Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Antusias Rayakan Semarak HUT ke-77 RI dari Puncak Gunung Batur

18 Agustus 2022   18:32 Diperbarui: 18 Agustus 2022   20:55 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rencana merayakan HUT RI 77 di puncak Gunung Batur di Bali sudah saya agendakan jauh-jauh hari bersama teman yang dari Tangerang. Kebetulan teman saya mengambil cuti panjang sehingga mengajak saya untuk eksplor beberapa wisata di Jawa Timur. 

Sebenarnya ada opsi lain merayakan hari kemerdekaan yaitu ke Gunung Ijen di Banyuwangi. Sayang karena terbentur ada kerjaan di kantor yang tidak bisa ditinggalkan jadi saya rekomendasikan untuk ke Gunung Batur. 

Tawaran saya diterima, teman saya tetap mengeksplor Gunung Ijen terlebih dahulu baru setelah itu ke Bali untuk mendaki ke Gunung Batur. 

Tepat 16 Agustus 2022  sekitar pukul 23.50 WITA, kami berangkat dari denpasar ke Kintamani, kabupaten Bangli. Estimasi perjalanan 2 jam ke titik poin pendakian Gunung Batur. 

Perjalanan menggunakan motor terasa butuh persiapan ekstra. Sebelumnya saya pernah ke Gunung Batur dengan kendaraan mobil. Tentu berangkat di tengah malam tidak akan jadi masalah. Namun menggunakan motor, butuh jaket, sarung tangan dan pakaian yang bisa merendam udara dingin. 

Tangan dan badan masih terasa dingin meski sudah menggunakan sarung tangan dan jaket. Selain itu suasana jalan yang sepi membuat pikiran harus fokus. Mengingat di Bali banyak terdapat anjing berkeliaran, kadang jika tidak fokus. Bisa saja kita menabrak anjing yang menyebrang jalan sesuka hatinya.

Tepat pukul 2 dini hari, saya sampai di titik poin. Namun cerita berbeda dimulai dari sini. Pada kunjungan pertama, saya memulai pendakian dari basecamp pasar agung.

Mengingat tingginya jumlah pendaki yang ingin merayakan 17 agustus di Gunung Batur maka pendaki banyak dialihkan ke jalur pendakian via Toya Bongkah. Jaraknya sekitar 1,5 km dari titik poin Pasar Agung.

Awalnya saya degdegan karena saya lebih Percaya Diri (PD) mendaki jalur Pasar Agung karena rute jelas, melewati jalan beraspal dan cepat. Bahkan tanpa pemandu warga lokal pun kita bisa menuju puncak dengan mudah. 

Jalur Toya Bongkah memang tidak sepopuler Pasar Agung. Menurut warga lokal, jalur ini lebih aman untuk dilalui, bisa langsung menuju puncak tertinggi Gunung Batur (1.717 meter) dan ada jasa ojek gunung. 

Nyatanya melalui jalur Toya Bongkah justru memberikan kesan unik dan tidak terlupakan. 

Kesan Pertama : Nyasar Berjamaah

Seperti yang saya infokan bahwa pendakian Jalur Pasar Agung lebih familiar bagi pendaki dibandingkan Jalur Toya Bongkah. Saat mengawali pendakian, ada seorang petugas yang memberikan arahan. 

Arahan pertama ikuti jalur setapak untuk menuju puncak. Arahan kedua, jika nanti ada persimpangan jalan pertama, ambil kanan karena jika ke kiri akan memutar ke pendakian Pasar Agung. 

Ok, aku berpatokan dengan arahan tersebut. Apalagi si petugas bilang pendakian hanya akan berlangsung sejam. Artinya akan lebih cepat via Jalur Pasar Agung yang dulu saya lalui selama 1,5 jam dari parkir. 

Nyatanya arahan ini masih kurang jelas. Saat persimpangan pertama, kami mengikuti instruksi. Namun ternyata ada banyak persimpangan yang membuat kita bingung. 

