Kita tidak memungkiri bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memiliki beragam kewenangan untuk menciptakan kondisi hukum dan politik tanah air berjalan sesuai porosnya. Merujuk pada situs MKRI tertulis beragam kewenangan dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia seperti:
- Menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
- Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
- Memutus pembubaran partai politik.
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilu (Sumber Klik disini)
Saya tertarik pada kasus penanganan terhadap Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan oleh DPP Partai Berkarya. Pada materi gugatan berkaitan dengan Syarat calon Presiden dan calon Wakil Presiden belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama (Sumber klik disini). Pada kasus ini saya sebagai orang awal menilai bahwa undang-undang yang ada saat ini pun masih belum bisa mewadahi beragam kepentingan masyarakat atau pun kelompok.
Ini menunjukan bahwa warga negara ataupun kelompok masyarakat memiliki hak untuk mengajuan peninjauan terhadap undang-undang yang disahkan. Sejalan dengan isi Pasal 28E ayat 3 pada UUD 1945 yang menegaskan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pengajuan terhadap peninjauan kembali UU Nomor 7 Tahun 2017 menjadi bukti bahwa masyarakat pun berhak untuk memberikan masukan tersendiri terhadap implementasi di lapangan ataupun hukum.
Peran MK menjadi penting dimana mengkaji kembali pengajuan pemohon sehingga berhasil menghasilkan amar putusan menerima atau menolak. Secara tidak langsung, saya menilai bahwa amar putusan MK akan bersikap mengikat dan final sehingga peran MK dalam menguji Undang-Undang sudah berjalan sesuai porsinya.
Masih Butuhkah MKRI Belajar pada MK Austria?
Muncul sebersit pertanyaan apakah MKRI masih butuh belajar atau studi banding pada MK di negara lain khususnya Austria? Kita menyadari bahwa MK Austria dianggap sebagai pelopor berdirinya MK di dunia bahkan menjadi kiblat bagi negara lain untuk memperkuat peran MK di negara masing-masing. Ini tidak terlepas dari usia MK Austria yang sudah menginjak 103 tahun sejak didirikan pada 1920.
Tidak ada salahnya kita belajar dari sisi positif MK Austria untuk menjadi bahan refleksi diri agar MKRI bisa menjadi lembaga yang kuat. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan pembelajaran pada catatan 20 tahun MKRI.
Pertama, dari sisi anggota, MKRI masih berada di bawah MK Austria. Berdasarkan situs MKRI, anggota MKRI terdiri dari 9 orang hakim konstitusi. Adapun pembagian ini yaitu DPR, Presiden dan Mahkamah Agung mengajukan 3 orang sebagai anggota MKRI. Berdasarkan jumlah ini maka susunan organisasi akan meliputi Ketua merangkap anggota, Wakil Ketua merangkap anggota serta 7 anggota.
Bandingkan dengan jumlah MK Austria dimana terdiri dari 14 anggota (termasuk presiden dan wakil presiden) serta 6 anggota pengganti. Secara jumlah tentu MK Austria lebih unggul dibandingkan MKRI. Menurut saya, jumlah anggota MKRI bisa dipertimbangkan untuk ditambah setidaknya diatas 10 orang. Perlu adanya keanggotaan dari lembaga independen yang merupakan pakar/profesional di bidang hukum namun tidak memiliki keterkaitan dengan lembaga pemerintah.
Tentu tujuan agar memberikan penilaian lebih obyektif dalam suatu keputusan. Kepercayaan masyarakat pun akan kian meningkat karena anggota MK tidak sepenuhnya referensi lembaga pemerintah atau pemangku kepentingan khusus. Di kondisi saat ini kepercayaan masyarakat pada institusi pemerintah mulai berkurang ditengah beragam konflik internal ataupun kasus-kasus khusus yang mencederai kepercayaan masyarakat.
Kita tidak kekurangan pakar hukum yang memiliki kredibilitas tinggi di tanah air. Apalagi banyak profesor hukum yang lahir di institusi pendidikan di Indonesia yang siap ikut membantu MKRI dalam menjalankan wewenangnya. Selain itu ada banyak lembaga atau ikatan dari pakar hukum yang ada seperti Ikatan advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indoensia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI) dan sebagainya.
Kedua, Ketegasan Dalam Mengawal Pemilu. Saya tertarik pada kasus Pemilihan Dewan Nasional pada 1995 di Austria dimana terjadi kericuhan ketika salah satu pejabat publik setingkat menteri memberikan hak suara secara tidak sah dimana dirinya tidak terdaftar sebagai pemilih. Kericuhan terjadi dikarenakan petugas pemungutan suara seakan menutup mata yang tentu saja bertentangan dengan asas kejujuran.
MK Austria secara cepat menerima aduan masyarakat serta melakukan pengecekan dan pengujian terhadap aduan yang diterima. Terbukti pelanggaran ini membuat MK Austria secara tegas meminta adanya pemungutan suara ulang. MKRI belajar banyak dari ketegasan MK Austria untuk menerima aduan serta memberikan putusan pemungutan suara ulang terhadap hasil pemilu yang dianggap cacat.
Saya ingat pada beberapa tahun lalu, MKRI juga mengeluarkan putusan pemungutan suara ulang Pilkada 2020 yang diadakan serentak di berbagai daerah. Ini dikarenakan adanya temuan kecurangan yang merugikan salah satu pihak. Secara personal, saya tentu berharap ketegasan ini kian kuat mengingat kerap kali muncul kecurangan yang terjadi menjelang Pemilu.
Tidak perlu jauh mengambil contoh, saat terjadi Pilkades atau Pilkada pun kerap ditemukan money politic ataupun tindakan lain yang berusaha mendapatkan jumlah pemilih dengan tidak adil. Orang-orang disekitar saya pun menceritakan bahwa money politic sudah jadi hal lumrah di lakukan oleh oknum tertentu.Â
Jikalau ada temuan yang terbukti, MK sepatutnya tidak hanya menerapkan pemungutan ulang suara semata namun juga memberikan sanksi tegas seperti menggagalkan atau menghapuskan hak politik oknum yang terbukti terlibat kecurangan. Harapan tentu memberikan efek jera serta menegaskan bahwa MKRI tidak pandang bulu dalam menertibkan sistem perpolitikan di tanah air yang kerap dianggap masih carut marut.
Semoga 20 Tahun MK : Catatan dan Harapan Publik ini membuat MKRI semakin menjadi lembaga yang kuat dan dipercaya masyarakat. Tidak ada salahnya kita ikut belajar pada lembaga sama di negara lain dengan menitikberatkan pada kelebihan MK negara lain untuk menjadi terobosan mengatasi kekurangan di dalam negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H