Pertengahan Desember 2020, saya sempat melakukan percakapan sederhana namun membekas dengan rekan kerja, seorang manager QC di kantor.Â
Awalnya percakapan seputar keinginannya resign dan pindah ke Surabaya namun tiba-tiba muncul topik yang menarik dibahas.
"Dulu aku waktu kecil sekolah di sekolah Katholik loh?" katanya disela percakapan kami
"Beneran? Kok Bisa?", tanyaku penasaran. Ini karena ku kira selama ini dirinya dididik di sekolah negeri atau setidaknya madrasah. Apalagi ditunjang penampilan dirinya yang  menggunakan hijab.
"Orang tua khususnya ibuku tuh open minded. Dia ingin anak-anaknya punya pergaulan yang luas dan gak di satu circle aja".
Wow, percakapan sederhana itu masih teringat jelas di pikiranku. Ada hal yang ku nilai positif dari kisah  temanku ini dan mengingatkanku dengan circle kehidupanku.Â
Aku bersyukur diberi pengalaman hidup dengan circle yang berbeda. Saya pernah bersekolah di Yayasan Katholik di Serang Banten kemudian harus pindah ke Bali yang mayoritas teman beragama Hindu. Kemudian diberi kesempatan kuliah di Malang yang penduduknya mayoritas muslim namun banyak mahasiswa perantau dari latar SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) yang berbeda.
Ini membuat saya bersyukur karena ternyata ada anak muda yang tidak memiliki pengalaman seperti ini. Ada yang dididik oleh orang tua untuk berada di satu circle pendidikan maupun pergaulan yang sama. Biasanya mereka disekolahkan dari kecil di madrasah atau yayasan mulai TK hingga SMA sehinga lingkup pertemanan seakan terbatas.
Saya merasa selagi muda perbanyaklah teman atau relasi tanpa harus memandang dirinya berasal dari agama apa, suku mana, ras mana atau mematok harus dari golongan yang sama. Ada banyak manfaat yang kita dapat seandainya memiliki relasi teman lintas SARA.
Pertama, mengetahui budaya dan tradisi lain tanpa harus pernah tinggal di daerah tersebut
Banyak teman kuliah hingga teman kerja yang berasal dari Suku Batak. Hanya berawal dari saling cerita, saya jadi tahu sedikit banyak tradisi dan budaya di sana meskipun hingga saat ini saya belum pernah ke Sumatera Utara.
Saya diberi tahu bahwa marga di batak ada beberapa sub etnis seperti Batak Toba, Karo, Angkola, Mandailing, Pakpak hingga Simalungun.
Ada larangan untuk tidak menikah dengan 1 rumpun marga. Bahkan ketika melaksanakan pernikahan dengan tradisi Batak pun katanya sangat banyak tahapan serta membutuhkan dana yang besar karena bisa mengundang keluarga besar dari pihak suami, istri hingga desa tempat mereka tinggal.
Teman saya cerita sampai stress karena terlalu banyak proses dan dana yang dibutuhkan hingga setelah menikah justru memiliki hutang yang harus dilunasi.
Selain itu saya juga mendengar keindahan Danau Toba, tradisi kain ulos, hingga ada boneka Sigale-Gale yang diinfokan merupakan boneka kayu namun bisa menari sendiri dengan ritual khusus.
Inilah yang membuat saya berniat mengunjungi Sumatera Utara jika ada kesempatan karena melihat banyak hal menarik di sana meskipun saya mendapat informasi tersebut melalui cerita teman saya yang berasal dari suku Batak Toba.
Teman saya pun ketika tahu saya memiliki garis keturunan Bali dan pernah tinggal di sana selalu bertanya seputar budaya atau tradisi yang mereka tahu.Â
Hal lumrah yang mereka tanyakan seperti Leak itu hantu atau makhluk jadi-jadian? Benarkah orang Hindu Bali pantang makan daging Sapi? Kenapa di Bali pohon banyak ditutupi kain poleng-poleng? Kenapa gadis Bali cantik-cantik? lohhh.. itu hanya sebatas obrolan penghias
Saya pun akan menceritakan sebisa yang saya tahu. Dari jawaban saya mereka justru kian antusias kembali dan bahkan bilang bahwa ingin tinggal di Bali karena cerita yang didapat Bali itu indah dan banyak pantai. Hal kecil seperti inilah yang membuat memiliki teman dari lain daerah begitu berharga.
Kedua, Lebih Menghargai Perbedaan
Saya merasa seseorang yang memiliki pengalaman tinggal di berbagai daerah berbeda serta memiliki teman dari beragam SARA justru lebih menghargai perbedaan dan tingkat toleransi tinggi. Justru sikap inilah yang membuat kita menjadi dekat dan hidup terasa  berwarna.
Saat bulan Ramadhan, saya yang notabane-nya Non Muslim akan berusaha menjaga sikap dan tidak makan atau minum di depan teman muslim yang sedang berpuasa.Â
Di Bali sempat peringatan Nyepi jatuh di Hari Minggu. Umat Kristiani melakukan ibadah di hari Sabtu atau beribadah di rumah masing-masing.Â
Andaikata masyarakat Indonesia memiliki sikap toleran dan menghargai perbedaan tentu perilaku anarkis serta tindakan yang memicu konflik SARA tidak akan terjadi. Ini karena justru perbedaan yang ada membuat kita semakin kaya dan dekat satu dengan lainnya.
Ketiga, Pemikiran Lebih Terbuka (Open Minded)
Umumnya ketika seseorang memiliki jaringan teman yang luas serta pernah merasakan tinggal di berbagai daerah tentu memiliki pemikiran yang lebih terbuka.Â
Misalkan kamu tersinggung karena temanmu dari Suku Batak berbicara dari kepadamu dengan intonasi yang keras. Padahal kamu berasal dari Solo yang merupakan Suku Jawa yang mengedepankan tata bicara yang halus dan sopan.
Intonasi keras tersebut seakan sedang memarahi atau mengajakmu untuk ribut. Namun seiring waktu kamu menjadi paham ternyata yang menurutmu cara bicaranya temannya seperti orang marah atau teriak di tengah hutan justru karena daerah tempat kecilnya merupakan daerah perbukitan sehingga mereka perlu berbicara dengan suara keras dan lantang agar orang yang diajak bicara mendengar apa yang disampaikan. Bisa jadi kebiasaan tersebut terbawa saat dirinya berbicara kepadamu.
Inilah yang membuat kita memiliki pemikiran yang terbuka tanpa melakukan justifikasi yang berlebihan. Cara berpikir ini sangat penting khususnya bagi kita yang hendak merantau ke daerah orang lain. Jangan sampai pemikiran kita terlalu sempit yang membuat kita melihat sesuatu hanya dari kacamatanya saja.
Keempat, Memiliki Jaringan yang Luas
Kita tidak pernah tahu jika di kemudian hari justru kita membutuhkan bantuan orang lain dan bersyukur memiliki koneksi teman yang banyak. Misalkan kita hendak merantau ke suatu tempat ternyata kita ingat bahwa di tempat tersebut ada teman semasa kecil yang juga berasal dari daerah tersebut. Keuntungan ini bisa membantu kita karena bisa mendapatkan bantuan dari teman atau jaringan yang dimiliki.
Ini juga terjadi pada teman saya yang hobi touring dengan motor. Dirinya tergabung dalam komunitas motor yang memiliki hobi sama. Ketika hendak touring ke satu daerah. Mereka seringkali disambut hangat oleh komunitas sama yang ada di daerah yang dilewati. Bahkan mereka sering menumpang istirahat atau dijamu oleh rekan dari komunitas lain yang ada di daerah tersebut.
Saya pun memiliki hobi traveling. Kadang ketika tahu ada teman yang saya kenal ternyata tinggal di daerah yang saya kunjungi. Saya sering menghubungi dirinya untuk menemani traveling atau setidaknya untuk ketemu.
Tawaran untuk menginap di tempat tinggalnya atau diantar traveling ke tempat yang menarik sering saya terima. Suatu anugerah yang luar biasa.
Itulah beberapa hal mengapa penting sekali jika kita selagi muda suka berinteraksi dan terbuka untuk berteman dengan siapa saja  tanpa memandang SARA.
Mungkin dari sahabat Kompasiana ada yang memiliki pengalaman serupa dapat saling bertukar pikiran di kolom komentar. Semoga bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H