dan terus aja dibiarkan begitu. Yang cinta mati Jokowi terus aja berkelakar ini itu bahwa idolanya selalu tepat, begitu pun pendukung Prabowo, saat bersatu di kabinet tetap saja punya alasan pembelaan kepada idolanya.
Cinta Mati yang dibuat dengan membiarkan rakyat terbelah begini sebetulnya cukup mengganggu sebab kadang kita jadi dicurigai pengukung Jokowi atau pendukung Prabowo saat ada kelompok-kelompok tersebut sedang kumpul atau berbincang, padahal saya tetap mengkritisi keduanya tanpa harus memberatkan siapa yang lebih benar, kedua nya manusaia biasa, salah sudah kodrati untuk mereka.
Namun sekarang masalah nya apakah mereka consider akan kondisi ini dan coba menyatukan mereka agar tidak berkubu. Cukup satu kubu, Indonesia.
Kapan kita mau jadi bangsa yang mampu bersaing dengan bangsa kain jika dalam negeri kita saja kita masih dibiarkan berseteru.
Kini mereka di satu kapal, apalagi yang akan digiring dengan kapal ini? Politik Cinta Mati atau Politik Cinta Indonesia?
Pagi ini, di balik meja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H