Pendidikan memang mahal, tapi orang tua cerdas akan mampu menyiasatinya
Pendidikan anak memang menjadi tanggung jawab orang tua. Tidaklah heran setiap orang menginginkan putra/putrinya untuk mengenyam pendidikan yang tinggi sehingga menjadi bekal saat dewasa dan berguna bagi masyarakat maupun negara.
Kini saatnya masyarakat yang telah memiliki putra/i menjadi sosok orang tua cerdas dalam merancang pendidikan anak. Cerdas disini bukan berarti orang tua harus bertitle sarjana untuk mendidik anak namun lebih menekankan pada proyeksi tentang masa depan anak serta cara untuk mewujudkannya. Secara sederhana, bila kita adalah orang tua berusia 30 tahun yang telah memiliki putra/i berusia 5 tahun maka sudah saatnya untuk merancang pendidikan putra/i mulai dari memilih institusi pendidikan (SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi) yang tepat dan membantu anak mewujudkan cita-citanya.
Janganlah kaget bila ditemukan kasus dimana orang tua yang secara finansial tergolong cukup justru merasa kerepotan dalam membiayai pendidikan anak saat di perguruan tinggi atau kasus sebaliknya orang tua yang sebenarnya hanya berprofesi pedagang atau petani namun justru mampu menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi tanpa kerepotan terkait biaya pendidikan. Titik kuncinya terletak pada satu hal yaitu “Kecerdasan orang tua” dalam manajemen pengelolaan uang untuk pendidikan anak.
Mari kita rubah “mindset” salah yang banyak dilakukan oleh para orang tua yang menganggap bahwa pendidikan anak baru akan dipikirkan saat anak akan menempuh pendidikan. Pola berpikir seperti inilah yang menyebabkan tingginya kasus putus sekolah yang disebabkan oleh faktor ekonomi. Sebuah ironi ketika saya membaca sebuah berita online yang menyatakan bahwa lebih dari 75 persen siswa yang putus sekolah justru dikarenakan faktor ekonomi, serta 8,7 persen lainnya karena faktor membantu orang tua untuk bekerja dan membiayai kehidupan keluarga. (Berita Selengkapnya Klik disini)
Mindset yang harus kita tanam adalah pola berpikir “Saya adalah orang tua cerdas”.
Gambaran sederhana yang dapat saya sharingkan adalah disaat saya sudah berusia 30 tahun dan memiliki anak usia 5 tahun maka kelak 13 tahun kedepan atau disaat anak saya berusia 18 tahun (usia yang umumnya saat masuk kuliah), saya ingin anak saya dapat masuk kuliah di jurusan Pendidikan Dokter di universitas terkemuka di Indonesia. Untuk itu saya akan menghindari kesalahan yang umumnya dilakukan oleh para orang tua.
Apa saja kesalahan tersebut?
1. Kurangnya Pemahaman tentang Biaya Pendidikan Anak
Bukanlah rahasia umum bila biaya pendidikan setiap tahun akan mengalami peningkatan. Kesalahan orang tua yang sering terjadi adalah tidak mencari tahu tentang besaran biaya pendidikan anak mulai masuk SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Hal menarik yang pernah saya alami ketika ada seorang tua yang curhat dan mengira bahwa biaya pendidikan anak saat ini tidak jauh berbeda saat dirinya bersekolah dulu. Ini menunjukkan masih adanya sikap acuh orang tua terhadap perkembangan dunia pendidikan saat ini. Padahal kenaikan biaya pendidikan mengalami kenaikan berkisar 10-20 persen.
Ketika saya telah memproyeksikan anak saya untuk menempuh Pendidikan Dokter di universitas terkemuka maka saya sedari dini saya akan mencari tahu biaya pendidikan yang harus dipersiapkan. Ambillah contoh saya akan menyekolahkan anak saya di jurusan Pendidikan Dokter di Universitas Gajah Mada (UGM) 13 tahun kemudian. Adanya penerapan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diberlakukan di universitas negeri saat ini memang sekilas menyegarkan bagi orang tua karena tidak perlu membayar uang pangkal atau uang gedung yang besar saat pertama kali memasuki dunia perkuliahan. Melalui sistem UKT berarti ibarat biaya pangkal atau uang gedung dapat kita cicil bersama dengan SPP anak setiap semesternya. Namun bersiap untuk orang tua untuk mengeluarkan dana yang besar setiap semesternya.
