Saya teringat saat kuliah di semester 1, seorang dosen memberikan pertanyaan kepada kami mahasiswanya tentang gambaran pendidikan di Indonesia. Seorang teman kuliah saya diminta untuk menyampaikan pendapatnya.Â
"Bagi saya anak SMA dari kelas IPA ibarat penjajah dalam dunia pendidikan". Kurang lebih seperti itu pendapat teman saya.Â
Jujur seisi kelas dan dosen langsung terperajat mendengar pendapat teman saya ini. Kok bisa anak IPA dianggap sebagai penjajah? Teman saya memberikan contoh kasus sederhana.Â
Saat mendaftar jurusan kuliah, anak SMA lulusan IPA bisa bebas mendaftar di semua jurusan. Anak IPA bisa ambil ekonomi, jurusan sastra bahasa, hukum dan ranah keilmuan lain. Tapi anak IPS atau Bahasa tidak bisa ambil jurusan keilmuan eksakta seperti kedokteran, farmasi, atau teknik.Â
Mendengar hal tersebut seakan teman saya memberikan tamparan keras bagi pendidikan di Indonesia. Jujur setelah dipikir kembali, pendapat teman saya cukup beralasan. Buktinya saya yang dulu berasal dari SMA jurusan IPA bisa dengan mudah diterima di jurusan Hubungan Internasional yang merupakan ranah ilmu sosial.Â
Saya menganalisa mengapa teman saya mengganggap ada istilah penjajahan dalam dunia pendidikan?Â
1. Persaingan dalam Memperebutkan Kursi Pendidikan
Jika kita mau berpikir obyektif rasanya memang terjadi ketidakadilan dalam memperebutkan kursi pendidikan khususnya saat melanjutkan kuliah. Jika anak IPA melanjutkan kuliah di jurusan IPA misalkan Fakultas Kedokteran maka dirinya hanya bersaing dengan rekan sesama lulusan IPA.Â
Bandingkan dengan jurusan Ilmu Komunikasi atau ilmu Administrasi yang merupakan ranah ilmu sosial. Untuk mendapatkan kursi diterima, calon mahasiswa harus berebut dengan calon mahasiswa dari SMA IPS, SMA IPA, SMK, ataupun MA. Artinya bisa saja calon mahasiswa yang diterima di ranah ilmu sosial bisa di dominasi oleh mereka yang dulunya tidak mengambil jurusan IPS saat SMA.Â
Persaingan di ranah ilmu sosial tentu semakin ketat karena akan banyak yang mendaftar untuk memperebutkan kursi yang terbatas. Artinya sangat mungkin terjadi anak IPS akan terpental kalah bersaing dengan anak lulusan SMA atau lainnya.Â
Dari data diatas dapat dilihat bahwa ada jurusan di ranah sosial yang sangat ketat seperti jurusan Manajemen Universitas Negeri Jakarta yang berada di poin 0,94 persen. Jika saya bulatkan menjadi 1 persen maka dari 100 orang yang mendaftar hanya 1 orang saja yang bisa lolos. Artinya butuh usaha keras untuk bisa diterima.Â
2. Munculnya Hierarki Keilmuan
Saya memohon maaf jika ada yang kurang sependapat dengan analisa saya karena saya melihat tanpa kita sadari telah ada suatu hierarki keilmuan di Indonesia. Keilmuan Eksakta dianggap sebagai keilmuan yang superior dan dinilai merupakan keilmuan bagi mereka yang berotak encer, suka hitung-hitungan dan daya analisa yang kuat.Â
Jika saya boleh menggambarkan ada semacam hierarki keilmuan yang masih ada di stigma masyarakat. Berdasarkan analisa saya, hierarki tersebut meliputi.Â
Keilmuan keagamaan --> Bahasa --> Sosial --> Teknik/Kejuruan --> Eksakta
Ilustrasi sederhana seperti ini. Siswa yang mengambil keilmuan keagamaan seperti pondok pesantren atau teologi. Ketika ingin melanjutkan kuliah, mereka akan mudah bersaing di jurusan keagamaan. Ini karena selama sekolah, mereka banyak dibekali ilmu tentang agama sehingga ranah mereka mendaftar jurusan paling sempit.Â
Mereka yang saat SMA mengambil jurusan bahasa memiliki peluang untuk mendaftar di beberapa jurusan saat kuliah. Mereka akan cocok jika melanjutkan kuliah di jurusan sastra dan bahasa. Selain itu ada jurusan lain yang bisa diandalkan seperti jurnalistik, ilmu komunikasi, ilmu Administrasi atau jurusan keagamaan. Namun tentu tidak semua jurusan terbuka untuk mereka lulusan SMA ilmu bahasa.Â
Mereka yang lulusan SMA dari kelas IPS bisa berbangga hati karena ketika mereka melanjutkan kuliah. Mereka bisa mendaftar di jurusan ilmu sosial, bahasa ataupun agama. Sayangnya peluang untuk mendaftar di ranah eksakta masih sangat kecil. Ini mengingat beberapa persyaratan masuk masih mempertimbangkan asal jurusan saat SMA.Â
Lulusan SMK atau kejuruan saya tempatkan diatas ilmu sosial. Kenapa? Karena mereka masih bisa berpeluang mendaftar di jurusan eksakta yang relevan. Misalkan seorang siswa SMK farmasi masih diperkenankan mendaftar jurusan S1 Farmasi. Lulusan SMK otomotif bisa mendaftar S1 teknik mesin dan sebagainya. Mereka juga boleh mendaftar di ranah sosial, bahasa atau agama. Peluang lolos di kampus untuk lulusan SMK atau kejuruan memang tergolong besar.Â
SMA jurusan IPA patut berbangga hati karena mereka ada di puncak hirarki keilmuan. Mereka setelah lulus SMA bisa mendaftar hampir di semua jurusan kuliah. Saya adalah salah satunya yang berhasil lolos kuliah di jurusan ranah sosial padahal saat SMA mengambil jurusan IPA.Â
3. Sistem Seleksi Kurang Fair
Untuk bisa melanjutkan pendidikan di jenjang perguruan tinggi makan umumnya calon mahasiswa harus mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) untuk diterima di kampus Negeri di tanah air. Disini calon mahasiswa bisa mendaftar di 3 kategori yaitu kelas Saintek, Soshum dan Campuran.Â
Jika menganalisa terkait materi yang diujikan, mereka yang mengambil kelas Saintek akan diujikan materi pelajaran matematika, IPA, Fisika, Kimia dan Biologi. Materi yang diujikan untuk kelas Soshum meliputi Sejarah, Sosiologi, Ekonomi, Geografi, dan Matematika. Sedangkan Campuran yang diuji adalah materi dari Saintek ditambah Soshum dengan penambahan materi bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.Â
Disini jika calon mahasiswa mengambil jurusan Pendidikan Kedokteran sebagai pilihan pertama dan Manajemen di pilihan kedua. Maka dirinya perlu mengikuti tes SBMPTN Campuran. Tentu saja jika mengkalkulasi peluang persaingan, anak IPA pasti lebih unggul di kelas campuran.Â
Anak IPS akan kewalahan menghadapi materi ujian Saintek seperti fisika, kimia dan biologi mengingat materi ini bukan bersifat hafalan namun pada teoritis pasti. Materi Soshum lebih banyak berupa hafalan dan studi kasus sehingga kita bisa belajar dari resume-an materi maka mampu memahami materi tersebut.Â
Secara sederhana peluang anak IPA masuk ranah Soshum akan besar namun sebaliknya Anak IPS yang berkompetisi di kelas Campuran untuk masuk jurusan Saintek sangatlah kecil. Ini yang saya nilai terkesan kurang fair.Â
Bandingkan dengan sistem seleksi di negara maju. Berdasarkan literatur yang saya baca dan kisah teman yang pernah tinggal di negara maju. Pendidikan di negara maju sudah lebih spesifik. Jika mereka ingin mengambil jurusan Soshum maka siswa harus mengambil jurusan Sosial saat sekolah. Begitupun sebaliknya. Ini untuk membuat seseorang spesifik dalam menentukan arah pendidikannya kedepan.Â
-----
Melihat 3 hal diatas akhirnya saya memaklumi pernyataan teman kuliah saya mengapa mengatakan ada penjajahan terselubung di pendidikan Indonesia. Pastinya akan ada rasa kecewa bagi mereka yang gagal karena sangat ketatnya persaingan dalam merebut kursi di perguruan tinggi. Apalagi untuk ranah Soshum dimana mereka tidak hanya bersaing dengan sesama lulusan IPS semata namun juga IPA dan jurusan lainnya.Â
Apakah sobat kompasiana punya pandangan lain? Ayo kita sharing di kolom komentar.Â
Semoga bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H