Saya sempat melihat sendiri di mana ada perantau yang mengacak-acak sesajen/banten yang merupakan sarana upacara masyarakat Hindu yang mereka temukan di perempatan jalan, depan rumah, pura atau area suci lainnya.Â
Sikap seperti ini tidak hanya akan melukai masyarakat Bali namun juga mencoreng citra para perantau. Saya selalu berpesan kepada kenalan yang baru merantau, hormati adat istiadat yang ada karena kita adalah tamu di rumah mereka.Â
Agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku. Prinsip dasar yang perlu kita tanam agar tercipta rasa toleransi dan menghargai satu dengan lainnya.Â
Perkuat Manajemen Keuangan
Bali adalah surganya wisata dan hiburan. Ironisnya kondisi ini justru membuat perantau terlena berujung pada kesengsaraan.
Teman saya yang merantau ke Bali lebih dari 6 tahun bercerita bahwa selama 6 tahun ini dirinya nyaris tidak memiliki tabungan. Saya cukup syok karena setahu saya, gaji bulanannya sangat besar bahkan bisa 2 kali UMK Denpasar.Â
Kesalahan tersebar ternyata karena dirinya tidak mampu mengatur manajemen keuangan. Setiap awal gajian, dirinya suka datang ke beach club, nongkrong di kedai kopi yang mahal bahkan traveling ke banyak tempat.Â
Ternyata kondisi ini banyak dialami oleh para perantau. Uang yang di dapat lebih banyak digunakan untuk kesenangan pribadi. Butuh Healing seakan menjadi alasan klasik.
Sudah bisa ditebak, gaji yang diterima akan cepat habis dan tidak tersisa meski hanya untuk menabung. Gaya hidup berlebih dan glamour selama tinggal di Bali membuat dirinya tidak memiliki tabungan masa depan.Â