[caption caption="Uang Kuliah Tunggal (UKT) di PTN Terkemuka Tahun 2015"][Sumber : Web UGM]
Mengingat pemberlakukan UKT golongan 1 dan 2 diperuntukan bagi keluarga yang kurang mampu secara finansial maka saya mengkalkulasi untuk golongan 3 jurusan Pendidikan Dokter sebesar Rp. 7.250.000 di tahun 2015. Asumsi bahwa kenaikan biaya pendidikan setidaknya 10 persen atau Rp.725.000 pertahun maka dapat diperkirakan ketika anak saya saat ini berusia 5 tahun dan menempuh pendidikan kuliah tahun 2028 (13 tahun kemudian) maka kemungkinan UKT yang diberlakukan di tahun 2028 adalah berkisar Rp. 16.675.000 per semester.
Mengetahui besaran biaya yang diperlukan tentu akan membuat saya berusaha mempersiapkan dana secara optimal mengingat selain kebutuhan SPP tentu ada kebutuhan lain yang juga dipersiapkan sepert biaya tinggal, makan, akomodasi, pembelian buku, penelitian anak, dan sebagainya. Oleh karena itu seyogyanya orang tua lain pun mulai mencari tahu besaran biaya pendidikan anak saat ini agar kelak impian mereka dapat tetap terwujud tanpa ada kendala berarti.
2. Kentalnya Pola Berpikir “Rejeki Saat Ini adalah Untuk Hari Ini”
Rejeki memang telah diatur oleh Tuhan YME, namun bila para orang tua masih memegang prinsip “Rejeki Saat Ini adalah Untuk Hari Ini” maka tidak menutup kemungkinan saat anak akan menempuh pendidikan yang lebih tinggi justru orang tua tidak memiliki tabungan yang cukup. Hal yang paling sering ditemukan di masyarakat, ketika pendapatan bulanan (gaji) orang tua atau disaat orang tua memiliki rejeki berlebih seringkali justru digunakan untuk tindakan konsumtif seperti membeli barang, mengkredit kendaraan, atau digunakan untuk bertamasya bersama keluarga. Alhasil gaji/pendapatan telah habis dan tabungan nihil.
Saya belajar banyak dengan cara orang tua terdahulu yang menyisihkan pendapatan mereka dengan menaruh sebagian uang di bawah bantal, celengan, atau tempat yang dirasa aman. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak seperti biaya sekolah, membeli perlengkapan sekolah, membayar buku, dan sebagainya. Justru saya menilai, orang tua pada masa dulu lebih bijak dalam mengelola keuangan untuk anak dibandingkan orang tua saat ini yang cenderung konsumtif.”
3. Kurangnya Proteksi Masa Depan
Bagi kompasianer yang sudah memiliki anak, sudahkah kita memproteksi diri dari hal-hal yang tidak diharapkan dikemudian hari seperti resiko kematian dan resiko ketidakmampuan bekerja. Usia seseorang memang tidak dapat ditebak, namun bukan berarti kita harus berpasrah mengingat masih ada tanggungan khususnya kepada anak dikemudian hari. Orang tua yang kurang cerdas hanyalah mereka yang hanya berpikir bahwa saya akan memenuhi kehidupan keluarga dan pendidikan anak semasih saya hidup. Tidakkah kita berpikir disaat kita tidak lagi bisa bersama dengan keluarga, siapakah yang akan menanggung pendidikan anak? Semua rencana pendidikan anak yang telah dirancang jauh hari bisa saja hilang tidak berbekas karena faktor usia orang tua.
Faktor lainnya yang kurang diperhatikan orang tua adalah resiko ketidakmampuan bekerja. Kondisi ekonomi saat ini cenderung fluktuatif yang menyebabkan banyaknya resiko bagi para pekerja. Merujuk pada berita di salah satu media online menyatakan bahwa ada potensi Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) sebesar 100.000 tenaga kerja di tahun 2015 akibat perekonomian yang tengah melesu (Berita selengkapnya klik disini). Bahkan beberapa kali terjadinya krisis global seperti yang terjadi di tahun 1997-1998 maupun krisis eropa di tahun 2009 yang membuat banyak pekerja yang mengalami PHK tentu perlu menjadi pembelajaran agar perencanaan pendidikan anak tidak terganggu meskipun keadaan ekonomi dalam kondisi labil.
4. Kurangnya Kesadaran Terhadap Tabungan/Investasi/Asuransi Dana Pendidikan
Saat ini mulai banyak lembaga keuangan yang menawarkan investasi/tabungan dana pendidikan namun masyarakat justru masih ragu untuk memanfaatkan peluang ini. Padahal dengan memanfaatkan investasi dana pendidikan ibarat kita telah memiliki partner yang siap mem-backup kebutuhan pendidikan putra/i kita dikemudian hari. Kendala yang sering ditemukan adalah para orang tua lebih memilih untuk bekerja lebih giat, mencari penghasilan tambahan atau justru mengurangi standar pendidikan yang akan dituju untuk menyiasati kenaikan biaya pendidikan saat ini. Permasalahan ini sebenarnya masih bisa diatasi bila orang tua dapat memanfaatkan penawaran investasi dana pendidikan dari lembaga keuangan yang terpercaya.
Berkaca pada kesalahan yang kerapkali dilakukan oleh para orang tua dalam mempersiapkan pendidikan anak, saya tertarik melihat investasi dana pendidikan yang ditawarkan berbagai perusahaan keuangan sebagai “sahabat” yang siap membantu mewujudkan mimpi anak. Sebagai orang tua, kita juga harus berpikir realistis bahwa penghasilan yang kita terima setiap bulannya harus dapat memenuhi berbagai kebutuhan baik rumah tangga, operasional, hingga pendidikan anak.
[caption caption="Impianku ketika Anakku Menjadi Dokter (Sumber Gambar Klik disini)"]
[/caption]Dapat dibayangkan seandainya saat ini, saya memiliki anak yang akan masuk ke Jurusan Pendidikan Dokter di UGM dengan sistem pemberlakuan UKT Golongan 3 sebesar Rp. 7.250.000 maka dapat dipastikan gaji saya dan istri untuk kurun waktu 1 bulan habis untuk membayar SPP anak. Padahal masih banyak kebutuhan yang harus dipikirkan pula.
Investasi/tabungan/Asuransi dana pendidikan menurut saya ibarat sebuah warisan yang cerdas untuk anak. Hal ini untuk mengantisipasi berbagai resiko yang dapat terjadi dikemudian hari seperti kebangkrutan usaha yang membuat keadaan ekonomi keluarga yang tiba-tiba merosot tajam, resiko kematian, inflasi pendidikan yang kian tinggi, hingga mengantisipasi adanya potensi ketidakmampuan bekerja yang mungkin saja akan saya hadapi. Tentunya dengan terlibat dalam investasi/tabungan dana pendidikan dapat membantu saya mewujudkan impian anak untuk menjadi seorang dokter tanpa harus dibayangi-bayangi kekurangan biaya.
Saat ini memang banyak lembaga keuangan baik perbankan, asuransi, ataupun jasa keuangan lainnya yang menawarkan berbagai produk yang diperuntukkan bagi pendidikan anak baik berupa tabungan, investasi, atau asuransi pendidikan. Sebagai orang tua, seyogyangnya juga harus cerdas untuk menentukan lembaga keuangan yang terpercaya serta menyesuaikan premi atau tabungan sesuai kemampuan.
Hal yang perlu diperhatikan oleh para orang tua dalam merencanakan pendidikan anak adalah perlu menyisihkan setidaknya 5-10 persen dari penghasilan bulanan yang diperuntukan untuk masa depan pendidikan anak. Sebagai contoh bila saya memiliki penghasilan Rp. 5.000.000 maka saya akan menyisihkan 10 persen atau sebesar Rp.500.000 perbulan sehingga dalam 1 tahun setidaknya telah terdapat 6 juta rupiah yang telah saya simpan untuk pendidikan anak. Bila hal tersebut dapat saya pertahankan hingga 13 tahun (asumsi anak telah berusia 5 tahun dan memasuki perguruan tinggi di usia 18 tahun) maka saya telah memiliki tabungan Rp. 78.000.000 di tahun 2028. Jumlah tersebut sudah mencukupi untuk menyekolahkan anak hingga masuk Jurusan Pendidikan Dokter di UGM.
Tidak ada salahnya tabungan ataupun perencanaan pendidikan anak juga diikutkan dalam asuransi pendidikan. Ini untuk mengantisipasi resiko dikemudian hari seperti resiko kematian sehingga dengan menyertakan asuransi pendidikan setidaknya pihak asuransi dapat ikut membantu mewujudkan mimpi anak meskipun orang tua sudah meninggal.
Kini saatnya kita menjadi orang tua cerdas, pernyataan ini memang ingin saya tekankan agar jangan karena persiapan yang kurang matang menyebabkan impian putra/i untuk mengenyam pendidikan tinggi dan meraih impiannya harus kandas karena kurang bijaknya orang tua dalam mempersiapkan dana pendidikan anak.
Saya siap mewujudkan impian anak saya kelak sebagai seorang dokter, bagaimana dengan anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H