Sahabat kompasiana pernah mendengar informasi bahwa di Afrika Selatan ada kejadian seorang pria diculik oleh 3 orang wanita dan disekap serta dijadikan budak seks selama 3 hari. (Berita lengkap klik disini). Kasus ini bukan hanya sekali bahkan ada berbagai kasus serupa terjadi di benua Afrika. Kasus lainnya yang sempat mencuat di media internasional yang dilakukan oleh WNI Reynhard Sinaga yang melakukan pelecehan seksual kepada banyak pria di Inggris dengan cara memasukan obat tidur ke dalam minuman.
Secara kasus memang pelecehan seksual yang terjadi pada kaum pria tidak sebanyak yang terjadi pada wanita. Namun tetap pelecehan seksual menjadi isu yang sangat sensitif untuk diperbincangkan.
Apa yang melatarbelakangi adanya pelecehan seksual?
Pertama, rendahnya kesadaran masyarakat. Ini juga berkorelasi dengan rendahnya pemahaman dan informasi tentang seksualitas yang ada di masyarakat. Orang tua ataupun guru sebagai pihak pendidik sebisa mungkin memberikan pemahaman kepada anak akan batasan antara pria dan wanita serta daerah mana yang boleh ditunjukkan pada lawan jenis, keluarga ataupun orang lain. Contoh orang tua cium kening anak masih batas normal karena itu bisa menjadi cara pendekatan dan kasih sayang orang tua pada anak namun justru akan menjadi berbeda jika seorang teman atau orang lain melakukan hal tersebut, Inilah yang perlu diajarkan pada anak.
Selain itu perlu ada informasi terkait anggota tubuh yang harus dilindungi dan tidak boleh disentuh oleh lawan jenis. Kecenderungan bahwa banyak masyarakat yang kurang paham membuat mereka seenaknya menyentuh anggota tubuh orang lain karena keterbatasan informasi tersebut. Contoh seorang pria menepuk bagian bokong wanita yang mungkin dianggap sebagai kedekatan personal tapi sebenarnya tidak etis dalam etika sosial.
Kedua, faktor kemiskinan dan ketegangan sosial. Di negara yang tingkat kemiskinan tinggi acapkali memiliki tingkat pelecehan seksual tinggi. Ini dikarenakan mereka tidak mengenyam pendidikan tinggi, tinggal berdesak-desakan dalam 1 rumah, kondisi lingkungan rumah di daerah kumuh sehingga rawan kriminal sehingga peluang terjadinya pelecehan seksual menjadi besar.
Ingatkah kasus penjarahan yang terjadi di Indonesia saat krisis moneter 1998 yang diikuti dengan banyaknya kasus pemerkosaan yang terjadi khususnya yang menimpa warga keturunan Tionghoa. Contoh lainnya konflik perang seringkali memunculkan aksi pemerkosaan yang terjadi pada warga sipil dari pihak yang kalah perang. Ini adalah sedikit gambaran bagaimana ketegangan sosialdapat menjadi penyebab dari tindakan pelecehan seksual.
Ketiga, rendahnya penegakan hukum. Beberapa kasus pelecehan seksual dimana hukuman yang diterima oleh pelaku terasa ringan, adanya anjuran agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan, ancaman kepada pihak korban hingga ada usaha agar kasus ini tidak di-blow up sehingga akan hilang secara sendirinya membuat oknum pelecehan seksual tidak jera dan justru semakin bertambah.
Hal yang memprihatinkan justru menimpa pihak korban. Berdasarkan kesaksian Riska sebagai narasumber sekaligus konselor mengkisahkan bahwa banyak pihak korban takut melaporkan apa yang menimpa karena merasa itu aib sehingga tidak perlu diketahui oleh orang lain. Selain itu masih anggapan bahwa para penegak hukum kurang adil bagi diri mereka membuat mereka hanya mampu menelan kepahitan hidup seorang diri.Â
Ini menjadi masalah baru karena korban akhirnya merasakan depresi, mengganggap pria sebagai sosok ancaman, bahkan yang fatal berujung pada kasus bunuh diri.Â
Untuk itulah masyarakat butuh sosok pahlawan baru yaitu mereka yang mau berada di sisi korban serta mencarikan jalan keluar atas masalah yang dihadapi. Tantangan terbesar yang kini dihadapi khususnya bagi orang disekitar korban (sabahat, keluarga atau konselor), ketika korban hendak bercerita. Jangan pernah menghakimi atau menjadikan bahan cerita korban sebagai bahan gunjingan atau gosip kepada pihak lain.Â
Pihak korban butuh pahlawan baru agar kepercayaan diri mereka tumbuh kembali dan pengalaman pahit yang dirasakan dapat hilang seiring waktu. Saya cukup tertarik dengan penjelasan saudari Riska bahwa sosok pahlawan tersebut harus melepaskan semua kepentingan pribadinya selain rasa untuk membantu korban.