Kita pasti sudah familiar dengan logo halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sering tersemat pada produk makanan/minuman. Bagi negara mayoritas muslim seperti di Indonesia, sertifikat halal menjadi penting terutama bagi para produsen pangan, obat, kosmetika hingga pengelola rumah potong hewan.
Ini mengingat dengan adanya sertifikat halal menunjukan bahwa produk yang dijual atau beredar telah aman baik dari sisi kandungan hingga prosesnya dan tidak bertentangan dengan syari'at islam.
Ironisnya masih ada saja produsen atau pelaku usaha yang mengganggap sertifikat halal sebagai hal sepele. Ini terlihat ketika dengan mudahnya menaruh logo halal di produk yang mereka hasilkan tanpa melalui sertifikasi halal dari MUI. Cukup download gambar halal di mbah Google kemudian ditaruh pada desain kemasan, spanduk atau media promosi.Â
Ini banyak terjadi di masyarakat bahkan saat saya masih kuliah. Ada teman mahasiswa yang melaksanakan program kewirausahaan dan mencantumkan label halal pada produk makanan tanpa melalui sertifikasi halal.
Ketika ditanya kok berani mencantumkan label halal tanpa didaftarkan dan dicek oleh MUI? Jawabannya sederhana, kan bahannya tidak mengandung babi jadi sudah otomatis halal untuk dikonsumsi.
Saat ini saya bekerja di perusahaan produsen minuman air mineral. Kini saya tahu bahwa penyematan label/logo halal pada suatu produk tidak sesederhana yang diucapkan teman saya saat kuliah dulu.
Ada proses panjang yang harus dilalui mulai penyiapan dokumen, pendaftaran sertifikasi halal, monitoring pre-audit, audit dari perwakilan MUI/instansi yang ditunjuk, monitoring pasca audit dan jika semua sudah dilalui dengan memenuhi standar baru mendapatkan sertifikat halal sehingga produsen diperkenankan mencantumkan label halal pada produk.
Ketika masih ada pemikiran bahwa yang penting tidak mengandung unsur babi, darah, atau tulang yang diharamkan dalam ajaran islam serta penggunaan hewan potong telah dilakukan proses pemotongan sesuai syari'at islam maka secara otomatis sudah lolos halal maka pemikiran ini tidak 100 persen benar.
Contoh sederhana, kita menciptakan produk makanan ayam crispy dan dijual ke konsumen. Ayam telah dilakukan pemotongan sesuai syari'at islam, perlengkapan masak juga masih steril dan aman, outlet penjualan juga bersih serta tidak najis namun tanpa sepengetahuannya, minyak goreng yang dipakai selama ini mengandung lemak babi.
Otomatis produk ayam crispy yang dihasilkan sudah tidak memenuhi standar kehalalan produk.