Bencana gempa bumi yang disusul tsunami dan bahaya radiasi di Jepang bukan hanya meninggalkan derita tapi juga pesona. Bencana yang  susul-menyusul itu, bahaya yang datang bertubi-tubi itu bukan saja meninggalkan kesan pilu dan kelu. Tetapi juga menggoreskan kesan, bahwa Jepang bukan saja mahir membuat mobil, tapi tangguh dan piawai juga menghadapi bencana.  Mereka bisa berjam-jam bersabar dalam antrian memperoleh ransum makanan, bersabar dalam menunggu giliran di telepon umum, bersabar dan berderet dalam barisan yang panjang  di tempat perbelanjaan. Tanpa keluh. Tiada gaduh. Tak ada penjarahan. Kesabaran mereka dalam menghadapi bencana patut dijadikan teladan bagi masyarakat dunia. Begitulah berita-berita banyak di mass media  yang meliput dan menulis bencana gempa di Jepang baru-baru ini. Bangsa Jepang sudah terbiasa bersabar dalam jamaah menunggu antrian naik kereta, berbaris  dalam antrian jam makan siang di tempat kerja bahkan di kantin sekolahan. Begitulah berita juga menambahkan analisanya.
Begitulah juga sejak dulu sebenarnya saya juga sudah diajarkan tentang kesabaran. Di rumah. Di sekolah. Juga di tempat ibadah. Sabar adalah sifat yang musti selalu saya miliki dalam hati dan harus saya praktekan dalam hidup sehari-hari.  Selalulah bersabar. Karena Tuhan senantiasa bersama orang-orang sabar. Sabar adalah kekuatan. Sabar adalah kunci sukses dalam hidup ini, pembuka gerbang kebahagiaan di dunia dan akhirat nanti. Sabar adalah obat  penahan derita, rahasia   menikmati hidup ini. Semestinya saya mengerti dan paham sekali arti sabar ini. Saya seyogyanya tahu makna sabar itu. Dan tentu sadar akan manfaat dan maslahat dari kesabaran itu. Tetapi kenapa sifat sabar ini tak kunjung saya memilikinya juga, saya belum tahu entah mengapa.
Saya juga sadar karena kurangnya kesabaran ini, betapa banyak bencana yang ditimbulkannya. Kemacetan jalanan adalah salah satunya. Saya sering saja tak mau antri di jalanan. Bencana lainnya tak kalah banyaknya terjadi karena kurangnya sifat sabar yang saya miliki. Ah, tentu saya malu kalau harus menyebutkannya satu persatu. Bahkan kalau ada bencana alam datang justeru biasanya akan terjadi bencana susulan; berupa kegaduhan dan penjarahan karena ketidaksabaran sifat kami ini. Makhuk sempurna dan khalifah bumi macam apakah saya ini, karena ternyata bisanya hanya berkata-kata dan menzalimi dirinya saja.
Dan Tuhan beserta orang-orang sabar. Itu saya sudah tahu.  Yang tak habismengerti kenapa sifat sabar itu jarang sekali bersama dalam diri ini. Ternyata saya baru bisa sabar untuk satu hal. Yaitu untuk menjadi orang sabar itu sendiri. Saya tidak bisa cepat dan bersegera menjadi orang sabar. Jadi wajar kalau di usia 40-an ini pun saya belum juga jadi orang sabar. Saya sadar ternyata saya baru bisa menulis sabar dalam tulisan   bukan dalam hati dan perbuatan. Betapa malu sebenarnya saya menulis tentang sifat 'sabar' ini.  (Indra Malela, 16 Maret 2011)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H