Seorang staf tiba-tiba masuk ke ruangan saya. Dirinya mengkonfirmasi terkait Surat Peringatan (SP) pertama yang saya berikan padanya.Â
Baginya adanya SP ini seakan mencoreng performa kinerjanya dimana dari awal bekerja hingga saat itu, dirinya belum pernah mendapatkan SP. Adanya SP dianggap bahwa manajemen menilai kinerjanya buruk.Â
Bahkan si staf menegaskan jika SP tetap diberikan, dirinya siap mengajukan surat resign.Â
Mungkin akan ada pertanyaan, apa kesalahan yang membuat saya memberikan SP?Â
Si staf ini memang tergolong senior di kantor bahkan usia kerjanya lebih lama dibandingkan saya. Namun seringkali dirinya datang terlambat ke kantor dengan alasan ban bocor atau mengendarai kendaraan harus pelan-pelan.Â
Bahkan pada bulan itu, seingat saya dia lebih dari 2 kali ijin datang terlambat karena ban pecah. Omongan tidak enak pun mulai saya dengar dari staf lain yang seakan saya mengistimewakan staf ini. Ketika staf lain bisa datang ontime, staf senior ini seakan mengeluarkan berbagai alasan keterlambatan.Â
Apa tindakan saya?Â
Jujur ketika si staf senior seakan menantang resign sempat terbersit mengabulkan permohonan resignnya. Namun saya merasa tidak bijak rasanya jika saya membuat kebijakan karena faktor emosional juga.
Dengan memberikan pertimbangan, saya menjelaskan bahwa SP hanya berupa peringatan sebagai bentuk introspeksi diri serta menghilangkan kesan pilih kasih. Selain itu enaknya di perusahaan saya, tidak ada sanksi potongan gaji bagi penerima SP.Â
Saya teringat saat dulu bekerja di Toko HP dimana saya pernah mendapatkan SP 1 karena kelalaian saya sehingga selain mendapatkan SP juga ada pemotongan gaji 5 persen selama 3 bulan. Saya menerima karena sadar bahwa itu konsekuensi dari kelalaian saya.Â
Berkaca pada kasus si staf senior ternyata masih ada karyawan yang bingung harus bereaksi apa ketika mendapatkan SP dari atasan.Â