Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Viral Guru Diabaikan Siswa di Malaysia, Begitu Rendahkah Etika Generasi Muda Saat Ini?

20 Juni 2020   10:09 Diperbarui: 20 Juni 2020   10:18 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari lalu saya sempat melihat sebuah postingan IG tentang seorang ibu guru yang kebingungan karena beberapa kali chatnya di grup mata pelajarannya tidak mendapat respon dari para siswa. Ia mengira bahwa telepon selulernya rusak menjadi penyebab para siswa tidak bisa memberikan respon. Setelah meminta tolong anaknya untuk mengecek ternyata hampir seluruh siswanya sudah meninggalkan grup (left grup) tanpa meninggalkan pesan dan tersisa 1 siswa dan guru tersebut. Namun sayang siswa terakhir pun akhirnya ikut keluar grup tanpa meninggalkan pesan. Sehingga tersisa hanya ibu guru itu di dalam grup kelas.

Masa pandemi ini, dunia pendidikan tidak hanya di Indonesia namun di berbagai negara menerapkan belajar di rumah (study from home). Segala aktivitas pembelajaran seperti pemberian materi, tugas dan kontrol siswa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi seperti pesan chat atau video conference/video call yang tersedia di berbagai aplikasi.

Kasus diatas mungkin juga terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Beberapa kali saya melihat postingan video yang beredar melalui twiter atau IG tentang siswa saat melakukan pembelajaran online melalui layanan video conference dengan guru menunjukkan sikap kurang terpuji seperti sedang mandi, makan, tidur, atau aktivitas lain yang terkesan kurang menghargai kegiatan pembelajaran online.

Beberapa bulan silam dunia pendidikan Indonesia juga sempat gempar beredar seorang siswa yang melawan dan memaki gurunya karena telepon selulernya disita, siswa memukul guru karena tidak terima ditegur atau siswa membully guru yang sedang mengajar di kelas.

Muncul pertanyaan dibenak saya, seiring perkembangan zaman mengapa etika generasi muda mulai merosot?

Dulu semasih saya sekolah jika ada siswa yang nakal atau tidak sopan akan langsung mendapat hukuman dijewer. Bahkan ketika masuk kelas harus cium tangan dengan guru dan berusaha mendengarkan pelajaran dengan baik. Bahkan bila menelisik kehidupan para santri di Pondok Pesatren (Ponpes). Para santri dididik tidak hanya dari sisi ilmu namun juga akhlaknya sehingga mereka begitu menghargai senior apalagi guru (ustad/ustadzah) apalagi Kyai pengurus Ponpes tersebut.

Di sekolah pun masih ada pelajaran kewarganegaraan dan budi pekerti yang syarat mengajarkan tentang tata krama dan norma-norma kemasyarakatan. Namun berkaca dengan banyaknya kasus etika siswa yang mencoreng dunia pendidikan membuat masyarakat menilai etika siswa saat ini terasa merosot dibandingkan siswa di tahun 1990an.

Perkembangan teknologi saat ini tidak hanya memberikan pengaruh positif namun juga negatif bagi perkembangan mental anak jaman sekarang. Hal lumrah tidak sedikit tontonan baik di TV ataupun Youtube yang menampilan karakter siswa yang dicitrakan sebagai sosok gaul, arogan, cuek, penampilan tidak sopan, mengucapkan kata tidak sopan dan suka berkelahi.

Karakter anak yang suka meniru menjadikan apa yang mereka lihat menarik dan berbeda untuk mereka tiru dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya istilah jancok, sebuah umpatan yang menjadi ciri khas warga Surabaya justru kini banyak anak diluar Surabaya familiar dan menirukan kata tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Saya ketika tinggal di Jakarta sering mendengar anak kecil mengeluarkan kata tersebut ketika kalah bermain game di hp mereka atau kesal/marah kepada orang lain. Padahal mereka bukan warga Surabaya dan belum pernah ke Surabaya. Setelah saya tanya tahu istilah itu dari mana, mereka bilang dari TV dan Youtube.

Dulu semasih sekolah, saya ingat ada aturan para siswi diharuskan untuk menggunakan rok minimal 5 cm dibawah lutut dan tidak diperkenankan memakai riasan berlebih. Bahkan teman cewek saya bilang agak risih kalau pakai rok yang terlalu pendek. Ini masih menunjukkan mereka masih memilih pola berpikir masyarakat timur.

Kini ketika saya masuk ke pusat perbelanjaan atau cafe, banya cewek SMA yang roknya sekitar 5-10 cm diatas lutut dan sudah pintar berdandan. Istilahnya mata mendapatkan tontonan yang segar tapi hati terasa miris.

Kembali pada kasus yang terjadi di Malaysia, saya menilai bahwa masa pandemi ini juga menjadi masa terberat dalam dunia pendidikan. Banyak stereotype masyarakat bahwa dunia pendidikan mengambil "keuntungan" karena siswa diminta belajar dari rumah namun kewajiban membayar pendidikan sekolah tetap dibebankan kepada orang tua. Tidak heran muncul stigma guru seakan "makan gaji buta".

Berkaca pada kasus ini sebenarnya guru juga menjadi sosok yang ikut terkena dampaknya. 

  1. Secara naluri mereka juga terbebani karena mereka sadar akan tugasnya untuk mentrasfer ilmu kepada anak asuhnya. Namun hal tersebut terganjal karena aturan social distancing yang diterapkan oleh pemerintah. 
  2. Banyak guru yang gagap teknologi (Gaptek) namun karena tuntutan untuk mengajar melalui media online maka mau tidak mau mereka juga akhirnya belajar memanfaatkan kemajuan teknologi. Bukan rahasia umum bahwa mengajarkan teknologi kepada mereka yang sudah berusia diatas 40 tahun membutuhkan ekstra kesabaran karena daya tangkap kalah jauh dibandingkan anak usia 10 tahun. Ini menandakan bahwa guru pun berusaha untuk belajar hal baru agar dapat melaksanakan tanggungjawabnya sebagai seorang pengajar.
  3. Psikis guru dapat terganggu apabila mendapati respon siswa tidak sesuai dengan yang diharapkan. Guru merasa kecewa, menilai usaha tidak dihargai serta berpotensi menimbulkan rasa cuek terhadap perkembangan siswa.

Hal yang perlu diperhatikan oleh siswa jaman sekarang adalah cobalah untuk menghargai sekecil apapun usaha guru dalam memberikan pembelajaran. Mungkin tidak semua karakter guru dapat diterima oleh siswa karena ada penilaian dari sisi A, B, atau C. Namun sepatutnya siswa juga memiliki pemahamana bahwa mereka adalah orang yang lebih tua yang patut disegani dan kelak kitapun akan menjadi orang tua. Tentu kita juga berharap untuk disegani oleh generasi muda dibawah kita.

Saya berharap bahwa dunia pendidikan semakin membaik kedepannya setelah melewati masa-masa tersulit selama pandemi ini. Hal utama adalah adanya peningkatan etika siswa untuk bisa berusaha untuk menunjukkan sikap kental masyarakat timur yaitu menjaga tata krama dan etika dalam kehidupan sehari-hari. 

Salam hangat untuk pendidikan Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun