Ada kisah yang cukup mengharukan yang dibagikan seorang rekan di kantor. Dirinya bercerita Asisten Rumah Tangga (ART) yang sudah bekerja 4 tahun mengajukan resign.Â
Alasan karena dirinya akan menikah dan mengikuti suami di kampung halamannya. Selama ini ART banyak membantu dirinya membersihkan rumah selagi dirinya dan suami bekerja serta menjaga anaknya sejak berusia 2 tahun.Â
Di hari perpisahan, rekan saya dan suami hingga rela mengajukan ijin kerja setengah hari karena ingin mengantar langsung ART ke terminal dan mengucapkan salam perpisahan.Â
Rekan saya cerita, dirinya beserta suami tanpa terasa meneteskan air mata karena sudah menganggap ART ini layaknya keluarga sendiri. Ketika bepergian pun ART selalu ikut menemani.Â
Reaksi si anak pun bisa ditebak. Dirinya menangis sambil meminta si ART untuk tidak balik. Si anak menanggap "mbak" sebagai kakaknya sendiri yang selalu menemani selama orang tua bekerja.Â
Secara personal saya salut pada rekan kerja saya ini yang berusaha memanusiakan orang lain meski berstatus ART. Bahkan pernah sekali dirinya bercerita memarahi si anak karena bertindak kurang sopan, baginya ART bukan profesi yang direndahkan namun mereka juga manusia biasa yang harus dihormati.Â
Dalam kasus berbeda, saya sering kali membaca berita penyiksaan ART oleh majikannya karena suatu hal.Â
Ika Musriati, ART yang bekerja di rumah pasangan daerah Semarang mengalami kisah pilu. Dirinya mengalami penyiksaan dari majikan setelah memasuki bulan ke-3 bekerja.Â
Ika mengalami kekerasan fisik dibuktikan dengan luka sayatan di tangan, dipaksa minum air mendidih dan makan 50 cabai.Â
Tindakan ini bagi saya sangat keterlaluan sungguh tega seseorang dipaksa minum air mendidih yang bisa menciderai lidah.Â