Mohon tunggu...
Drs. Tiardja Indrapradja
Drs. Tiardja Indrapradja Mohon Tunggu... Wiraswasta - pensiunan

Seorang ayah dengan lima orang anak yang sudah dewasa [Puteri sulung saya telah meninggal pada tahun 2016 karena penyakit kanker]. Lulusan FEUI, dan pernah mengajar di FISIP UI 1977-akhir abad ke-20 sebagai dosen luarbiasa di jurusan administrasi [niaga]. Sekarang menangani empat situs/blog dalam hal evangelisasi.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Belajar Kepemimpinan Dari Matsusitha

15 Januari 2014   15:40 Diperbarui: 5 Desember 2015   18:53 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama Matsushita atau lengkapnya Konosuke Matsushita [1894-1989] kiranya tidak begitu asing bagi telinga mereka yang menekuni bidang kepemimpinan dan manajemen. John Kotter, guru besar di Harvard Business School dalam tulisannya (Matsushita Leadership, New York: Free Press, 1997) menjulukinya sebagai seorang wirausahawan yang paling mengemuka (the most remarkable entrepreneur) di abad ke-20. Walaupun Matsushita hanya dapat mengenyam pendidikan formal selama empat tahun saja, dia mendirikan Matsushita Electric pada tahun 1917 dan sempat melihat perusahaan yang didirikannya itu beroperasi dengan omzet tahunan hampir $50 milyar, melebihi para wirausahawan terkenal lainnya, seperti Soichiro Honda dlsb. Sepuluh tahun setelah wafatnya, omzet penjualan tahunan Matsushita Electric Industrial Co. yang berdomisili di Osaka itu telah mencapai $68 milyar. Produk-produknya termasuk Panasonic, Quasar, National, Technics dan JVC. Akan tetapi “legacy” dari Matsushita tidak terbatas pada sukses di bidang bisnis.

MATSUSHITA SEBAGAI PEMIMPIN BESAR

Matsushita menjadi seorang yang sukses bukan karena sekadar mempunyai rezeki yang baik atau “good luck”. Ia adalah seorang pemimpin inovatif yang menelurkan ide-ide yang kemudian diwujudkan dalam praktek-praktek manajemen non-konvensional dan radikal, yang pada hari ini pun masih dipandang modern. Matsushita juga seorang filantropis. Ia mendirikan organisasi yang mirip dengan badan yang mengorganisasikan penganugerahan hadiah Nobel, dan pada tahun 1979 sebuah lembaga lagi didirikannya untuk mengembangkan kepemimpinan dalam pemerintahan dan politik untuk abad ke-21. Sebagai perbandingan, lulusan dari “Matsushita Institute of Government and Management” memiliki kemungkinan sangat besar untuk menjadi wakil rakyat di Diet Jepang, apabila dibandingkan dengan para lulusan  the “Kennedy School of Government” Universitas Harvard untuk menjadi anggota U.S. Congress. Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, menurut John Kottter, 10% dari alumni lembaga yang didirikan oleh Matsusitha ini sudah menjadi anggota Diet Jepang.

Apa saja yang merupakan faktor penyebab sukses Matsushita? Apakah dia memiliki kualitas-kualitas pribadi yang luar biasa? Apakah situasi-situasi atau peristiwa-peristiwa unik tertentu berpihak kepadanya?

Ketika Matsushita mendirikan perusahaannya pada tahun 1917, produknya yang pertama adalah lampu sepeda dengan menggunakan baterei (battery-powered electric bicycle lamp). Pada tahun 1930-an Matsushita Electric bertumbuh dengan pesat walaupun kondisi ekonomi buruk sedang melanda Jepang pada masa itu. Sukses perusahaan itu sebagian besar disebabkan oleh karena Matsushita bukanlah seseorang yang cepat merasa puas dengan sukses yang dicapai. Dia senantiasa mencari cara-cara baru guna memperbaiki kualitas sebuah produk atau memproduksikan produk ini dengan biaya yang lebih rendah. Dia juga selalu mencari cara-cara baru guna meningkatkan kontribusi para pekerjanya. Banyak dari keberhasilannya merupakan akibat langsung dari cara-cara kreatif melibatkan para karyawan/pekerjanya dalam proses kepemimpinannya. Lima puluh tahun sebelum konsep-konsep seperti “empowerment of employees” (pemberdayaan karyawan) dan penyusunan “statements of corporate values” (pernyataan nilai-nilai perusahaan), Matsushita sudah menyadari bahwa alasan seseorang pekerja untuk bekerja dengan dengan dorongan hati mendalam membawa dampak pada hasil karya pekerja itu.

Wawasannya ke dalam kebenaran ini terjadi ketika Matsushita pada tahun 1932 mengunjungi sebuah komunitas religius di Jepang. Apa yang menarik perhatiannya adalah kerja orang-orang di komunitas itu walaupun mereka tidak menerima upah. Orang-orang itu bekerja dengan penuh entusiasme, penuh hormat, dan mereka bekerja dengan rajin. Matsushita membayangkan apa dampaknya atas sebuah perusahaan, apabila bekerja dalam perusahaan dibuat menjadi penuh arti sebagaimana halnya dalam komunitas religius tersebut. Matsushita berpikir bahwa dengan demikian para pekerja akan menjadi lebih puas dan lebih produktif. Hal ini membuat dirinya mulai merenungkan secara mendalam tentang tujuan fundamental dari perusahaan-perusahaan.  Beberapa bulan kemudian Matsushita mengumpulkan sekitar 1.100 orang  yang bekerja dalam perusahaannya untuk suatu rapat akbar yang diselenggarakan di Osaka Central Electric Club Auditorium. Di tempat itu Matsushita berpidato kepada mereka. Ekspektasi para pekerja pada suatu pagi hari di musim semi itu adalah mendengar pujian-pujian dari sang pendiri perusahaan atas hasil kerja mereka dan kualitas-tinggi dari produk-produk yang dihasilkan. Ternyata Matsushita datang dengan suatu kejutan. Pada hari itu memang terjadi sesuatu yang sungguh merupakan sebuah peristiwa bersejarah yang tidak akan pernah dihapuskan dari buku sejarah perusahaan.

Dalam pidatonya ini, Matsushita dengan berani mengusulkan hal seperti berikut: “misi dari sebuah perusahaan industri haruslah mengatasi kemiskinan, untuk membebaskan masyarakat secara keseluruhan dari kesengsaraan, dan membawa kekayaan kepadanya (masyarakat).” Matsushita mengakui bahwa misi sedemikian mungkin memerlukan waktu berabad-abad untuk dicapai, namun begitu dia menantang setiap orang dalam organisasi untuk menerima apa yang dipertimbangkannya sebagai suatu panggilan suci. Beberapa bulan kemudian, Matsushita berhasil datang dengan seperangkat cita-cita, dan dia mendorong agar para pekerjanya berkomitmen terhadap cita-cita tersebut. Berikut ini adalah cita-cita termaksud:

    • Pelayanan kepada umum (Service to the public).
    • Keadilan dan kejujuran (Fairness and honesty).
    • Kerja sama tim untuk tujuan bersama (Teamwork for the common cause).
    • Untiring effort for improvement (Upaya yang tak kenal lelah untuk memikirkan dan melakukan perbaikan).
    • Kesopan-santunan dan kerendahan hati (Courtesy and humility).

Matsushita percaya bahwa tanpa falsafah bisnis yang sehat, sebuah perusahaan akan kehilangan arah dalam dunia bisnis yang sangat kompetitif, kata menantunya, yang menjadi direktur utama, kemudian Chairman dari perusahaan, Masaharu Matsushita. Untuk informasi, Konosuke Matsushita tidak mempunyai anak laki-laki. Menantunya ini mengambil nama keluarga Matsushita setelah menikahi seorang puterinya. “Hanya setelah pekerjaan dasar yang menyangkut falsafah perusahaan selesai digelar, maka para pekerja, teknologi dan modal sebuah perusahaan dapat digunakan untuk mencapai hasil yang terbaik”, demikian kata sang menantu.

Bagaimana Matsushita membuat para pekerjanya menjadikan nilai-nilai yang disampaikannya menjadi “shared values” yang berlaku di seluruh perusahaan” Matsushita senantiasa meyakinkan dirinya bahwa dia telah mengkomunikasikan ide-idenya dengan jelas. Bertahun-tahun lamanya, Matsusitha mengarahkan para pekerjanya untuk membaca keras-keras nilai-nilai perusahaan di atas, setiap pagi. Pada tahun 1935 Matsusitha menyusun sebuah pamflet tentang misi Matsusitha Electric bagi para pemilik toko yang menjual produk-produknya, Bagi para manajernya, dia menulis perumpamaan-perumpamaan guna menjelaskan setiap nilai. Dia juga menggunakan cerita-cerita singkat yang mudah dipahami.

Secara sekilas lintas, pidato Konosuke Matsushita yang disebutkan di atas dapat dikatakan tidak hebat-hebat amat, juga tidak begitu memberi inspirasi, namun pesan yang disampaikan dalam pidato itu secara konsisten diterapkan dalam cara  bagaimana perusahaan itu dijalankan. Yang lebih penting lagi adalah, bahwa perilaku Matsushita setelah itu juga konsisten (taat azas) dengan visinya dan dengan cita-cita yang diungkapkannya. Pada tingkat organisasi, Matsushita memperkenalkan sistem-sistem seperti kepemilikan saham perusahaan oleh para pekerja, dan dia juga mendorong apa yang kita kenal dengan “empowerment of employees”. Pada tahun 1934, misalnya, Matsushita mengatakan kepada para pekerjanya, “Tidak cukup anda bekerja dengan penuh kesadaran. Apa pun pekerjaan anda, anda harus melihat diri anda sebagai seorang yang sepenuhnya in-charge dan bertanggung jawab atas pekerjaan anda, seperti seorang Direktur Utama dari perusahaan anda sendiri” (Kotter, hal. 124). Oleh karena itu ada lelucon yang beredar bahwa di Matsusitha Electric ada banyak direktur utama. Matsushita terus menekankan apa yang disebutnya sebagai “hikmat-kebijaksanaan kolektif”, ide bahwa keputusan-keputusan harus didasarkan pada berbagai masukan yang berasal dari banyak pekerja, sebagai lawan dari tindakan-tindakan pribadi masing-masing eksekutif yang lebih berkemungkinan untuk menekankan kepentingan pribadi, sewenang-wenang atau salah arah. Pada tingkat pribadi, berbagai interaksi Matsushita dengan orang-orang lain (termasuk para pekerjanya) meneguhkan segala gagasan yang dicetuskannya.

CATATAN PENUTUP

Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa Matsushita memandang manusia tidak sebagai sekadar angka statistik, tidak sekadar sebagai salah satu faktor produksi yang  bernama “tenaga kerja”, melainkan sebagai sumber daya (“human resource”). Pada abad ke-21 ini, saya sempat bekerja untuk waktu yang tidak lama di bidang industri manufaktur. Dalam perusahaan itu, misalnya, salah seorang pemilik perusahaan pada suatu hari dengan gaya santai meminta kepada kami berdua – deputy general manager yang in charge dalam bidang human resources dan saya sendiri sebagai atasannya – untuk mengeluarkan 400 pekerja dari perusahaan. Inilah contoh sederhana dari seseorang yang memandang para pekerja (manusia dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dan ekspektasi-ekspektasi tertentu pula) sebagai sekadar angka-angka statistik. Inilah pandangan yang 180 derajat berlawanan dengan pandangan seorang Konosuke Matsusitha. Mungkin sang pemilik perusahaan harus mengalami suatu “moment of truth” guna mengalami semacam pencerahan, sebagaimana dialami oleh Konosuke Matsusitha pada tahun 1932 di sebuah komunitas religius.

Karena keterbatasan ruang, dalam tulisan saya tidak sempat menulis tentang terobosan-terobosan yang dilakukan oleh Matsusitha dalam hal bidang pelatihan dan pengembangan para pekerjanya. Mungkin lain kali saya akan menulis tentang hal itu. Dalam tulisan saya yang berjudul KEPEMIMPINAN ADALAH SEBUAH PROSES (KOMPASIANA, 7 Januari 2014), saya mengatakan bahwa kepemimpinan melibatkan suatu interaksi (yang dinamis) antara sang pemimpin, para pengikutnya, dan situasi yang dihadapi. Sebagai seorang pemimpin sejati, Matsusitha tahu sekali bahwa para pekerja adalah suatu bagian yang “critical” dalam persamaan Kepemimpinan: K = f(p,b,s). Para pekerja (atau “konstituen” dalam gambaran kepemimpinan yang melampaui bidang bisnis), memegang peranan yang penting berkaitan dengan proses kepemimpinan secara keseluruhan.

Di dekat lap-top saya sekarang ada sebuah buku karangan Konosuke Matushita yang berjudul THOUGHTS ON MAN (dalam bahasa Jepang, Ningen o Kangaeru, 1975), Tokyo, Japan: PHP Institute International, Inc., 1982. PHP adalah singkatan dari “Peace and Happiness through Prosperity”. Matsushita memang sangat meminati hal-ikhwal manusia dan masyarakat. Ia memulai kegiatan PHP pada tahun 1946. PHP adalah sebuah think-tank, dan salah satu tujuannya adalah menjaga Jepang agar tidak terjun ke dalam peperangan lagi. Matsusitha memang seorang pemimpin besar di dunia bisnis! Ia adalah seorang pemimpin dengan visi ke depan yang luar biasa, memiliki keterampilan berkomunikasi secara efektif, memiliki bela rasa terhadap para pekerjanya, dan yang paling istimewa: dia adalah seorang pribadi yang memiliki integritas (hal ini tercermin dalam nilai-nilai yang berbunyi:  “Keadilan dan Kejujuran”.

Jakarta, 15 Januari 2014

Drs. Tiardja Indrapradja

http://developingsuperleaders.wordpress.com

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun