Mohon tunggu...
Indra Saputra
Indra Saputra Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar di SMA Islam Progresif Daarussalaam

Saya indra berasal dari pelabuhan ratu, Sukabumi, Jawa Barat, hobi saya nyanyi, bikin puisi, dan berolahraga, memasak. Tujuan saya bergabung di Kompasiana yaitu untuk mengasah dan mengembangkan potensi bakat saya di bidang sastra

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Amarah 1996

19 Oktober 2024   12:10 Diperbarui: 24 Oktober 2024   11:44 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karya Indra

Seluk beluk kehidupan 

Yang dilandasi Pancasila 

Bhinneka tunggal Ika 

Menjadi pemersatu bangsa 

Kini telah tergoyahkan 

Dengan peradaban manusia

Aku seorang mahasiswa 

Dari negara Indonesia 

Negara yang berpedoman 

Pada hukum keadilan bagi rakyatnya 

Nomor 900 tahun 1996 

Sejalan dengan keinginan kementerian 

Memutuskan garis keamanan 

Garis utama 3 April 1996 

Waktu panas menyerang diri 

Mahasiswa dengan keinginan nurani 

Menegaskan mimbar harapan 

Menggelar tikar kehidupan 

Katanya seorang pelukis berekspresi melalui kanvas 

Seorang musisi berekspresi melalui musik 

Lantas kami? 

Kami berekspresi lewat megafon dan spanduk yang bertuliskan " BBM Naik , BBM Naik" Rakyat menjerit

Saudara....

Kenaikan tarif angkutan 

Saudara....

Peraturan tak karuan 

Saudara.....

Saksi perlawanan menjadi amarah peradaban 

Suara kami di bungkam

Pemerintah tutup mata akan derita rakyatnya 

Yang berkuasa semakin berjaya 

Yang lemah semakin menderita 

Begitu lah hukum di Indonesia 

Mereka lupa kita berpacu pada keadilan sosial 

Sebagai sila ke-5 

Hukum negeri ini lebih pantas disandingkan dengan hukum rimba 

Dua puluh dua 

Keluar tanpa hasil apa-apa 

Makassar! ....

Lihat dia membakar 

Makassar!...

Lihat dia kasar 

Sumaharjo di stop ! 

Lalu mereka datang menghadang 

Tapi, gas air mata dilemparkan 

Kepada para penggelar tikar keinginan 

Tidak digiring masuk ke dalam dalih pengamanan 

Makassar mulai kacau 

Lihat!...

Gas air mata, pencabut nyawa

Caci maki dan penganiayaan itu dimulai 

Manusia bagaikan hewan yang lemah 

Berbagai hentakan senjata ditodongkan ke arah mereka 

Ledakan di mana-mana melesat ke hadapan seorang mahasiswa yang tengah meminta keadilan 

"Ssssssttttttttt. Dor " 

"Saya rela mati demi menegakkan hukum keadilan"

Aku mati.....

Terbunuh atas nama Pertiwi 

Memperjuangkan sebuah kata

Yang dirangkai "MERDEKA"

Makassar....

Lihat saudara-saudara kami 

Hati nurani yang mati 

Siapa yang harus disalahi 

April Makassar berdarah 

Pelosok kampus diselimuti awan hitam 

Para mahasiswa berjatuhan ketika berorasi melawan pemerintah di jalan Urip Sumoharjo 

Keadilan!

Apa itu keadilan! 

Di mana kau sembunyikan? 

Apakah tak bisa kau dengar suara rakyat menjerit kesakitan 

Berdalih berpedoman pada aturan 

Berakhir mati diinjak kekuasaan 

Berbagai perkataan yang tertulis di dalam batinnya 

Mati!....

Nyawa teregang, nyawa melayang 

Hilang dalam kekerasan 

Tenggelam dalam perut Pampang 

Yang menjadi saksi darah dan amarah 

Amarah menegak di tubuhnya 

Api yang membara pada dirinya 

Air yang bersemayam pada hatinya 

Ini darah lah yang mengalir pada tubuhnya 

Harapan yang menginjak keras 

Dihadang dengan amarah yang kejam 

Harapan yang bergabung dengan nadi 

Kini telah hilang dalam bungkaman peluru 

(lagu)

Desing peluru, panser menderu 

Kibasan pentungan 

Laras keras menghujam 

Angin menangis 

Daun tak bergoyang 

Bumi merintih nyanyian senja kepiluan 

Sejarah dalam peradaban 

Terlukis dalam nyanyian dan tulisan 

Keras perjuangan peradilan 

Harapan dan penyiksaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun