Akhirnya para intelektual dan kelas menengah hanya menjadi tukang stempel bagi tindakan penguasa yang zalim.Â
Mereka yang melakukan pelbagai pembenaran untuk perilaku penguasa yang menyimpang. Karena itu, kata Helmi, pesan terpenting dari pementasan "The Jongos" adalah pentingnya setiap manusia memerdekakan atau membebaskan diri dari mental jongos atau mental budak, sehingga tidak mengalami dehumanisasi dan menimbulkan dekadensi.
Degradasi Hakim
Tokoh utama drama "The Jongos" adalah seorang hakim yang mendegradasikan dirinya dengan memilih menjadi hakim yang culas. Ia menjadi alat kekuasaan penguasa untuk memenangkan pertarungan pemilihan tampuk kepemimpinan nasional.Â
Putusan sang hakim yang memenangkan pihak peng-order kemenangan, menimbulkan protes masyarakat. Ia bisa menutup telinga, tapi tidak bisa lari dari rasa bersalah. Nuraninya ternyata tak bisa dibungkam. Nurani itulah yang mengaduk-aduk perasaannya. Disiksa tumpang tindih perasaan bersalah, akhirnya hakim itu bunuh diri.
Dikemas dengan bentuk semi realis, "The Jongos" mencoba menawarkan tema yang serius ke dalam pola ungkap yang diupayakan komunikatif.Â
Beberapa adegan berlangsung secara serius, tapi beberapa adegan yang lain dihadirkan dengan cair, demi menciptakan suasana akrab dengan penonton.
Penonton tersengat, ketika Novi Budianto dan Eko Winardi (keduanya memerankan tokoh jongos) muncul dengan pantun-pantun "Indonesia raya" yang sarat kritik sosial.
Suasana pun jadi semakin heboh ketika muncul sang maestro sulap Tejo Badut. Ia memakai egrang setinggi satu setengah meter. Ia pun lalu main dua nomor sulap yang diolah sarat kritik sosial, sesuai dengan tema: dekadensi politik.
Selebihnya adegan serius beranyaman dengan adegan cair. Alur cerita pun mengalir, hingga akhir. Ditutup adegan dramatik yang melibatkan jongos Busril dan jongos Kotto. Ketika tuan Hakim mati bunuh diri, Busril bertanya pada Kotto: "Lantas kita ikut siapa?"
Kotto menjawab: "Ya ikut oligarki!"