Ramai sejak kemarin dibagikan foto-foto dan video masyarakat melakukan uji coba MRT (yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada hari ini), dimana masyarakat ada yang bergelantungan, berdiri di jok, makan lesehan bersama-sama di koridor stasiun MRT, makan nasi bungkus di dalam MRT serta sampah berserakan. Â
Inikah cerminan budaya tata tertib dan kedisiplinan bangsa Indonesia yang konon katanya mempunyai budaya luhur sejak jaman dahulu kala?
Saya tidak akan melakukan kajian ilmiah mengenai hal ini, semua terkembali pada  masing-masing, saya hanya memberikan beberapa contoh nyata dalam kehidupan keseharian saya untuk menjadi bahan pertimbangan kita semua, tentang sebagaimana parahnya degradasi nilai yang kita miliki (bila memang pernah terdegradasi).
Teringat saya pada beberapa tahun yang lalu, saya pernah tinggal di suatu area di Jakarta Timur. Â Ketika itu Ibu saya pernah dimarahi warga sekitar karena membuang sampah di tempat pembuangan sampah warga. Â Beliau disuruh warga untuk membuang sampah ke kali di samping tempat pembuangan sampah tersebut, seperti yang dilakukan warga lainnya selama ini.Â
Mereka bilang bahwa warga sudah biasa buang di kali. Padahal sudah disediakan tempatnya dan sampah warga rutin diambil. Â Ketika Ibu saya menyampaikan bahwa hal ini bisa menjadi salah satu penyebab banjir, malah beliau kena marah lagi. Apa salah sang Bunda?
Masih berkaitan dengan sampah, saya sering menegur orang yang membuang sampah sembarangan, entah dari kendaraan atau sambil jalan kaki. Bahkan saya membuat aturan ketika mengendarai mobil, tidak ada buang sampah dari mobil keluar atau saya suruh turun saat itu juga. Â Â
Contoh lain paling sederhana adalah membuang puntung rokok, sering saya lihat di banyak tempat sudah ada asbak dan tempat sampah, tetap saja dibuang ke tempat lain yang bukan semestinya, di keset, di pot bunga, di taman, di dalam got, dan lainnya.Â
Saya bukan perokok, dan saya bukan anti perokok, tapi saya harap cuma tenggang rasa para perokok untuk membuang puntung pada tempatnya. Â Harapan saya terlalu tinggi ya?
Kali ini saya akan membahas mengenai perilaku pengguna moda transportasi massal semacam MRT, yaitu kereta api. Â Saya adalah pengguna setia kereta api, minimal 4 kali sebulan saya melakukan perjalanan ke luar kota menggunakan moda ini, dengan perjalanan antara 3,5 jam hingga 12 jam.Â
Acapkali, tempat duduk saya sudah diduduki orang lain ketika saya masuk ke gerbong saya. Â Padahal sejak melakukan booking tiket, kita wajib memilih posisi tempat duduk kita.
Kebanyakan penyerobot ini tetap memaksa menggunakan tempat duduk favorit saya (di samping jendela), dengan berbagai alasanlah. Â Bahkan seringnya sang penyerobot berlagak seolah-olah tidak ada yang salah. Â
Terlihat seperti masalah sepele, tapi kenapa banyak orang yang tidak tenggang rasa kepada orang yang sudah jauh-jauh hari memilih tempat duduk sesuai pilihannya, sedangkan sang penyerobot sendiri tidak konsisten dengan pilihan tempat duduknya?
Tidak jarang sih, saya mendapat permintaan orang untuk tukar tempat duduk, karena duduk mereka terpisah dengan rekan atau saudaranya karena keterbatasan ketersediaan tempat duduk ketika melakukan pembelian tiket, dan saya dengan senang hati akan menukar tempat duduk saya. Â Jadi intinya ya komunikasi dong, kan kita punya budaya mengucapkan: mohon maaf, permisi, punten, nyuwun sewu, dsb.
Hal paling menyebalkan saya alami akhir tahun lalu, ketika saya pulang dari Belanda November 2018 kemarin, pesawat kami transit di Abu Dhabi. Dari Abu Dhabi ada rombongan orang Indonesia pulang umroh terbang satu pesawat dengan saya. Â
Ketika kita antri di boarding gate, crew airlines harus mengingatkan berkali-kali untuk antri 1 baris saja, dan... tidaklah heran... orang kita tetap saja membuat baris baru sampai ada 3 baris, ditertibkan, balik lagi...
Begitu masuk pesawat, saya temukan banyak orang beradu mulut, ternyata hal ini dikarenakan rombongan orang Indonesia tadi banyak yang duduk di kursi yang bukan tempatnya. Â
Bukannya mengerti dan kembali ke tempat duduk seharusnya, mereka malah ngotot tanpa muka bersalah. Crew airlinesnya sampai kewalahan, saya harus ikut menjelaskan ke orang-orang ini, karena koridor jadi macet dikarenakan orang-orang mau duduk di tempatnya, tapi sudah terisi orang lain.Â
Bahkan kursi sayapun diduduki anak muda dari Indonesia juga, yang harus sedikit saya omeli untuk tertib. Ternyata duduk di samping saya orang Indonesia yang bekerja sebagai teknisi airlines tersebut (sedang mau libur ke Indonesia menengok keluarganya), saya lihat beliau senyum-senyum saja sepertinya sudah maklum. Parahnya, ketika ke toilet, saya lihat ada antrian orang kita, dan tidak heran, toiletnya kotor sekali.
Mengacu pada contoh-contoh nyata di atas, apakah kita harus memaklumi kelakuan orang kita seperti ini? Â Inikah budaya kearifan lokal yang kita miliki?
Pengalaman saya hidup di Amerika dan Kanada selama 8 tahun mengajarkan bahwa ketertiban dan kedisiplinan yang sudah membudaya di sana membuat negaranya kelihatan bersih dan tertib. Tidak ada buang sampah sembarangan, tidak ada penerobosan antrian, dsb.Â
Bahkan untuk membunyikan klakson pun, tidak sembarangan, kalau tidak ada alasan kuat Anda membunyikan klakson ke mobil di depan Anda, Anda bisa kena marah.
Pemerintah saja tidak akan bisa menjaga kalau tidak dibantu warganya.
Yuk, kalau kita selama ini merasa punya budaya yang luhur, tunjukkan kepada dunia, bahwa kita adalah bangsa yang punya budaya kedisiplinan dan ketertiban yang tinggi, dengan tata krama, sikap tenggang rasa dan tepa slira yang sudah kita miliki sejak dahulu kala, bukan hanya jadi slogan saja...
Bagaimana memulainya? Â Mulai dari diri kita sendiri dan keluarga/lingkungan kecil kita. Â Setidaknya, saya sudah melakukan ini sejak dulu.Â
Kalau check out dari hotel, kita beresin dulu, biar nggak terlalu berantakan, malu. Â Kalau selesai makan di restoran, kita beresin dulu sebelum meninggalkan meja kita; meskipun ada pelayan yang bertugas membersihkannya, malu. Â
Ke mana pun kita pergi kita tidak buang sampah sembarangan, saya didik anak-anak dari kecil, sehingga, untuk bungkus permenpun, kebiasaan anak saya berikan ke orang tuanya untuk dikantongi agar nantinya dibuang ke tempat sampah, tidak boleh nyampah, malu. Â
Jadi, kata kuncinya, ingatkan kembali pada  budaya malu kita, dan sebarkan budaya 'clean as you go'...  Yuk, sama-sama kita bangun mentalitas bangsa kita bersama...Â
Jangan nggak tertib, nggak disiplin dan nggak punya malu, TUMAN!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H