Tutik, gadis kecil berusia 8 tahun mungkin sekitar kelas 2 SD. Berjilbab merah dengan perawakan ceria. Lincah bermain dengan teman usia sebayanya. Namun sayang kebahagiaan saat itu sekilas menyamarkan kesedihannya.Â
Nasibnya tak seberuntung saya ataupun sahabat kompasiana. Dirinya saat masih berusia hitungan hari sudah dititipkan di salah satu panti di Malang. "Dititipkan" sedikit terdengar halus meskipun realitanya dirinya pada saat itu ditaruh dalam sebuah kardus mie kosong tanpa pakaian dan diletakkan di depan panti. Begitulah informasi yang ia dapat dari Bapak Zainal, salah seorang pengurus panti yang usianya sudah 54 tahun.
Bagi Tutik, "ditelantarkan" adalah kata yang tepat untuk hidupnya. Meskipun kata itu terlalu dini disematkan. Ada pikiran lain, bisa saja dirinya adalah korban penculikan. Dipisahkan dari orang tua hingga kemudian ditinggalkan di panti pada subuh itu.Â
Aku mengenalnya ketika membantu program pengabdian masyarakat dari kampus. Pengembangan karakter bagi anak panti, itulah konsep pengabdian masyarakat yang saya dan tim ingin untuk diaplikasikan. Misi kami bagaimana menanamkan rasa semangat dan percaya diri bagi anak panti untuk menata masa depan mereka.
Salah satu caranya adalah kami putarkan film Laskar Pelangi untuk membangunkan rasa optimis mereka. Bagaimana si Ikal dan Mahar bersahabat, menghabiskan waktu bersama saat duduk di SD Muhammadiyah di Gantung Belitung Timur. Kedua sosok anak yang cerdas dan memiliki impian yang besar. Si Ikal yang pandai bersastra dan si Mahar yang jenius dalam Matematika. Keduanya berhasil membuat bangga orang tua, guru dan sekolah dengan prestasinya menjuarai karnaval dan lomba cerdas cermat. Mereka tetap bersemangat meraih mimpi meskipun banyak halangan dan tantangan hidup.
Aku melihat Tutik menangis menonton film itu. Sebegitu sedihkah film ini atau Tutik merasa terinspirasi dari sosok Ikal dan Mahar?
Ku coba mendekatinya saat itu dan sekedar bertanya, "bagaimana filmnya, bagus?"
Dirinya sadar tangisnya membuatku menghampirinya. Diusapnya air mata dan hanya anggukan kepala sebagai jawaban atas pertanyaanku itu.
"Kenapa menangis? Cerita aja sama kakak", ungkapku lagi
"Apa aku bisa bernasib sama seperti mereka?", tiba-tiba terlontar pertanyaan itu dari mulut si Tutik