Mohon tunggu...
Indra Malela
Indra Malela Mohon Tunggu... -

Pegawai Swasta tinggal di Cikarang, Hobi membaca; menulis untuk iseng saja.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perempuan Demplon seperti Tawon

27 April 2011   02:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:21 1489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

seperti mimikri kulit bunglon

seredup lampion

sejelas  berkas sinar lampu argon

Kita tak pernah tahu kejadian apa yang akan datang,dan tamu kehidupan apa yang akan mengetuk pintu. Apapun adanya harus dihadapi.Terutama mungkinuntuk kami yang memang tidak punya pilihan lain. Terimalah dengan tabah, karena Insya Allah akan berbuah berkah. Dan bagi kami petuah itu sendiri itulah yang sebenarnya  jadi berkah. Setidaknya persepsi itu memberi kami kekuatan dalam menghadapi masalah dengan tetangga depan rumah.

Sebenarnya masalah dengan tetangga depan rumah ini kurang pantas untuk disebut sebagai “masalah”, kalau memang kami sendiri tidak ambil pusing dengan urusan orang lain. Rumah kami terpisah dengan jelas oleh jalanan. Halamannya punya masing-masing. Dindingnya sendiri-sendiri. Rumah kami hampir tak bersinggungan. Meteran air, meteran listrik kamipun jelas terpisah. Tak pernah ada tagihan koran rumah depan nyasar pada kami. Atau kiriman pos untuk kami, nyasar ke pintu mereka. Sebenarnya kami bisa berdamai dengan keadaan ini. Tidakkah sebenarnya kegundahan ini, wujud lain dari rasa iri. Jangan-jangan keresahan ini adalah buah dari rasa ingin turut campur urusan orang lain. Perempuan berbaju seksi berada di rumahnya sendiri: apa salahnya. Seorang lelaki kedatangan tamu muda-mudi, gonta-ganti: kenapa musti diambil hati. Tidak bisakah berpositif thinking saja dalam urusan ini. Kadang batas ‘rasa peduli’ dan ‘rasa iri’ dalam kehidupan bertetangga ini hampir setipis kulit ari. Kepedulian akan urusan orang lain itulah yangsering membuahkan masalah. Bukankahbisikan syaitan bisa sehalus ajakan malaikat.

Saya entah terlalu permisif, atau mungkin kurang rasa kurang peka dan peduli terhadap urusan orang lain. Setidaknya kalau dibandingkan denganpara ibu-ibu, isteri-isterikita, wanita-wanita beriman: pembenci kemaksiatan, sekaligus pemburu dan penyebar kabar murahan. Semakin banyak tamu berdatangan ke rumah depan, semakin gencar gossip yang beredar. Kegaduhan suara kendaraan bermotor yang parkir di depan rumah kami sebanding dengan keramaian beritanya yang tersebar di lingkungan warga sekitar. Begitu juga hidangan yang saya dapatkan hampir malam:

“Pah, tadi siang mobil berjajar lima, entah dari mana mereka. Perempuannya muda-muda, berbaju seksi. Lekuk tubuhnya menonjol ke sana-sini. Kontras dengan tamu-tamu lelakinya. Perutnyagendut. Kulitnya agak keriput. Usianya sudah lanjut mendekati maut. “

Hidangan tersebut saya sambut sebagai berikut: "Mah, wanita-wanita demplon -yang dibawa lelaki pembawa tabung gas melon itu- tidak mungkin kita usir. Kita tidak mempunyai hak dan kewenangan untuk itu. Ia bahkan tamu tetangga kita. Kita bisa meminta RT atau satpam mengusir tabung gas melon itu dari lingkungan rumah kita. Tapi wanita-wanita itu, perempuan-perempuan itu walaupun tubuhnya demplon – tidak mungkin meledak seperti tabung gas melon. Percayalah, semuanya akan aman. Lagian, kita tidak usah usil dengan busana mereka. Kita bukan dokter pribadinya yang bisa menasehati bahwa busana minim itu bisa bikin masuk angin. Busana ketat itu bisa membuat sesak nafas yang yang memakainya dan juga yang melihat. Kita juga bukan penasihat busananya, yang bisa menasihati mana yang pantas untuk pakaian musim panas; dan mana pakaian yang harus dipakai agar tidak masuk angin. Kita tidak bisa menyuruhnya untuk mengganti pakaian santai dan busana pantainya itu dengan gaun dari daerah gurun.  Ataupun dengan busana padang pasir. Kita bukan temannya; bukan saudaranya. Bagaimana harus menyampaikannya. Jangankan kita, menteri agama atau  menteri urusan peranan wanita pun tak ada hak untuk atur mengatur dalam hal ini. Apalah artinya kita, yang hanya kebetulan jadi tetangganya, itupun belum akur. Kenapa kita tidak sambut saja mereka itu dengan sapaan dan senyuman. Mereka semua makhluk Tuhan. Tamu kehidupan. Lebih baik kita sambut, tak peduli mereka itu genit atau gendut. Lumrah saja untuk menerima yang demplon ataupun yang blo’on jadi tetangga baik kita. Mereka juga seperti kita, apa salahnya. Jadikan kehidupan bertetangga kita ini seperti taman yang bukan saja menyuburkan bunga-bunga kita tanam; tapi juga menumbuhkan biji-biji lainnya yang datang beterbangan. Mah, bukankah kita diajarkan untuk selalu jadi manusia yang qona’ah. Dalam bermuamalah tidak usah memilah-milah, Insya Allah semua masalah akan jadi mudah. Bahkan bisa menjelma jadi sebuah hadiah.”

Isteri saya cemberut. Hidangan yang saya berikan sepertinya terasa kecut di mulut. “Jadi hadiah? Tentu saja buat papah.!”

Yah, begitulah kalau kutukan sudah datang. Keberkahan suasana rumahjadi berkurang. Hidangan malam jadi kecut oleh  adu mulut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun