Mohon tunggu...
Indra Rahayu
Indra Rahayu Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Menulis hanya pengisi waktu luang. Kebetulan, waktu luang cukup banyak.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Psikoanalisis dan Pembelajaran Terdiferensiasi

16 Agustus 2024   14:30 Diperbarui: 16 Agustus 2024   14:34 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konsep pembelajaran diferensiasi digaet dalam implementasi kurikulum merdeka. Demi mengusahakan ekosistem ruang kelas yang fleksibel dari segi perencanaan dan penerapan. Bertolak dari keberagaman individu pembelajar, pandangan untuk menyamaratakan teknis pemerolehan pengetahuan dan proses mencapai hasil mulai teralih. Kurikulum Merdeka memegang teguh fleksibilitas dalam proses pembelajaran maka hal itu dijadikan dasar atas penerapan pembelajaran diferensiasi. Kebebasan dalam menyusun kurikulum yang diintegrasikan dengan konteks budaya di sekitar dan kebutuhan peserta didik, dapat meloloskan tujuan dari kata 'Merdeka'.

Pembelajaran diferensiasi dalam kurikulum merdeka

Implementasi kurikulum merdeka identik dengan student center dan pembelajaran terdiferensiasi. Student center atau cara belajar yang melibatkan peserta didik secara masif bukanlah hal baru di dunia pendidikan. Hingga saat ini cara belajar tersebut tak pernah berhenti dibicarakan. Dimulai dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Kurikulum 2013, Kurikulum 2013 Revisi, dan Kurikulum Merdeka yang sekarang sedang didengungkan pemerintah. Peserta didik didorong untuk menjadi pembelajar mandiri, dimulai dari informasi hingga mengolah informasi menjadi pengetahuan. Pembelajaran diferensiasi kembali diangkat ke permukaan atas dasar kesadaran bahwa peserta didik dalam proses belajar tidak bisa disamaratakan. Hasanah, dkk. dalam Van Geel, et al. (2019) mengatakan sebaiknya seorang pendidik mengesampingkan ukuran yang sama dalam kegiatan mengajar dan memberi arahan atau instruksi yang berbeda, disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik.

Seperti tujuan pembelajaran diferensiasi yang dijelaskan oleh Pitaloka & Arsanti dalam Marlina (2018) mengarah pada aktivitas pembelajaran dengan intensitas pendekatan antara pendidik dan peserta didik, melalui identifikasi kebutuhan dan cara belajar yang menyeluruh, sehingga terbentuk budaya belajar mandiri dan mampu memperoleh hasil belajar dengan baik.

Hambatan pembelajaran diferensiasi

Berdasar pada pernyataan tersebut, seorang pendidik berperan untuk membantu peserta didik menggali kesadaran atas cara belajar yang cocok dan optimal bagi setiap peserta didik. Bukan tidak mungkin, pembelajaran diferensiasi memiliki hambatan dalam pelaksanaannya. Kurangnya rasa percaya diri menjadi salah satu hambatan dalam implementasi pembelajaran diferensiasi. Seperti yang dikatakan oleh Taufik, Sutrisno, dkk. (2023) bahwa hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran diferensiasi antara lain kurangnya rasa percaya diri peserta didik. Selain kurangnya rasa percaya diri, yaitu kondisi peserta didik yang pasif dalam proses diskusi. Hambatan tersebut berujung pada sifat individual dalam menyelesaikan pekerjaan karena tidak semua peserta didik dapat diajak berdiskusi.

Larut dalam rasa tidak percaya diri, memilih untuk menyelesaikan pekerjaan dengan 'seadanya' menjadi pilihan. Motivasi untuk mendapatkan apa yang mereka butuh tidak dimunculkan. Cara-cara seperti bertanya pada guru atau teman sebaya menjadi hal yang sulit dilakukan. Begitu pun pada aktivitas diskusi. Setiap peserta didik akan saling mengandalkan. Kendati ada yang memberikan instruksi dalam kelompok, anggota kelompok yang lain enggan untuk mengikutinya. Pada akhirnya, pekerjaan kelompok digarap oleh beberapa orang saja.

Pandangan psikoanalisis terkait kebutuhan dasar dan keinginan

Psikoanalisis sebagai bidang ilmu, memiliki korelasi dengan pendidikan. Pandangan psikoanalisis yang menyoroti keinginan dan kebutuhan dasar individu, dapat membantu peserta didik ketika mengidentifikasi cara belajarnya. Penerapan psikoanalisis dalam pendidikan tertuju pada kecerdasan majemuk. Individu (siswa) dengan kemampuan yang berbeda, melalui pendidikan, kompetensi atau kecerdasan peserta didik dihubungkan dengan pengembangan minat dan bakat yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Pernyataan tersebut sesuai dengan teori psikoanalisis yang mengatakan bahwa manusia sebagai individu memiliki keinginan dan kebutuhan dasar (Dia, Conia, & Sofiyanti, 2021).

Urgensi pembedaan cara belajar pun mendapat tanggapan dari sudut pandang psikoanalisis. Indikasi dari dari munculnya istilah perbedaan dalam belajar ini berasal dari adanya kesulitan yang dialami oleh peserta didik dalam proses belajar. Langkah untuk mengatasi kesulitan belajar, yaitu dengan melakukan diagnosis.

Diagnosis berperan dalam membantu peserta didik berkembang sesuai dengan kemampuannya. Kemampuan setiap peserta didik akan teridentifikasi sehingga tindakan dari pendidikan tepat sasaran. Melalui proses diagnosis terjadi kedekatan antara pendidik dan peserta didik. Kemudian, akan menyadarkan adanya keberagaman muridnya (Syahrul, S.H, 2018). Salah satu langkah melakukan diagnosis, yaitu dengan cara konseling. Baik itu dilakukan oleh guru terkait sesuai mata pelajar pun oleh guru BK (Bimbingan Konseling).

Identifikasi kebutuhan dasar dan keinginan peserta didik 

Merunut struktur kepribadian yang dicetuskan Sigmund Freud, yaitu Id, Ego, dan Super Ego, kebutuhan dasar dan keinginan seseorang mendapat dorongan penuh dari ketidaksadaran. Setiap individu akan berusaha untuk beranjak dari situasi yang dirasa tidak menguntungkan dan berupaya untuk memperoleh kenikmatan. Dalam konteks pembelajaran adalah kondisi darurat yang membuat peserta didik cemas, dan rata-rata dialami oleh setiap orang ketika belajar di kelas, yaitu saat pada proses evaluasi.

Dari kecemasan yang dialami oleh peserta didik, maka timbul dua respons atau cara dalam mencapai hasil belajar. Pertama peserta didik akan mengusahakan segala cara, tanpa memikirkan konsekuensi yang ada untuk menyelesaikan tugasnya. Cara ini terkenal dengan istilah 'menyontek'. Kedua, merasa bahwa apa yang dilakukan oleh teman kelasnya dapat diterapkan juga untuk dirinya sendiri. Bahkan, setiap siswa melakukan cara yang sama. Kendali ego dalam diri peserta didik belum optimal. Cara-cara yang telah dijelaskan membuktikan bahwa, peserta didik masih dikuasai oleh Id atau insting sehingga melakukan segala cara, asal mendapatkan apa yang mereka butuhkan.

Lalu, tuntutan dari situasi dan tidak ingin terlihat berbeda dari yang lain. Seolah-olah ketika menggunakan cara lain adalah sebuah kesalahan. Tentu, seorang individu dalam mengendalikan ego tidak semudah yang dibayangkan. Terutama bagi peserta didik. Maka, diperlukan peran pendidik sebagai fasilitas konseling. Memberi pemahaman tentang cara belajar yang beragam. Niscaya, identifikasi jalur pemenuhan kebutuhan dan keinginan peserta didik akan menemukan titik terang.

Tumbuh kesadaran peserta didik bahwa ia dapat melakukan cara yang tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri pun bisa menyelesaikan sebuah tugas tanpa dituntut oleh cara yang dianggap jalan satu-satunya.

Referensi

Hasanah, dkk. 2013. Diferensiasi Berbasis Digital Sekolah

Syahrul, Syawal H. 2018. Psikoanalisis Sigmund Freud dan Implikasinya dalam pendidikan

Dia, Conia P.D & Sofiyanti. 2021. Gambaran Pemahaman Teori Psikoanalisis dan Implikasinya dalam Pendidikan pada Mata Kuliah Karakteristik dan Kompetensi Usia Dewasa pada Mahasiswa Bimbingan dan Konseling FKIP Untirta

Taufik, Sutrisno L. 2023. Efektivitas Pembelajaran Diferensiasi sebagai Sebuah Pendekatan untuk Kemerdekaan

Pitaloka & Arsanti. 2022. Pembelajaran Diferensiasi dalam Kurikulum Merdeka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun