Aku pulang, dan tidak bercerita banyak pada istriku tentang kondisi kota Padang. Aku hanya bilang, berkemas-kemas sajalah untuk pulang kampung. Aku pastikan padanya bahwa 1 minggu kedepan kota Padang akan lumpuh, listrik tidak akan hidup, kita punya anak-anak kecil, akan lebih baik dikampung dari pada di Padang untuk saa ini.
Ia sepertinya keberatan dan tidak menjawab. Aku juga diam dan lebih memilih memeluk-meluk anak-anak. Di dapur dia mengomel-ngomel karena tidak air, untuk dimasak. Mendengar itu aku ulangi, agar pulang kampung karena ada saudara yang akan datang sebentar lagi datang menjemput. Dia hanya berkata " Justru dengan keaadaan seperti inilah kita harus tetap bersama-sama". Aku hanya diam, terpana mendengar kata-katanya itu.
Kucoba, hidupkan televisi dengan arus listrik dari genset, saat itu sudah ada tayangan berbagai kerusakan, kota Padang yang disiarkan PadangTV dab MetroTV. Melihat tayangan itu, tanpa aku suruh lagi. Ia menangis dan akhirnya keluargaku mau pulang kampung ke Baso. Beruntung juga saat itu armadaku Super Carry 88 bensinya masih ada setengah. Pada saudaraku, aku ingatkan agar lewat Sitinjau Laut, karena via Padang Panjang Longsor.
Setelah keluarga pulang kampung, aku pergi ke kampus dan melihat berbagai kerusakan, seementara mahasiswa telah mendirikan posko-posko relawan. Kembali aku ajari berbohong kepada mahasiswa tapi demi kebaikan. Mereka kesulitan mencari bensin, sementara bensin mobil-mobil yang ada di kampus telah tandas mereka kuras. Dengan pakaian relawan Mapala, KSR-PMI, mereka lancar-lancar saja mendapatkan bensin. Tapi tetap aku ingatkan untuk jangan di salah gunakan.
Kenapa naluri jurnalisku sebagai Citijen Jounalist saat itu ikut hancur ???......sampai sekarang aku belum menemukan jawabannya.
catatan: tulisan ini telah diterbitkan dalam buku JURNALIS MENUJU TITIK NOL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H