Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Tutupnya Toko Buku Apa Penanda Menurunnya Jiwa Literasi?

25 Mei 2023   14:29 Diperbarui: 5 Juni 2023   17:00 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lantai Dua Toko Gunung Agung Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, Senin (22/5/2023). (KOMPAS.com/Xena Olivia)

Tutupnya Toko Gunung Agung yang telah menjadi toko buku legenda di tanah air semakin menambah deretan toko buku yang lebih dulu melambaikan bendera putih alias tutup operasional. 

Di kota saya saat awal tahun 2000an ada banyak gerai atau toko buku seperti Toko Gunung Agung, Togamas, Gramedia, hingga toko buku skala kecil. Saya ingat setiap awal semesteran atau tahun ajaran baru, saya sering ke toko buku untuk membeli buku pelajaran, membeli alat tulis atau sekedar melihat-melihat. 

Bahkan tidak jarang saya ke toko buku besar berdiri lama membaca buku yang plastik sampul terbuka untuk sekedar membaca tanpa membeli. Saya akui tipe pelanggan ini termasuk dibenci oleh toko buku, mendapatkan informasi atau ilmu dengan cara gratisan. 

Toko Gunung Agung Yang Kini Tutup | Sumber Okezone Economy
Toko Gunung Agung Yang Kini Tutup | Sumber Okezone Economy

Namun yang melakukan hal ini bukan saya seorang. Ada banyak pengunjung yang melakukan hal ini khususnya di toko buku yang terdapat di dalam mal. Sekalian ngadem (mencari kesejukan AC dalam ruangan) sambil menambah wawasan dengan membaca. 

Alhasil sampai ada aturan merobek sampul plastik buku berarti membeli namun tetap saja ada buku yang sudah terlepas sampulnya oleh aksi pembaca nakal. 

Kembali pada permasalahan tutupnya toko buku di tanah air. Saya melihat apakah ada keterkaitan dengan minat membaca atau literasi generasi di zaman sekarang? 

Saya tidak ingin terburu-buru menyatakan hal ini karena belum ada penelitian khusus terkait hubungan ini. Namun saya menganalisis ada beberapa faktor pendukung mengapa toko buku kini bukan lagi menjadi bisnis menjanjikan. 

Pengunjung Yang Tengah Membaca Buki Di Toko Buku | Sumber Liputan6.com
Pengunjung Yang Tengah Membaca Buki Di Toko Buku | Sumber Liputan6.com

# Munculnya Jurnal sebagai Referensi Akademik

Di tingkat perguruan tinggi, mahasiswa terbiasa untuk membuat makalah atau riset tentang suatu topik pembahasan. Jika dulu semasa siswa, kita mencari informasi dari buki bacaan. Namun kondisi berbeda untuk level mahasiswa. 

Dosen selalu mengarahkan mencari informasi atau data dari artikel dari jurnal terakreditasi. Tujuan agar data atau informasi yang diterima lebih update, ada studi pembanding dan telah dilakukan pengujian terhadap riset dilakukan peneliti sebelumnya.

Literasi Di Kalangan Mahasiswa | Sumber Edukasi Kompas 
Literasi Di Kalangan Mahasiswa | Sumber Edukasi Kompas 

Perlahan mahasiswa mulai terbiasa mencari referensi melalui website atau situs jurnal tertentu. Perlahan ini membuat permintaan buku menjadi menurun. Ini karena buku biasanya dicetak dalam beberapa edisi namun kerap menggunakan data atau informasi yang kurang update. 

# Sektor Bisnis Pendamping Mulai Berkurang

Saya ingat di awal tahun 2000an, masyarakat masih menyukai membaca majalah, koran, tabloid atau komik. Bahkan dulu saat ada tren F4 asal Taiwan, serial India ataupun telenovela banyak pembaca yang sengaja membeli majalah atau tabloid yang mengulas artis pujaan. Bahkan jika ada embel-embel poster atau souvenir tentang artis idola yang tengah naik daun, tabloid atau majalah akan habis dengan cepat. 

Tabloid yang Banyak Dicari Anak Muda Di Tahun 2000-an | Sumber Sindonews
Tabloid yang Banyak Dicari Anak Muda Di Tahun 2000-an | Sumber Sindonews

Dulu pun banyak pencinta komik seperti Doraemon, Shinchan, Detective School, Detective Conan dan sebagainya yang menjadi bisnis pendamping toko buku. Para fans komik akan langsung menyerbu toko buku apabila ada komik serial terbaru yang terbit. 

Kini munculnya webtoon atau komik digital membuat pembaca tidak perlu lagi susah payah ke toko buku atau mengeluarkan duit untuk membeli komik. Kemudahan ini justru merugikan pemilik toko buku karena konsumen penggemar komik mulai beralih dari membeli komik menjadi pembaca webtoon. 

# Menurunnya Penulis dan Penerbit Cetak

Dulu akan mudah menemukan novel best seller yang bisa terjual jutaan copy atau bahkan diterbitkan dalam beberapa kali cetakan. Sebut saja Novel Don Quixote oleh Miguel de Cervantes yang berhasil terjual hingga 500 copy di seluruh dunia, The Lord of the Rings oleh J. R. R. Tolkien yang terjual 150 juta copy, atau Harry Potter and the Philosopher's Stone oleh J.K. Rowling yang terjual 120 juta copy. 

Hasil Karya Novel Yang Best Seller Di Indonesia | Sumber Kapanlagi Plus
Hasil Karya Novel Yang Best Seller Di Indonesia | Sumber Kapanlagi Plus

Di tanah air pun ada novel yang terbilang penjualannya bagus seperti Bumi Manusia, Ayat-Ayat Cinta, Bumi, Lelaki Harimau, Koala Komal, Tetralogi Pulau Buru dan sebagainya. Tidak heran novel yang best seller kerap dilirik rumah produksi untuk dibuatkan versi film. 

Ini yang membuat penulis dan penerbit antusias untuk menghasilkan karya. Kini banyaknya pembajakan karya, beredarnya situs online hingga permasalahan Hak Cipta dan royalti membuat penulis dan penerbit mulai ogah berkarya. 

Padahal hadirnya karya mereka bisa menarik pembaca untuk datang dan membeli novel atau karya buku lainnya. Alhasil semakin dikit buku yang dianggap menarik, masyarakat kian enggan datang ke toko buku. Sepi pengunjung maka membuat omzet menjadi berkurang. 

# Operasional Toko Buku Sangat Besar

Investasi usaha bisnis buku sangatlah besar mulai menyewa gedung atau ruangan yang harus disewa dalam jangka waktu panjang, penggajian karyawan, pembelian sistem operasional, perawatan toko, biaya listrik, pembuatan rak hingga investasi untuk buku. 

Ketika omzet tidak mampu menutupi biaya operasional maka wajar pemilik usaha lebih baik menutup usaha lebih cepat daripada merugi setiap bulannya. Apalagi saat ini hadirnya e-commerce dan pemasaran digital yang lebih efisien serta mampu menjangkau pelanggan lebih banyak menjadi daya tarik tersendiri. 

Sudah bisa ditebak seandainya saya pemilik usaha toko buku dengan melihatnya pasar melesu maka lebih baik mengalihkan toko buku konvensional ke toko digital. Tidak perlu membuka banyak cabang namun bisa menjangkau pelanggan hingga ke pelosok. 

***

Tumbangnya bisnis toko buku di tanah air sebenarnya sudah diprediksi oleh para ahli bisnis. Ini melihat perubahan tren masyarakat yang semula menjadikan buku sebagai referensi utama kini beralih ke jurnal atau sumber digital. 

Selain itu hadirnya e-commerce dan toko digital membuat biaya operasional bisa lebih hemat bahkan mampu menarik pembeli hingga ke pelosok. 

Ada rasa kerinduan akan hadirnya toko buku yang dulu kerap menjadi pusat pembelian buku, alat tulis, majalah dan keperluan lain kini harus tutup akibat menurunnya omzet yang diterima. Saya pun ikut bertanya, kapan terakhir pembaca mengunjungi toko buku? 

Semoga Bermanfaat

--HIM--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun