Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Waspada, Pemberian Nama Unik Bisa Menghilangkan Identitas Kultural

23 Juli 2020   10:39 Diperbarui: 23 Juli 2020   11:49 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Bayi Kecil Bersama Orang Tua. Sumber Mypurohith.com

Saya memiliki teman yang bernama Dwinov ternyata singkatan dari 2 November yang merupakan tanggal lahirnya kemudian ada juga Oksapon ternyata singkatan dari Oktober Satu Pon dimana dirinya lahir pada tanggal 1 Oktober pada hari Pon pada kalendar Jawa. Banyak juga yang menggabungkan nama ayah dan ibu untuk diberikan pada anak misalkan Punira dari Putra dari Nisa dan Raka.

Rekan kerja saya baru saja melahirkan. Ketika berkunjung saat 2 bulanan lahiran, saya seakan terkesima mendengar nama yang diberikan. Terdiri dari 4 suku kata dan semua kata terdengar asing bagi saya. Saya sungkan menginfokan namanya namun saya analogikan seperti nama Maxina Redrova Aruna Bochin. Saya jujur menilai nama anak tersebut unik karena terdengar asing. Itulah tujuannya karena teman saya tidak ingin namanya terdengar pasaran atau ada yang menyamai.

Kondisi pandemi seperti sekarang bisa saya memunculkan ide kreativitas orang tua dalam pemberian anak seperti memasukkan unsur Pandemi, Korona, Rapid,ataupun  Vairus sebagai plesetan Virus sebagai bagian dari nama anak.

Diluar rasa kagum saya sebenarnya terbersit rasa prihatin saya. Ketika orang tua muda berlomba-lomba mengunakan nama yang unik, kebarat-baratan, mengundung unsur Arab, atau tidak lazim di masyarakat seakan mengikis identitas kultural yang selama ini terbentuk di masyarakat kita. Tidak heran saat ini anak kecil dengan nama asep, jajang, euis mulai berkurang di Jawa Barat dan tergantikan dengan Dilan, Charles, Robby ataupun Stevan yang dianggap lebih menarik.

Ketika kita menyatakan pendapat tentang nama si anak, akan muncul pernyataan "Anak-anak saya, nama-nama dari saya. Kok kamu yang ribet". Sebuah ucapan sederhana tapi pasti menyayat hati. Wajar karena itu adalah hak mereka yang mungkin tidak selaras dengan pandangan kita.

Secara psikis bisa saja saat besar nanti justru terbebani oleh nama yang unik tersebut. Ketika anak diberika nama Maxina Redrova Aruna Bochin karena temannya terlalu ribet menyebutkan sehingga diberi julukan Ina atau Ocin. Ekspetasi orang tua bisa tidak sejalan dengan kehidupan anak. Tidak sedikit justru anak kecil menjadi bahan olokan karena nama yang diberikan oleh orang tuanya.

Saya berharap 15 atau 20 tahun kedepan, nama yang kental budaya Indonesia tidak mengalami kepunahan karena berkurangnya yang mau menggunakan nama tersebut. Apapun namanya semoga dapat sejalan dengan harapan dan keinginan orang tua karena tetap kembali ke tulisan awal saya. Nama adalah doa dan harapan orang tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun