Ibadah Nikmat di Malam Jumat
Di bulan Mei tahun kemarin saya dan isteri menghadiri resespsi pernikahan guru SD anak kami.Seperti biasa seorang kyai di pesta itu memberikan nasihat. Mengutip hadis dan ayat suci dari sana-sini. Salah satunya adalah tentang kiat-kiat berumah tangga yang harmonis. Katanya ibadah suami isteri sebaiknya dilakukan di malam Jumat. Itu sunah. Pahalanya bisa berlipat. Setara dengan membunuh 3000 musuh. Sama dengan menghabisi 3000 kepala Yahudi.Sungguh suatu nasihat yang dahsyat. Kiat-kiat yang hebat. Beribu-beribu musuh bisa sekarat di malam Jumat, sementara kita bisa beroleh nikmat. Coba saya tahu dari dulu. Tentu saya takkan ragu membantu perjuangan rakyat Palestina itu.
Tak rugi rasanya memberi amplop kondangan pada guru anak kami itu. Saya tulus dan ikhlas sepenuh hati. Toh saya bisa melenggang pulang dengan perut kenyang. Pikiran juga jadi terang. Sebuah ilmu yang bermanfaat telah didapat. Yang kalau diamalkan tentu pahalanya bisa berlipat-lipat. Jauh lebih berharga nilainya dari uang yang ada di amplop itu. Sebuah rencana bagus telah kurajut.
Di pekan itu ingin sekali waktu segera berlalu. Berharap cepat-cepat mendekat ke hari Jumat. I love Friday. Everybody loves Friday. Semuanya suka hari Jumat. Itu pasti. Karena sepertinya juga kebanyakan orang punya alasan serupa dengan pikiran saya ini. Atau jangan-jangan mereka sudah tahu lebih dulu. Untuk urusan ginian sejujurnya saya saya sering terlambat. Wong kawin saja telat. Tapi tidak apa lebih baik telat daripada menjomblo sampai kiamat.
Seperti prajuritmau persiapanke medan perang. Sepekan itu saya disibukan dengan berbagai macam persiapan. Dari mulai fisik. Dengan berolah raga rutin di pagi hari.Amunisi juga saya isi. Minum madu tiap pagi. Dan jamu di malam hari. Strategi juga dipelajari.Tantra dan kamasutra dibaca berulang-ulang sampai bosan. Persiapan harus matang. Jangan kepalang. Kalau mau dukung rakyat Palestina jangan nanggung. Cuma ngumpul-ngumpul muterin Monas dan bundaran HI doang, mikrolet butut juga bisa. Lagian kalau cuma ngumpul berkoar-koar seperti itu, yang ngumpulnya umat berjuta-juta juga, saya yakin Yahudi tak kan takut. Yang ada cuma jalanan macet. Biarpun teriak-teriak sampai bibir dowerpun, Palestina tetap saja diduduki. Yahudi takkan lari. Sungguh bosan saya lihat pameran kebodohan di republik ini.
Kalau mau berjuang jangan cuma teriak. Mari buktikan. Angkat kaki goyangkan badan. Ini hari sudah Kamis petang. Perang Khaibar jilid 2 akan segera berkobar. Jangan gentar. Perut bisa maju.Pantat boleh mundur.Jam 5 sore. Bel berbunyi. Tidak lembur. Langsung kabur. Ada yang lebih penting dari kerjaan dan urusan cari uang. Ada tugas yang lebih mulia. Rakyat Palestina sudah menunggu uluran tangan kita.
Jam setengah 7 petang. Sudah sampai di rumah. Perut sudah kenyang. Sate kambing satu piring sudah mengisi perut di perjalanan pulang tadi. Isteri sengaja tak saya suruh masak nasi dan sambal terasi malam ini. Sambal terasi memang enak di lidah. Tapi tak elok untuk dihirup. Apalagi di malam Jumat yang keramat seperti ini. Aromanyabisa bikin lemah syahwat. Baunya bisa membuat suasana jadi tidak romantis. Sebagai suami yang baik, urusan teknis sedetail ini juga harus diatur secara taktis. Dalam hal servis kita harus perfeksionis. Untuk dapat servis dari isteri kita yang manis, kita harus lebih dulu memberinya layanan yang tak kalah primanya. Minimal jaga perasaan. Baca keadaan. Harus ada give and take. Rahasia rumah tangga harmonis di situlah kuncinya.
Jam delapan malam. Birahi sepertinya sudah naik sampai ubun-ubun. Asap mengepul di atas kepala. Tapi sebagai lelaki, saya harus sabar dan bijaksana. Sebelum peperangan anak-anak harus diamankan. Jangan sampai mereka ikut jadi korban. Dua makhluk tak berdosa ini, jangan dibiarkan melihat pertempuran. Biarlah kami berdua saja yang sudah dewasa yang pergi ke medan laga. Sementara isteri saya menidurkan anaknya. Saya mendinginkan kepala. Mandi dan gosok gigi. Biar wangi.
Jam Sembilan malam. Saya sudah rapi. Anak-anak sudah tidur mendengkur. Saya sudah siap tempur. Menunggu Srikandinya tiba di kasur. Pintu kamar terbuka. Isteri saya terlihat begitu cantik dan menggodanya di malam itu. Seperti bidadari turun dari surga, ia merebahkan tubuhnya di pembaringan itu. Tuhan, terima kasih. Saya tak butuh bidadari lain. Saya mendekatinya. Jantung berdegup kencang. Tapi sebagai lelaki saya harus tetap terlihat tenang. Dengan sedikit komunikasi dan basa-basi saya coba untuk menguasai diri.
“Mah, Papa sudah menunggu-nunggu malam Jumat keramat ini. Lihat Papa sudah kuat. Mamah kan tahu hampir tiap hari Papah jaga kondisi badan agar tetap fit. Olah raga dan minum madu tiap pagi. Jangankan 3 ribu musuh. 30 ribu musuhpun bisa Papah kalahkan dengan tubuh yang sekuat ini. Rakyat Palestina harus kembali mendapatkan tanahnya kembali malam ini. Yahudi harus dihabisi sampai ke akar-akarnya saat ini juga.” Kata saya berapi-api sambil menahan birahi.
“Pah, maaf Mamah ini bukan anteknya Nazi. Bukan pengikut Hitler yang keblinger itu. Lagian menurut mamah, mencari nikmat di atas ribuan mayat itu sesat, Pah. Sungguh kualat!” Saya bingung mendengar jawaban dari Srikandi-ku itu. Jangan-jangan dia sudah dicuci otak sama Mosad.
“Yang kualat itu kamu, Mah.” Birahiku berubah jadi emosi.
“Mamah bisa dilaknat oleh ribuah malaikat, karena tidak membantu perjuangan rakyat Palestina di malam Jumat ini. Ingat tugas isteri adalah melayani suami!” Jawab saya dengan nada tinggi. Kalau sudah begini, kadang suami sulit sekali membedakan keberadaan seorang isteri. Teman gaul di kasur bisa berubah menjadi musuh dalam selimut. Bila dialog ini diteruskan, bukan tidak mungkin Perang Khaibar Jilid 2 ini akan berubah menjadi Perang Barata Yudha jilid 3.
Dengar saja jawaban isteri saya dengan nada yang tidak kalah tingginya.
“Sejak kapan saya kawin dengan suami yang idiot seperti ini. Membenci Yahudi. Kenal saja belum, siapa mereka. Habisi. Habisi Yahudi. Ngumbar emosi sekalian dengan numpahkan birahi. Tidak akan diridhoi Yang Maha Suci, Pah. Lihat buktinya. Malam ini jadi tanggal merah buat Papah. Dan ingat, bernikmat-nikmat di atas mayat-mayat yang sekarat itu adalah sesat. Boleh saja empati pada rakyat Palestina. Bahkan fardhu. Tapi tidak harus dengan membenci Yahudi. Dasar keimanan adalah kasih sayang pada sesamanya. Agama harus menyebar kasih bukan rasa benci. Mengenai nasihat kyai di pesta pernikahan itu. Coba terjemahkan dari sisi pandang lainnya yang lebih bijak. Emosi terhadap musuhpun, kalau bisa dikendalikan. Kalau tak kuat juga silakan ditumpahkan bukan dengan perang di medan tempur. Tapi dengan rekreasi di atas kasur. Ya, Tuhan, bebaskan kebodohan dari suamiku yang sudah sedungu keledai ini!”
Kata-kata terakhirnya menghujam ibarat pedang. Saya terdiam. Kata-kata yang sudah saya siapkan, terbang entah ke mana. Mati tak bernyawa. Betapapun juga kata-kata isteri saya ada benarnya. Tapi mengakui superioritas isteri secara dini, kalau tidak hati-hati bisa jadi pemicu impotensi. Demi kebaikan bersama, akhirnya saya memilih kabur. Ngeluyur meninggalkan medan tempur. Menuju kamar tempat kedua anakku yang sedang tertidur.
Kuelus-elus wajah anak-anakku itu. Wajah anak-anak yang tak berdosa. Tanpa rasa benci terhadap Yahudi. Dan juga belum ada birahi. Mereka bisa tidur dengan begitu damainya. Saya ciumi pipinya. Bau keringatnya adalah aroma terapi yang senantiasa mampu meluluhkan luapan emosi orang tuanya. Betapa aku mencintai anak-anakku, lebih dari empatiku terhadap rakyat Palestina. Ada tugas yang lebih mulia yang diembankan Tuhan di pundakku untuk mendidik mereka berdua bersama dengan isteriku tercinta.