Kegiatan belajar-mengajar secara daring tersebut ditopang oleh kesiapan dan kemampuan para siswa dan guru dalam mengoperasikan alat-alat pendukung seperti komputer dan ponsel pintar, serta dukungan akses dan koneksi internet yang lancar. Para siswa dan guru juga tidak menemui kendala yang signifikan dalam kegiatan belajar-mengajar online dengan memanfaatkan aplikasi-aplikasi daring seperti Google Classroom dan Zoom. Selama koneksi internet tidak putus dan aliran listrik tidak mati (terutama sangat berpengaruh bagi mereka yang mengoperasikan komputer tanpa UPS atau uninterruptible power supply dan laptop tanpa baterai), sistem pembelajaran jarak jauh secara online menggunakan Google Classroom, Zoom, dan sejenisnya akan berlangsung dengan lancar. Ada pula beberapa guru yang memanfaatkan fitur video call group dengan anak-anak didiknya melalui aplikasi WhatsApp untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar secara teleconference pada waktu-waktu yang telah disepakati bersama.
Secara praktis dan realistis, para siswa dan guru yang lancar melaksanakan kegiatan belajar-mengajar secara daring dari rumah masing-masing biasanya adalah mereka yang kehidupan sehari-harinya sudah cukup baik, bahkan sebagian sangat baik. Dalam realita sosial-ekonomi yang terjadi, khususnya di tengah masyarakat kita, mereka yang berasal dari keluarga menengah atau menengah ke atas biasanya sudah memiliki sarana dan prasarana yang memadai guna menunjang sistem pembelajaran jarak jauh secara online. Sebagian besar dari mereka sudah memiliki komputer, laptop, atau smartphone dengan spesifikasi yang memadai sebagai sarana pendukung kegiatan belajar-mengajar secara daring.
Lalu bagaimana dengan para guru dan siswa yang berasal dari keluarga yang kehidupan sehari-harinya biasa saja atau bahkan mereka yang berasal dari kelas menengah ke bawah? Mohon maaf, penulis hanya menyampaikan kenyataan kehidupan sehari-hari yang terjadi, bahwasanya tingkat kemampuan ekonomi seseorang ekuivalen dengan kapabilitas dan aksesibilitasnya terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang menjadi tulang punggung (backbone) dalam sistem pembelajaran jarak jauh. Realita sosial yang penulis temui di lapangan menunjukkan bahwa para guru dan siswa yang secara ekonomis hanya sanggup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dan beberapa keperluan lainnya secara pas-pasan, rata-rata (berarti tidak seluruhnya) belum siap, atau bahkan tidak siap, dengan sistem pembelajaran jarak jauh secara daring.
Banyak sekolah yang tingkat kemampuan ekonomi para guru dan siswanya rata-rata cenderung menengah ke bawah belum bisa (atau bahkan tidak bisa sama sekali) menerapkan kegiatan belajar-mengajar secara daring sebagaimana yang diharapkan. Sekolah-sekolah semacam ini tidak hanya dapat ditemui di kabupaten dan pedesaan, akan tetapi juga di perkotaan yang sesungguhnya infrastruktur, sarana, dan prasarana teknologi informasi dan komunikasinya lebih mumpuni. Kapabilitas dan aksesibilitas para guru dan siswa yang tingkat ekonominya pas-pasan, bahkan rendah, terhadap sarana dan prasarana pendukung sistem pembelajaran jarak jauh seperti komputer, laptop, ponsel pintar, dan akses internet yang handal masih terbatas. Alhasil, kegiatan belajar-mengajar secara daring tidak bisa maksimal dalam mencapai tujuan yang diekspektasikan.
Hambatan dan keluhan para guru dan siswa dari kelompok pas-pasan ini rata-rata tidak jauh berbeda. Mulai dari kekurangmahiran dalam mengoperasikan komputer beserta perangkat-perangkat lunak bawaannya, akses terhadap jaringan internet yang terbatas dikarenakan belum meratanya infrastruktur fiber optic dan sinyal yang terkadang timbul-tenggelam disebabkan jumlah BTS yang belum menjangkau seluruh pelosok daerah, hingga daya beli kuota data dan paket internet yang semakin lama semakin berkurang lantaran menguras dompet yang tanpa adanya wabah Covid-19 saja sudah tipis. Aneka kesukaran yang dihadapi tersebut sudah barang tentu memberikan implikasi yang signifikan terhadap kegiatan belajar-mengajar jarak jauh secara daring.
Bukan saja para siswa yang mengeluhkan rintangan yang harus dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar jarak jauh secara online, melainkan juga para guru yang merasakan hambatan yang sama. Pada praktiknya di lapangan, betapa banyak guru yang memberikan aneka ragam tugas melalui WhatsApp yang harus segera dikerjakan oleh para siswa di rumah masing-masing. Tidak jarang pula ditemui guru-guru yang mewajibkan siswa-siswinya menulis jawaban dari tugas-tugas yang diberikan berupa uji kompetensi dari LKS (lembar kerja siswa) atau latihan soal di buku tulis. Para siswa lalu diminta mengambil foto hasil tugasnya di buku tulis menggunakan kamera ponsel sebagai bukti otentik, kemudian mengirimkannya ke nomor WhatsApp guru mata pelajaran terkait untuk dikoreksi dan diberikan nilai.
Menurut hemat penulis, pola pemberian dan penyerahan tugas secara daring dengan metode seperti itu cenderung tidak praktis dan tidak efisien, baik bagi para guru maupun para siswa. Pemberian tugas melalui WhatsApp yang harus dikerjakan di buku LKS atau buku tulis secara berkala dan kontinu tanpa henti selama pelaksanaan kebijakan "Belajar di Rumah" setiap pekan, bahkan setiap hari, justru malah menambah beban yang berlebihan bagi para siswa. Alih-alih mengarahkan para siswa untuk tetap belajar di rumah selama masa pandemi wabah Covid-19, metode pemberian tugas semacam itu justru akan kontraproduktif terhadap tujuan kebijakan "Belajar di Rumah". Alhasil, bukan sistem pembelajaran jarak jauh secara daring dengan pola komunikasi dua arah yang berlangsung, melainkan pemberian tugas dan pekerjaan rumah oleh para guru kepada siswa-siswinya melalui media sosial secara online dengan pola komunikasi satu arah yang terjadi.
Ekspektasi dan tujuan kebijakan "Belajar di Rumah" pada awalnya hendak mengalihkan kegiatan belajar-mengajar yang biasanya diselenggarakan secara offline (tatap muka langsung) di kelas ke rumah masing-masing siswa dan guru secara online dan temporer-situasional selama masa pandemi wabah Covid-19. Sayangnya, metode pemberian tugas dan pekerjaan rumah yang menurut penulis cukup kaku sebagaimana yang diuraikan dalam paragraf sebelumnya pada akhirnya membuat ekspektasi dan tujuan kebijakan "Belajar di Rumah" menjadi tidak maksimal. Realitanya, bukan kegiatan belajar-mengajar secara online yang terjadi, melainkan libur sekolah panjang bagi para siswa dengan setumpuk tugas dan pekerjaan rumah yang datang bertubi-tubi setiap hari dan harus diselesaikan untuk kemudian diserahkan kepada guru mata pelajaran masing-masing agar mendapatkan nilai. Imbasnya, para siswa akhirnya merasa bosan, jenuh, dan stres.
Sungguh sangat disayangkan, mengingat dalam masa pandemi wabah Covid-19 seperti sekarang ini, hendaknya setiap orang menjauhkan diri masing-masing dari hal-hal yang dapat mengakibatkan beban psikologis seperti kebosanan, kejenuhan, dan stres. Sesungguhnya bukan hanya deretan tugas dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan para siswa selama masa darurat bencana nasional ini, melainkan pendidikan dan pemahaman yang komprehensif kepada mereka mengenai wabah Covid-19 beserta segala seluk-beluknya.
Menurut penulis, kegiatan belajar-mengajar secara daring tidak mesti melaksanakan jadwal harian yang biasa diselenggarakan di sekolah sepenuhnya. Kebijakan "Belajar di Rumah" secara kreatif sebenarnya dapat disisipi oleh para guru untuk mendidik dan mengajarkan siswa-siswinya segala hal tentang wabah Covid-19. Para guru dapat memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap siswa-siswinya mulai dari sejarah kemunculan Covid-19 dan karakteristiknya, serta aneka protokol kesehatan yang sebaiknya dilakukan guna mencegah virus tersebut menginfeksi kita semua. Secara kontinu, para guru dapat terus mengingatkan siswa-siswinya untuk senantiasa mematuhi protokol kesehatan guna menangkis potensi tertular Covid-19. Para guru dapat membiasakan siswa-siswinya agar tetap berada di rumah, memakai masker apabila terpaksa keluar rumah, rajin mencuci tangan dengan sabun selama minimal duapuluh detik setiap pulang ke rumah, menjauhi kerumunan massa, dan konsisten menjaga jarak dari orang lain.
Melalui kreativitas seperti itu, kebijakan "Belajar di Rumah" tidak lagi sekedar merelokasi kegiatan belajar-mengajar dari gedung sekolah ke rumah masing-masing dengan rutinitas mata pelajaran yang sama persis, akan tetapi mampu membuat siswa-siswi lebih mengenal, memahami, dan mencegah potensi terinfeksi Covid-19. Kebijakan "Belajar di Rumah" seyogyanya dapat menjadi wahana pelaksanaan sistem pembelajaran jarak jauh secara daring yang menyenangkan dengan segudang manfaat yang positif dan menyehatkan bagi para siswa. Jauh dari kesan membosankan, menjenuhkan, atau bahkan menambah beban psikologis yang berujung stres. Kendati demikian, kreativitas para guru dan aksesibilitas siswa-siswinya dalam proses pembelajaran jarak jauh secara daring tetap bertumpu pada kelengkapan dan kesiapan sarana, prasarana, dan infrastruktur yang tersedia, terutama dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi.