Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Bolehkah Saya Nyoblos Online?

28 Juli 2020   22:27 Diperbarui: 29 Juli 2020   06:32 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak terasa hitungan bulan lagi akan diadakan Pilkada 2020 Serentak tepatnya di penghujung tahun. Berdasarkan data KPU Pusat, ada setidaknya 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak tahun ini termasuk daerah saya Kabupaten Jembrana.

Sebagian Kompasianer pasti menerka dimana itu Kabupaten Jembrana? Tapi jika saya menyebut Pelabuhan Gilimanuk pasti langsung bisa menerka. Pelabuhan Gilimanuk sendiri adalah bagian dari wilayah Kabupaten Jembrana, provinsi Bali yang merupakan kabupaten paling barat Bali.

Saya melihat Pilkada Jembrana 2020 diprediksi hanya akan mengantarkan 2 pasangan calon mengingat koalisi partai sudah mulai mengerucut menjadi 2 kubu besar. 

Bali termasuk Kabupaten Jembrana dikenal sebagai basis PDI Perjuangan sehingga partai ini pasti akan mencalonkan kandidatnya. Di sisi lain prediksi penantang diduga akan diusung oleh Partai Golkar beserta partai koalisinya.

Jembrana memiliki posisi strategis mengingat letaknya sebagai salah satu gerbang masuk ke Pulau Bali, adanya industri pengalengan ikan dan hasil laut, hingga menjadi wilayah yang berpotensi untuk dikembangkan dalam proyek nasional.

Saya ingat dulu sempat tersiar info bahwa Pemda Jembrana memiliki impian membangun sirkuit standar internasional di Jembrana hingga pengusulan pembangunan bandara alternatif selain Bandara Ngurah Rai di Pulau Bali. 

Meskipun kedua hal tersebut belum terealisasi hingga sekarang namun setidaknya Jembrana dianggap memiliki potensi baik ke depannya.

Sebagai warga yang baik ingin rasanya menggunakan hak suara dalam Pilkada tahun ini. Namun bayang-bayang isu corona seakan tetap menghantui.

KPU dan Bawaslu baik pusat maupun daerah sudah menginfokan bahwa akan tetap menjalankan prosedur protokol kesehatan selama pelaksanaan Pilkada serentak. Namun rasanya hati ini tetap ada kekhawatiran.

Saya melihat potensi penularan Covid-19 masih berpeluang ada bahkan sejak masa kampanye hingga pengumuman pemenang Pilkada. Berikut adalah landasan akan kekhawatiran saya tersebut.

Masa Kampanye

Sudah pasti kandidat yang lolos verifikasi KPU akan melakukan kampanye untuk menarik massa pendukungnya. 

Caranya beragam mulai menyebarkan poster, pasang iklan di media massa hingga elektronik, blusukan dari rumah ke rumah, memasang baliho hingga mengadakan acara dangdutan untuk menarik warga berkumpul.

Acara dangdutan kemungkinan besar akan dilarang mengingat masih ada larangan untuk mengadakan kegiatan massal. Ini karena semakin banyaknya kerumuman warga dan susahnya melakukan pengontrolan akan berpotensi menjadi sarana penyebaran Covid-19.

Kekhawatiran saya justru berasal dari kegiatan blusukan dan pembagian media kampanye seperti leaflet atau brosur. 

Blusukan tidak mungkin dilakukan seorang diri pasti akan ada tim sukses yang terlibat. Kegiatan ini juga akan menarik media massa untuk meliput serta mengundang rasa penasaran warga untuk melihat kandidat calon.

Pengalaman saya ketika kandidat calon melakukan blusukan selama masa kampanye, warga akan berbondong-bondong mengikuti si kandidat tersebut.

Bayangkan jika kandidat calon datang ke rumah saya untuk bertamu dan menyampaikan visi dan misi namun seketika rumah penuh didatangi oleh banyak orang. Wajar jika saya dan keluarga justru ketakutan karena tidak tahu apakah orang yang ada di sekitar rumah berstatus non-reaktif Covid-19.

Jika ada satu saja yang positif Covid-19 dan ternyata ikut datang ke rumah, sudah ditebak keluarga dan warga yang ada di sekitar pasti akan dikarantina mandiri bahkan harus melakukan rapid test ataupun tes PCR.

Kasus lain yang mungkin terjadi ketika keluar rumah kemudian bertemu tim sukses salah satu kandidat dan saya menerima brosur atau leaflet pasangan calon pun seketika dapat memunculkan rasa ketakutan. 

Kita diberitahu bahwa virus dapat hidup dan menempel pada benda mati. Ketika menerima leaflet atau brosur artinya ada perpindahan benda dari orang lain ke kita. 

Apakah kita tahu jika si penyebar brosur sudah melaksanakan protokol kesehatan seperti mencuci tangan dan menggunakan handsanitizer? Apakah si penyebar brosur sudah rapid test atau swab test? 

Jika ternyata si pemberi brosur positif Covid-19 dan kita baru tahu setelah menerima brosur, saya yakin pasti akan langsung lemas dan panik.

Serangan Fajar

Kita tidak bisa menampik bahwa masih ada kegiatan bagi-bagi uang atau sembako saat menjelang pencoblosan yang dikenal dengan istilah serangan fajar.

Biasanya tim sukses ataupun oknum tertentu akan mendekati warga pemilih dengan iming-iming uang atau barang saat menjelang subuh. 

Inilah alasan muncul istilah serangan fajar untuk menghindari pemantauan Bawaslu serta lebih mudah menarik dukungan menjelang pencoblosan. Aksi ini sudah menjadi rahasia umum dan kerap terjadi di saat pelaksanaan hari pencoblosan.

Kita tahu bahwa uang adalah benda paling jorok karena diindikasi jumlah bakteri dan virus pada uang lebih besar dibandingkan yang ada pada toilet. Uang yang diberikan pasti sudah berpindah tangan puluhan, ratusan atau ribuan orang. 

Bakteri atau virus pun semakin berakumulasi menempel di uang kertas.

"Tidak mungkin kita meminta uang serangan fajar diberikan dengan ditansfer melalui M-Banking atau saldo uang elektronik"

Jika dalam bentuk sembako pun tetap ada rasa kekhawatiran karena ada banyak tangan yang sudah menyentuh sembako tersebut.

Bayangkan jika semua pasangan calon melakukan serangan fajar maka makin berlipatlah risiko yang akan kita terima. Jika ternyata pasangan calon tidak melakukan hal ini setidaknya risiko penularan Covid-19 saat serangan fajar bisa dicegah.

Masa Pencoblosan

Bagi yang pernah menggunakan hak suara baik pada Pilkada ataupun Pemilu pasti familiar dengan suasana di TPU. 

Kita hanya perlu datang ke lokasi TPU yang sudah ditentukan. Memberikan surat undangan memilih, melakukan verifikasi oleh petugas, menerima kertas suara, menunggu antrean, menuju bilik suara, mencoblos dan memasukkan kertas suara ke kotak yang sudah ditentukan dan mencelupkan jari di tinta.

Proses ini membutuhkan banyak interaksi dan sentuhan seperti mengantre di TPU, tanda tangan menggunakan pulpen yang sudah disediakan, menerima kertas suara, menunggu dengan pemilih lain, masuk ke bilik suara yang sudah digunakan banyak orang, memegang paku untuk mencoblos dan memasukan suara ke kotak suara.

Jika ada salah satu benda terdapat virus Covid-19 maka sudah dipastikan orang yang memegang atau di sekitar benda tersebut wajib untuk di cek lab. 

"Tidak mungkin kita membawa sendiri surat suara, kotak bilik dan paku saat pencoblosan"

Saya percaya bahwa panitia KPU dan Bawaslu pasti telah mengantisipasi kekhawatiran saya ini dengan menyediakan media pencuci tangan, penggunaan masker untuk panitia dan pemilih, handsanitizer, hingga mengatur jarak antar pemilih.

Namun sebagai masyarakat awam, tetap perlu ada rasa kekhawatiran akan hal ini mengingat saat ini banyak orang yang tidak sadar bahwa dirinya telah tertular karena berstatus Orang Tanpa Gejala (OTG).

Penghitungan Suara

Momen ini termasuk yang ditunggu dan membuat orang penasaran terhadap jumlah suara yang diterima tiap kandidat. Tidak heran saat penghitungan suara akan tercipta gerombolan warga di sekitar TPU. 

Bahkan menjelang akhir penghitungan suara sering terjadi warga yang berbondong-bondong mendekati TPU untuk melihat nilai suara lebih dekat. Imbauan jaga jarak yang disarankan oleh pemerintah rasanya akan hilang dalam situasi ini.

Wajar rasanya ketika saya mengajukan untuk menggunakan hak suara melalui online. Sebab saat ini banyak aktivitas yang dilakukan melalui online seperti kerja online, belajar online, video call, dan sebagainya.

Bahkan pemilihan demokrasi di Amerika Serikat pun dapat dilakukan dengan media internet tanpa harus datang ke lokasi pencoblosan. Cukup membuka situs yang sudah ditentukan, mengisi data dan melakukan pencoblosan.

Dengan pencoblosan online, saya tidak perlu mengantre, memegang kertas suara dan paku untuk mencoblos, masuk ke bilik suara yang sudah didatangi banyak pemilih, hingga tidak perlu berinteraksi dengan banyak orang.

Ini saya rasa akan mengurangi risiko penularan penyakit di tempat umum. Meskipun rasanya hal ini akan menjadi angan saya semata mengingat tradisi Pemilu dan Pilkada di negara kita lebih dianjurkan untuk datang langsung ke TPU.

Tulisan ini murni pandangan saya tanpa menyudutkan salah satu pihak atau menciptakan rasa kekhawatiran masyarakat menghadapi Pilkada serentak.

Harapannya tulisan saya ini dapat menjadi acuan dan masukan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan selama proses Pilkada. Jangan sampai niat baik untuk memilih calon pemimpin daerah justru menciptakan kluster baru penularan Covid-19.

Mungkin ada Kompasianer yang memiliki pemikiran dan pandangan yang sama seperti saya, bisa sharing di kolom komentar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun