Mohon tunggu...
Indra Firmansyah
Indra Firmansyah Mohon Tunggu... -

Penulis yang ingin bisa nulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Balada Seorang Penyiar Radio

17 Desember 2009   22:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:53 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam weker berdering tepat pukul 04.00 WIB pagi. Si hasan buru-buru bangun, dengan cekatan dia membereskan tempat tidurnya yang sudah reyot. setelah mematikan beberapa lampu dia sempat melirik ibunya yang masih tertidur pulas, terbersit rasa iba karena hanya ibunya yang dimilikinya sekarang, sedangkan bapaknya sudah meninggal 4 tahun lalu.

Setelah membereskan rumah dan mempersiapkan sarapan untuk ia dan ibunya, ia ngeloyor ke kamar mandi, dia gak lupa nyambar handuk yag ada disebelah pintu kamar mandi yang sudah lapuk. ia tahu jadwal siaran pagi ini. Selama di kamar mandi si hasan berharap pagi ini dia bisa siaran sebagus mungkin. Setelah shalat subuh, dia berpakaian alakadarnya dengan baju yang di banggakannya, uniform radio.

Dengan memakai sepeda butut peninggalan bapaknya, sambil menghirup udara pagi dia mengayuh sepedanya melewati jalanan kota Cirebon yang sudah mulai ramai, dia menikmati suasana pagi itu, maklum waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 05.40 WIB.

Setelah memarkirkan sepedanya, dia buru-buru masuk ke studio, "... selamat pagi hasan..." tiba-tiba pa idris nyapa dari dalam, pa idris adalah cleaning service radio yang baru bekerja beberapa bulan, setelah berbincang-bincang sebentar dengan pa idris, dia  mempersiapkan script untuk tema siaran pagi itu. Tepat pukul 06.05 WIB si hasan sudah duduk di depan mixer dan komputer.

Dengan lantangnya dia mulai membuka suasana, "... SELAMAT PAGI INDONESIA..."

Begitulah kerjaan si hasan setiap hari. Si hasan menggeluti dunia broadcasting sebagai seorang penyiar. Dia merasakan ada kepuasan lain dalam batinnya dan merasa senang sekali bisa menghibur pendengar dengan ocehan-ocehannya.

Tapi dalam hati kecilnya si hasan tetap meratap, penghasilan sebagai penyiar radio mana cukup buat biaya hidup dia sama ibu nya yang sudah tua dan sering sakit-sakitan. Dengan sisa waktu yang ada setelah jam siaran selesai, si hasan berusaha dengan menambah penghasilannya sebagai seorang Portir di sebuah stasiun besar di kota Cirebon.

Cucuran keringatnya sebagai kuli panggul stasiun, tidak dia hiraukan. Bayang-bayang wajah ibunya membuat dia bersemangat. Dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk mendapatkan upah yang lumayan untuk dibawa pulang ke rumahnya, untuk beli beras 1-2 kg untuk makan dia sama ibunya selama beberapa hari.

Tapi alangkah kagetnya dia setelah sampai di depan rumahnya, banyak tetangga sedang berkerumun, astagfirulloh...apa yang terjadi? apa yang terjadi dengan ibuku? kenapa orang-orang berkerumun di rumahku? Pa Dayat sebagai ketua RT dimana ia tinggal dengan rona wajah yang menyimpan sesuatu cepat-cepat menghampiri si hasan dan membawanya ke tempat agak jauh dari rumahnya, sebelum ia bertanya sesuatu, pa RT sudah duluan nyapa "...san, km darimana..? ibu mu mendapat musibah..." tanpa bertanya lagi, si hasan sudah tahu, penyakit jantung yang selama ini diderita ibunya sudah merenggut nyawanya.

Dengan langkah gontai dia masuk ke rumahnya, dengan bersimpuh disamping jenazah ibunya, ia menangis. semua pelayat yang hadir jadi terharu malahan di antaranya ada yang nangis pula.  Maklum si hasan adalah anak satu-satunya dari keluarga bu Tati dan pa Dirja yang sudah meninggal 4 tahun lalu karena kecelakaan.

Kini ia hidup sendirian. kini ia hidup sebatang kara. kini ia merasa kesepian.  Si hasan jadi sering melamun. Gairah hidupnya telah meredup. Semangat yang dulu ada sekarang hampir gak ada sama sekali.

Hari itu hari Jum'at, sekitar jam 09.30 WIB si hasan keluar dari studio, siarannya sudah selesai. Dia akan pulang ke rumahnya karena sebentar lagi Jum'atan. Tapi tiba-tiba ada rasa ragu dalam hati si hasan untuk pulang, rumahnya yang sudah dia tempati beberapa tahun lamanya kini menyimpan suasana sepi.

Dengan mengayuh sepeda nya, si hasan teringat akan ibunya yang sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Dia teringat dimana setiap hari jum'at ibunya selalu berpesan kalau hari itu gak usah ke stasiun, istirahat di rumah saja.

Sepeda itu meluncur pelan di jalan yang beraspal mulus, tapi pikiran dan suasana hati si hasan entah kemana. Petaka pun datang, lampu stopan menunjukkan warna merah, tapi sepeda si hasan masih tetap meluncur.... tiba-tiba dari sebelah kanan datang sebuah angkutan kota dengan kecepatan tinggi, si hasan kaget, tapi sudah terlambat.

Brakkk..!! mobil itu menabraknya. Si hasan terlempar beberapa meter dan kepalanya membentur aspal, sepedanya hancur.

Sesaat si hasan merasakan suasana jadi sepi. dia jadi merasa tuli. matanya menatap langit. sekilas bayangan ibu dan bapaknya melintas. tidak lama pandangannya menjadi gelap..gelap..dan gelap. si hasan meninggal dengan baju yang selama ini dibanggakannya, uniform radio.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun