Terlihat jelas, dulu ada Kompasianer yang hobi menulis politik atau sastra. Kini rajin menulis Topil karena akan mendongkrak penerimaan K-Rewards tiap bulan.Â
Saya pernah membandingkan, jumlah pembaca A lebih banyak dibandingkan B. Namun B mendapatkan K-Rewards lebih besar karena tulisannya mendapatkan poin lebih karena menulis sesuai Topil yang ditentukan.Â
Kedua, Telah Terciptanya Kompetisi Dalam Kompasiana. Kita mungkin tidak sadar akan hal ini namun realitanya yang saya lihat belakangan ini seperti itu.Â
Layaknya kompetisi, tiap orang akan memikirkan segala cara untuk unggul. Ada yang fair play ada juga yang menerapkan cara atau trik khusus.Â
Ada yang bahagia tentu ada juga yang sedih merana. Ada yang terbaik namun tidak sedikit yang gigit jari. Contoh sederhana, sudah banyak komentar hingga artikel yang kecewa karena Rewards yang diterima diluar ekspetasi padahal sudah susah payah agar tetap menulis dan memancing pembaca untuk singgah.Â
Ironisnya admin Kompasiana lah yang menjadi bulan-bulanan Kompasianer yang kecewa. Saya percaya admin pun manusia biasa yang berusaha tegar ketika banyak kritikan dan komplain ditujukan padanya.Â
Saya teringat saat dulu mendapatkan mata kuliah Pengantar Ilmu Hubungan Internasional (HI) saat kuliah. Di sana diajarkan tentang 3 perspektif besar dalam HI yaitu Realis, Liberal dan Marxis.Â
Analisa Problematika K-Rewards Dalam Perspektif Khusus
Saya ingin mencoba analisa lika-liku problematika K-Rewards dari sudut pandang penulis dengan memadukan nilai perspektif HI. Mohon Pak Ludiro Madu serta pakar politik dan hubungan internasional untuk koreksi jika ada pandangan dan tulisan saya yang keliru.Â
Perspektif Realis pada HI menekankan bahwa negara adalah aktor utama dan setiap negara memiliki kepentingan masing-masing (National interest).Â
Mirip seperti di Kompasiana, setiap orang pun punya kepentingan masing-masing. Admin dan pengelola Kompasiana tentu berkepentingan agar platform ini terus berkembang dengan lahirnya penulis-penulis baru yang potensial.Â