Beberapa hari lalu saya sempat melihat sebuah postingan IG tentang seorang ibu guru yang kebingungan karena beberapa kali chatnya di grup mata pelajarannya tidak mendapat respon dari para siswa. Ia mengira bahwa telepon selulernya rusak menjadi penyebab para siswa tidak bisa memberikan respon. Setelah meminta tolong anaknya untuk mengecek ternyata hampir seluruh siswanya sudah meninggalkan grup (left grup) tanpa meninggalkan pesan dan tersisa 1 siswa dan guru tersebut. Namun sayang siswa terakhir pun akhirnya ikut keluar grup tanpa meninggalkan pesan. Sehingga tersisa hanya ibu guru itu di dalam grup kelas.
Masa pandemi ini, dunia pendidikan tidak hanya di Indonesia namun di berbagai negara menerapkan belajar di rumah (study from home). Segala aktivitas pembelajaran seperti pemberian materi, tugas dan kontrol siswa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi seperti pesan chat atau video conference/video call yang tersedia di berbagai aplikasi.
Kasus diatas mungkin juga terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Beberapa kali saya melihat postingan video yang beredar melalui twiter atau IG tentang siswa saat melakukan pembelajaran online melalui layanan video conference dengan guru menunjukkan sikap kurang terpuji seperti sedang mandi, makan, tidur, atau aktivitas lain yang terkesan kurang menghargai kegiatan pembelajaran online.
Beberapa bulan silam dunia pendidikan Indonesia juga sempat gempar beredar seorang siswa yang melawan dan memaki gurunya karena telepon selulernya disita, siswa memukul guru karena tidak terima ditegur atau siswa membully guru yang sedang mengajar di kelas.
Muncul pertanyaan dibenak saya, seiring perkembangan zaman mengapa etika generasi muda mulai merosot?
Dulu semasih saya sekolah jika ada siswa yang nakal atau tidak sopan akan langsung mendapat hukuman dijewer. Bahkan ketika masuk kelas harus cium tangan dengan guru dan berusaha mendengarkan pelajaran dengan baik. Bahkan bila menelisik kehidupan para santri di Pondok Pesatren (Ponpes). Para santri dididik tidak hanya dari sisi ilmu namun juga akhlaknya sehingga mereka begitu menghargai senior apalagi guru (ustad/ustadzah) apalagi Kyai pengurus Ponpes tersebut.
Di sekolah pun masih ada pelajaran kewarganegaraan dan budi pekerti yang syarat mengajarkan tentang tata krama dan norma-norma kemasyarakatan. Namun berkaca dengan banyaknya kasus etika siswa yang mencoreng dunia pendidikan membuat masyarakat menilai etika siswa saat ini terasa merosot dibandingkan siswa di tahun 1990an.
Perkembangan teknologi saat ini tidak hanya memberikan pengaruh positif namun juga negatif bagi perkembangan mental anak jaman sekarang. Hal lumrah tidak sedikit tontonan baik di TV ataupun Youtube yang menampilan karakter siswa yang dicitrakan sebagai sosok gaul, arogan, cuek, penampilan tidak sopan, mengucapkan kata tidak sopan dan suka berkelahi.
Karakter anak yang suka meniru menjadikan apa yang mereka lihat menarik dan berbeda untuk mereka tiru dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya istilah jancok, sebuah umpatan yang menjadi ciri khas warga Surabaya justru kini banyak anak diluar Surabaya familiar dan menirukan kata tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Saya ketika tinggal di Jakarta sering mendengar anak kecil mengeluarkan kata tersebut ketika kalah bermain game di hp mereka atau kesal/marah kepada orang lain. Padahal mereka bukan warga Surabaya dan belum pernah ke Surabaya. Setelah saya tanya tahu istilah itu dari mana, mereka bilang dari TV dan Youtube.