Saya pertama kali mendengar istilah ini secara langsung saat duduk di kelas 11 SMA. Saat itu ada teman yang mengatakan dirinya tidak sanggup ambil jurusan IPA karena pusing dengan mata pelajaran Fisika, Kimia, dan Matematika.Â
Ungkapan salah jurusan semakin santer terdengar saat duduk di bangku kuliah. Banyak sekali teman yang mengeluh seperti,Â
"Duh kayaknya aku salah jurusan dah."
"Ternyata jurusannya tidak sesuai ekspetasi. Nyesel kenapa gak ambil jurusan X saja."
"Kayaknya aku mau ngulang lagi tes penerimaan mahasiswa tahun depan. Ambil jurusan yang lain."
Saya yakin pembaca Kompasiana banyak yang mengalami kondisi seperti yang saya alami. Saya sempat bertanya pada diri saya sendiri apakah saya salah ambil jurusan juga seperti teman-teman saya?Â
Sedikit informasi saya mengambil S1 Jurusan Ilmu Hubungan Internasional karena selain namanya yang keren. Saya sempat menonton kisah salah satu Duta Besar Indonesia yang bercerita bahwa dulu dirinya mengambil jurusan Hubungan Internasional di salah satu kampus ternama di Indonesia.Â
Inilah yang mendasari saya memilih jurusan ini karena sempat terambisi ingin menjadi Duta Besar, pintar bahasa asing dan tentu saja akan sering bepergian keluar negeri.Â
Ekspektasi saya tidak semuanya sejalan. Saat semester awal kuliah saya belajar tentang politik serta istilah-istilah yang tidak familiar saat sekolah dulu. "Waduh, kok HI belajar politik ya? Waduh apa itu Realisme, Liberalisme, dan Marxisme? Jenis makanan apa itu kok saya baru tahu ya?Â
Sempat terlintas apa saya salah jurusan. Namun ucapan dosen menguatkan keteguhan saya. Tidak ada istilah salah jurusan. Kamu saja yang belum mencintai jurusanmu.Â