Di masyarakat tertentu, apalagi si gadis memiliki garis keturunan bangsawan jaman dulu, anak kepala suku, memiliki pendidikan sarjana maka pihak keluarga mempelai wanita akan meminta mahar jumlah fantastis. Bahkan bisa ratusan atau miliaran rupiah.Â
Seandainya mempelai pria tidak memiliki kemampuan finansial baik, mahar ini terasa mencekik dirinya. Tidak jarang jalan yang dipakai yairu lanjut memenuhi mahar dengan menjual aset/meminjam uang atau mundur.Â
Orangtua perlu bijak terhadap kondisi ini. Mahar sebaiknya tidak memberatkan si mempelai pria namun juga tidak merendahkan si wanita. Jika hal ini menemukan titik temu maka biaya pernikahan akan masih terjangkau.Â
Langkah terakhir yaitu kurangi gengsi. Biasanya gengsi untuk merayakan resepsi mewah bisa muncul dari si mempelai atau pihak keluarga. Gengsi inilah yang membuat pengeluaran kian besar.Â
Saya ingat staf di kantor merasa bersyukur menikah jaman pandemi. Ia dan pasangan tidak perlu mengadakan pesta mewah untuk resepsi. Awalnya ada kekhawatiran karena pihak keluarga ingin dirayakan dengan mewah agar tidak jadi bahan omongan bagi tetangga kampung.Â
Ternyata pandemi membuat dirinya bisa berhemat jauh. Bahkan nikah cukup di KUA setempat, mengadakan syukuran keluarga inti, tidak perlu ada dokumentasi pre-wedding dan sewa tenda nikah. Biaya nikah tidak sampai 1 juta.Â
Gengsi jika bisa ditekan atau dikesampingkan justru membuat hidup terasa ringan. Begitupun resepsi pernikahan, ada saja mempelai lebih takut terjebak dalam gengsi daripada terjebak utang nikah. Ujung-ujungnya tidak hanya mempelai, pihak orangtua pun kocar kacir mencari pinjaman.Â
***
Pesta pernikahan memang menjadi momen sakral. Tidak jarang momen ini dihiasi dengan rasa gengsi dan permintaan tinggi yang membuat biaya pernikahan membengkak.Â
Orangtua masih menganggap bahwa menikahkan anak masih menjadi tanggungjawab mereka. Namun alangkah baiknya si mempelai sudah mampu mengatur keuangan sejak dini agar biaya pernikahan tidak lagi dibebankan ke orangtua.Â