Benar saja ada persimpangan yang membingungkan. Ada jalur setapak ke kiri dengan rute menanjak dan jalur kanan rute menurun. Secara logika, kita memilih jalur kiri karena akan mengarah ke puncak. 

Berjalan selama 10 menit ternyata saya melihat berkumpul dalam jumlah banyak. Bahkan banyak yang ekspresi kesal dan marah-marah. Ternyata mereka sudah berjalan jauh di depan namun jalur tersebut buntu. 

Bayangkan ada sekitar 70an pendaki yang tersesat termasuk saya. Kami saling berargumen dan mengingat kembali persimpangan lain yang mungkin mengarah ke puncak. 

Uniknya, kami semua berpencar. Kami mengikuti feeling masing-masing untuk menentukan arah pendakian. 

Jujur insting dan daya analisa sangat dibutuhkan saat itu. Saya menganalisa jalur mana yang peluang benar sangat besar. Melihat dari petunjuk sampah, tanda yang dibuat, besar jalan dan petunjuk lainnya. 

Alhasil saya memutuskan balik dan memilih persimpangan yang tadi mengarah turun. Pertimbangan karena jalur agak besar. Ternyata dari 70an pendaki yang tersesat, hanya 18 orang termasuk saya yang memilih jalur tersebut. 

Seakan tereleminasi dari awal. Kami ber-18 saling bertukar pendapat dan mengarahkan jika menemukan jalur persimpangan. Ada rasa deg-degan karena jalur ini dikelilingi semak dan batang pohon. Benar-benar seperti mendaki gunung. 

Suasana berbeda saat saya melalui Jalur Pasar Agung yang beraspal dan mudah. Jalur ini mirip jalan setapak yang tidak terlalu jelas. 

Rasa bahagia ketika melihat pura di tengah perjalanan. Melihat ada bekas canang sari (sesajen/banten umat Hindu) dengan dupa yang masih menyala jadi tanda bahwa sebelumnya ada yang melewati jalur ini. 

Alhasil kami menemukan pos 1 sekaligus pos pendaftaran. Ternyata rombongan kami datang bukan dari rute utama. Artinya kami mengalami keliru jalur namun untung tetap bisa sampai di pos 1.

Kesan Kedua : Berbagi Jalur Dengan Ojek Trail

Ternyata oh ternyata jalur yang kami lalui juga merupakan jalur ojek trail yang menawarkan jasa tumpangan bagi pendaki yang keletihan. 

Sudah bisa membayangkan bahwa meski jalur ini aman namun nyaris berupa tanjakan dengan minim jalur landai membuat banyak pendaki yang keletihan. 

Terbukti entah berapa kali kita harus menepi ke sisi jalur karena ada motor trail yang mengantar pendaki. Kondisi ini memberikan pendapatan bagi warga lokal sebagai penyedia ojek trail. 

Luar biasa ada ojek perempuan yang dengan sigap mengantar pendaki dengan motor trail. Momen yang belum bisa saya temukan di pendakian lainnya. 

Ojek Trail Di Gunung Batur | Dokumentasi Pribadi
Ojek Trail Di Gunung Batur | Dokumentasi Pribadi

Saya sempat bertanya dengan penyedia ojek trail terkait biaya ojek. Seorang pengojek mengatakan tarif sekitar Rp. 250-350 ribu untuk naik dan Rp. 150-250rb untuk turun. 

Pendaki asing umumnya akan dikenakan tarif maksimal. Untuk pendaki lokal masih dimungkinkan untuk negosiasi. Wow, lumayan juga tarifnya. Namun sebanding karena akan diantarkan hingga di ketinggian 1.600-an meter. 

Pendaki hanya perlu mendaki sekitar 15 menit saja menuju puncak. Sangat direkomendasikan bagi yang ingin segera mencapai puncak dan mengejar momen sunrise di puncak Gunung Batur. 

Kesan Ketiga : Estimasi Waktu Pendakian Diluar Perkiraan

Jika menggunakan jalur Pasat Agung, saya sudah bisa memperkirakan 1,5 jam menuju puncak. Namun via Toya Bongkah, perkiraan saya meleset jauh. 

Jika saat di parkiran diinfokan bahwa waktu pendakian hanya 1 jam. Nyatanya 1,5 jam baru sampai pos pertama. Ini karena banyak waktu terbuang untuk menerka-nerka rute pendakian. 

Saat di pos satu pun diinfokan hanya tersisa 15 menit saja ke puncak. Sekali lagi saya merasa kecewa karena ke puncak masih butuh 1,5 jam. Meski jalur aman buat pendaki namun karena menanjak di jalan tanah yang tidak rata serta berkelok-kelok membuat badan cepat terasa capek. 

Berulang kali saya butuh waktu istirahat untuk mengatur nafas dan minum. Kaki juga terasa mulai pegal karena mendaki cukup lama. Tidak dipungkiri kesan mendaki sesungguhnya akan terasa di jalur ini. 

Tepat pukul 05.15 WITA saya tiba di puncak Gunung Batur. Lebih dari 3 jam untuk menuju puncak dan beruntung masih ada waktu tersisa menunggu matahari terbit. 

Kesan 4 : Antusias Pendaki Merayakan HUT RI

Bayangkan banyak pendaki yang membawa bendera, atribut merah putih, membuat kaos khusus bahkan membawa sound sistem kecil untuk memutar lagu kemerdekaan. 

Pendaki Membawa Bendera Merah Putih | Dokumentasi Pribadi
Pendaki Membawa Bendera Merah Putih | Dokumentasi Pribadi

Banyak pendaki yang sudah meniatkan diri merayakan kemerdekaan di Puncak Gunung Batur. Luar biasa ketika matahari terbit, pendaki langsung bernyanyi lagu kemerdekaan dan berfoto dengan atribut sama. 

Bahkan pendaki asing juga ikut larut dengan momen ini dengan mendengarkan lagu serta ikut berfoto dengan atribut dari pendaki lokal. Suasana yang belum tentu bisa dirasakan setiap saat. 

Kesan Kelima : Merasakan Hasil Perkebunan Warga

Di awal pendakian, saya melewati perkebunan warga yang ditanami bawang, kubis, tomat, dan cabai. 

Saat turun pendakian, saya melihat sepasang suami istri, warga lokal sekaligus pemilik kebun yang tengah menyirami perkebunan tomatnya. 

Memetik Tomat Dari Kebun Warga | Dokumentasi Pribadi
Memetik Tomat Dari Kebun Warga | Dokumentasi Pribadi

Iseng saya bertanya bisakah saya membeli hasil kebun tomat karena banyak yang matang di pohon. Ternyata diperkenankan dengan harga 6ribu/kilo. Saya membayar 15 ribu rupiah untuk 2,5 kilo tomat segar. 

Tomat Yang Dibeli Dari Warga Setempat | Dokumentasi Pribadi
Tomat Yang Dibeli Dari Warga Setempat | Dokumentasi Pribadi

Tidak terduga justru saya diberikan hampir setengah kresek. Jumlah yang lebih banyak dari yang saya pesan. Namun sepasang suami istri ini sengaja memberikan lebih kepada saya. 

Beruntung sekali saya bisa membeli langaung hasil kebun warga. Tomat yang segar dan pastinya ibu saya akan senang dan kaget karena membawa tomat cukup banyak. 

***

HUT RI 77 tahun ini terasa berbeda bagi saya. Ini karena saya merayakan HUT RI 77 di atas puncak Gunung Batur. 

Banyak kesan yang dirasakan mulai melewati jalur yang asing bagi saya, tersesat beramai-ramai, pendakian yang membuat saya lebih capek dan bisa menikmati hasil kebun warga. 

Setidaknya kesan ini jadi sesuatu yang akan saya kenang. Jika pun kelak saya melewati jalur ini lagi, saya akan lebih familiar dan kemungkinan akan tersesat bisa dicegah. 

Semoga Bermanfaat

--HIM--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun