Kemarin saya melihat sebuah video di sosial media. Video sebuah keluarga yang tengah makan bersama. Hal menarik ketika seorang gadis yang curhat tentang susahnya menemui dosen pembimbing.
Tampak jelas bahwa dirinya sedang memasuki fase pengerjaan skripsi. Si gadis bercerita hingga berkaca-kaca dimana dosen pembimbingnya susah untuk ditemui atau kerap berpindah lokasi.
Ini mengingatkan saya ketika dulu di posisi yang sama. Ada banyak suka dan duka dalam pengerjaan skripsi. Bisa dikatakan skripsi ibarat medan perang, hanya mereka yang bermental baja dan pantang menyerah bisa keluar sebagai pemenang (lulus wisuda).
Menyusun skripsi sebagai tugas akhir bukanlah perkara mudah. Setidaknya ada 4 alasan mengapa mahasiswa tingkat akhir harus memiliki mental baja.
# Alasan Pertama : Skripsi itu Menyatukan 2 Pemikiran
Penyusunan skripsi akan melibatkan 2 pihak yaitu mahasiswa sebagai penulis serta dosen pembimbing yang memberikan arahan. Tentu saja dibutuhkan penyamaan persepsi agar skripsi terselesaikan dengan baik.

Ada mahasiswa yang sudah mengetahui topik penelitian yang akan diangkat secara baik. Mulai dari permasalahan, rumusan masalah yang ingin diangkat, teori/konsep yanh akan digunakan serta metode penelitian yang dilakukan.
Biasa mahasiswa ini lebih mudah dalam menyamakan persepsi dengan dosen pembimbing ini karena ia bisa menjelaskan gambaran penelitian dengan detail dan jelas.
Sayangnya banyak mahasiswa yang masih terlihat abu-abu artinya bingung mau mengangkat apa? Jika sudah bingung di awal maka sudah dipastikan ia pun masih belum memiliki gambaran penelitian yang diangkat.
Tantangan akan jauh lebih besar karena mahasiswa akan bingung mendeskripsikan penelitian kepada dosen pembimbing. Dosen pun akan menerka gaya pemikiran mahasiswa berdasarkan pengalaman dan pengamatan. Sayang kerap terjadi ketidaksamaan yang membuat mahasiswa stres karena tidak memahami penjelasan dosen pembimbing.
# Alasan Kedua : Pencocokan Waktu Yang Tidak Sinkron
Mahasiswa sebagai pihak yang memiliki kepentingan lebih pada dosen pembimbing kerap kesulitan dalam menyamakan waktu bimbingan. Ada dosen yang memiliki jadwal padat, atau ada pula yang terkesan jual mahal.
Apes bagi mahasiswa yang memiliki dosen pembimbing "jual mahal" karena harus mengikuti jadwal si dosen. Ada kejadian yang dialami teman saya, dirinya sudah dijadwalkan bimbingan di tanggal dan jam yang ditentukan dosen. Sudah datang ke kampus dengan menyiapkan draft proposal dan berangkat lebih awal.
Ketika sampai di ruang dosen ternyata si dosen tidak ada di tempat. Dirinya menunggu cukup lama namun apesnya si dosen memberi kabar jika ia berhalangan ke kampus sehingga harus dijadwalkan ulang. Bayangkan teman saya ini mau kesal tapi tidak bisa apa-apa sehingga ia pun harus menunda kembali bimbingan.
Kondisi ini yang bikin banyak mahasiswa mengalami stres, kesal atau bahkan marah karena susahnya menyamakan waktu bimbingan. Bersyukurlah dulu saat saya skripsi. Dosen sudah membagi hari dan waktu bimbingan sehingga ketika sudah waktu bimbingan maka mahasiswa dan dosen sudah siap.
# Alasan Ketiga : Harapan Mahasiswa Tak Sejalan
Sebagai mahasiswa akhir pasti berharap dosen pembimbing bisa memberikan arahan, solusi atas masalah yang dihadapi mahasiswa atau bahkan membantu memberikan bahan bacaan/referensi yang membantu mahasiswa menyelesaikan skripsi. Namun harapan kerap tidak sejalan dengan realita.

Kejadian terjadi pula pada teman saya dimana dirinya hampir putus asa setiap selesai bimbingan. Bagaimana tidak, draftnya penuh corat-coret dari dosen namun dosen tidak mengarahkan apa yang perlu diperbaiki oleh si mahasiswa.
Bikin sesak di dada saat ujian, mahasiswa berharap dapat berjalan lancar. Namun justru dosen pembimbing ikut memberikan pertanyaan yang terkesan "membantai" si mahasiswa.
Sudah bisa ditebak, teman saya berkaca-kaca saat ujian bahkan menangis selesai ujian. Begitu banyak hal tidak terduga termasuk dibantai oleh dosen pembimbing sendiri.
Kejadian lain terjadi belakangan ini. Ada mahasiswa yang tengah tahap pengerjaan skripsi namun dosen pembimbingnya sakit atau meninggal dunia. Padahal hanya tinggal dikit lagi tahap ujian. Mau tidak mau harus berganti dosen pembimbing serta penyesuaian kembali dari awal.
# Alasan Keempat : Kelemahan Manajemen Diri
Biasanya ini terjadi karena personal mahasiswa yang tidak mampu dalam manajemen diri. Ada mahasiswa yang baru dapat masukan dari dosen pembimbing langsung galau dan mulai bermalas-malasan.
Kini kecanggihan teknologi dan internet ikut menyumbang masalah baru. Lebih senang berjam-jam di depan gadget untuk main game online atau nonton drama korea dibandingkan menulis skripsi.
Entah kenapa baru memulai menulis 1 paragraf, otak sudah terasa panas sehingga mahasiswa memilih untuk menunda tulisan. Alhasil 1 bulan berjalan belum tentu si mahasiswa mampu menyelesaikan 1 Bab karena waktunya lebih banyak terbuang untuk bersantai atau menjalankan aktivitas lain.
Kesalahan lain mahasiswa merasa malas untuk mencari bahan penelitian dengan membaca dari jurnal atau buku. Apalagi jika jurnal berbahasa asing sehingga mahasiswa merasa lelah hanya untuk memahami isi bacaan.
Padahal ini penting untuk mendukung penelitian agar kuat secara data dan analisa. Mahasiswa lebih suka melakukan copy paste yang berpotensi tercipta plagiarisme.
***
Pengerjaan skripsi itu gampang-gampang sulit. Gampang bagi mahasiswa yang sudah menyiapkan diri dengan baik serta mampu mengkomunikasikan ide skripsi dengan dosen pembimbing. Namun terasa sulit bagi mereka yang masih abu-abu serta tidak mampu memperbaiki manajemen diri.
Ini membuat mahasiswa mudah stres, kesal, marah atau putus asa. Tidaklah salah jika mahasiswa akhir perlu memiliki mental baja. Tujuan agar dirinya kuat menghadapi tantangan dalam pengerjaan skripsi.
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI