Kegagalan adalah hal yang menyakitkan apalagi berkaitan dengan mimpi yang diharapkan terwujud
Kegagalan adalah hal wajar dan pasti pernah dirasakan oleh manusia. Kita pun sering mengalami kegagalan dalam porsi masing-masing.Â
Ada yang sejak kecil berambisi jadi polisi ketika dewasa, namun ternyata gagal terwujud karena fisik tidak mendukung; ada yang ingin masuk sekolah atau kampus favorit, tapi gagal karena nilai terlalu kecil; ada yang bercita-cita masuk di perusahaan benefit, apa daya gagal ketatnya persaingan.Â
Saya pun pernah mengalami 2 kegagalan yang begitu pahit sampai saat ini. Apa saja kegagalan saya tersebut?Â
Kegagalan PertamaÂ
Ketika lulus SMA, cita-cita saya adalah ingin melanjutkan pendidikan di sekolah kedinasan. Bayang-bayang bila diterima di sekolah kedinasan akan menjadi kebanggaan diri, tidak perlu bayar biaya pendidikan, bahkan jika lulus berpeluang kerja di instansi pemerintahan.Â
Saya pun akhirnya mendaftar di beberapa sekolah kedinasan seperti STAN, STIS, dan Akademi Meteorologi dan Geofisika (AMG). Hanya AMG yang memberikan saya kesempatan hingga tes Pantaukhir. Tes terakhir sebelum dinyatakan lolos sebagai taruna di AMG.Â
Saya masih ingat saat sore pergi ke warnet untuk mengecek kelulusan peserta. Sempat ada keyakinan bahwa saya lulus mengingat persiapan yang sudah saya lakukan. Nyatanya takdir berkata lain, rezeki saya untuk menjadi taruna di sekolah kedinasan tersebut sirna.
Saya pulang ke rumah dengan ekspresi sedih dan kecewa pada diri sendiri. Sampai di rumah saya masuk ke kamar dan menangis secara sembunyi.Â
Itu adalah pertama kali saya menangis karena kegagalan meraih suatu mimpi. Ibu saya memberikan semangat bahwa masih ada jalan lain.Â
Gagal adalah wajar karena hampir semua orang pernah merasakan. Bisa jadi kegagalan yang kita rasakan masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kegagalan yang dirasakan oleh orang lain. Hal luar biasa adalah bagaimana kita bisa bangkit dari kegagalan tersebut dan belajar apa yang perlu diperbaiki.Â
1 kali gagal, 2 kali saya harus bangkit. Itu prinsip yang muncul pada diri saya saat itu. Kegagalan saat masuk sekolah kedinasan membuat saya harus bisa membuat planning lain. Jangan hanya terpuruk berlarut-larut karena mimpi bisa diraih di jalan atau cara lain.Â
2 rencana akhirnya saya susun untuk mengganti kegagalan yang saya dapatkan. Rencana pertama, saya fokuskan untuk bekerja dan mengumpulkan uang terlebih dahulu. Ini karena saya butuh tabungan untuk ikut seleksi tes berikutnya serta ikut membantu perekonomian keluarga. Rencana kedua, saya mulai mencari informasi pembukaan tes mandiri universitas negeri terdekat.
Rencana yang saya buat ternyata mujarab, selang 6 bulan ada pembukaan tes mandiri salah satu kampus negeri di kota Malang.Â
Entah kenapa muncul semangat baru untuk mempersiapkan diri untuk daftar tes tersebut. Rencana pertama memberikan hasil. Sayang ada tabungan mandiri untuk mendaftar biaya tes, membeli perlengkapan ujian serta membeli buku dan modul tes selama persiapan. Artinya selama persiapan tes masuk, saya tidak memberatkan orangtua karena saya bisa memenuhi kebutuhan dari tabungan saya sendiri.Â
Puji Tuhan, tes mandiri kampus pun dilaksanakan dan setelah menunggu 1 minggu ternyata nama saya lulus sebagai calon mahasiswa.Â
Woww, saya bangga bahwa saya bisa bangkit dan menemukan takdir hidup saya yang baru.Â
Ada rasa bersyukur lainnya ketika saya diterima di kampus negeri. Saya justru bisa berprestasi, bisa kenal teman dari berbagai daerah dan jurusan bahkan dulu banyak pemberitaan terkait taruna sekolah kedinasan yang mengalami penggojlokan oleh para senior.Â
Beberapa tahun lalu ramai pemberitaan bahwa ada taruna yang meninggal karena penggojlokan di salah satu sekolah kedinasan.Â
Wuah andai saya diterima, bisa jadi saya juga akan melalui fase penggojlokan senior meskipun belum tentu ada kegiatan ini di seluruh sekolah kedinasan.Â
Di kampus negeri tentu tidak ada tindakan senioritas justru saya punya kenalan dan berteman baik dengan para senior di kampus. Hal yang belum tentu bisa saya rasakan jika diterima di sekolah kedinasan.Â
Kegagalan Kedua
Setelah lulus kuliah, muncul kembali harapan untuk mencoba seleksi kerja di BUMN. Info yang banyak berkembang, kerja di BUMN itu prestisius, gaji tinggi dan fasilitas kerja yang bagus. Beberapa orang di keluarga besar ada yang kerja di BUMN dan tampak hidupnya sejahtera.Â
Saya pun akhirnya mencoba mendaftar di Airnav dan PLN. Ketatnya persaingan membuat saya terdepak dari seleksi 2 BUMN tersebut.Â
Di Airnav saya gagal di tes Focus Group Disccusion (FGD), sedangkan PLN saya gagal di kesehatan tahap kedua.Â
Gagal di PLN yang paling membuat saya terpuruk kembali. Bayangkan tes PLN itu ada banyak tahapan dan seleksinya dilakukan di luar kota.Â
Saya nyaris seminggu sekali harus ikut tes seleksi. Tes awal masih berlokasi di Jogja, tes kesehatan 1 dan 2 dilakukan di Purwokerto, Jawa Tengah.Â
Saya berangkat dari Denpasar ke Purwokerto untuk mengikuti tes seleksi dengan naik Bus Antar Kota. Ini butuh perjuangan karena dulu saya masih mabuk darat. Naik bus 2 hari 1 malam sungguh berat bagi saya yang masih mabuk kendaraan.Â
Nyatanya saya gagal di 2 tes terakhir. Sangat sedih rasanya saat itu. Namun saya ingat kembali pada prinsip yang dulu saya pernah terapkan. Ketika gagal, buatkan 2 rencana lain untuk bisa bangkit.Â
Akhirnya rencana baru pun saya buat. Rencana pertama saya mencoba daftar di instansi pemerintahan dan rencana kedua mendaftar di perusahaan swasta.Â
Rencana saya pun berhasil bahkan saya diterima di salah satu dinas pemerintahan sebagai tenaga kontrak dan diterika di perusahaan swasta di Jakarta.Â
Mempertimbangkan gaji, potensi karir dan fasilitas. Akhirnya saya memilih opsi tawaran di perusahaan swasta. Pilihan yang saya ambil tidak saya sesali karena ternyata jalan karir saya memang lebih tepat di perusahaan swasta. Karir saya cepat naik dan dari sisi gaji dan tunjangan juga tidak mengecewakan.Â
***
Itulah sepenggal kisah kegagalan yang pernah terjadi di kehidupan saya. Mungkin bagi sobat Kompasiana yang kini terpuruk karena gagal meraih mimpi. Percayalah Tuhan mempersiapkan jalan hidup lain yang justru lebih indah dari mimpi kita.Â
Sama seperti kegagalan pertama saat daftar sekolah kedinasan. Tuhan menakdirkan saya kuliah di kampus Negeri yang justru saya menikmati kuliah disana dan bisa berprestasi. Gagal diterima di BUMN, nyatanya saya kini bisa berkarir di perusahaan prestis.Â
Ketika gagal, jangan pernah takut untuk membuat rencana baru. Jika dalam hidup saya 1 kegagalan maka harus menyusun 2 rencana baru. Mungkin Sobat Kompasiana ketika gagal justru bisa menyusun 2-5 atau bahkan lebih rencana baru.Â
Intinya jangan pernah berputus asa. Gagal adalah normal namun masih banyak orang yang bisa bangkit dan sukses dengan rencana lainnya. Kita harus menjadi salah satu dari orang sukses tersebut. Apabila sobat Kompasiana juga pernah mengalami kegagalan seperti saya. Yuk di-sharing-kan dalam kolom komentar mungkin bisa jadi masukan bagus bagi pembaca lainnya.Â
Semoga bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H