"Jika Emon memaparkan asumsi yang menjelekkan salah satu pihak, maka wajar jika Bintang Emon dipermasalahkan dan bahkan bisa dijerat karena pencemaran nama baik."Â
Awalnya saya tidak begitu tahu sosok Bintang Emon bahkan karena ketidaktahuan tersebut saya mengira dia masyarakat umumnya namun memiliki karakter yang lucu tapi kritis.Â
Saya pertama kali menonton videonya yang mengangkat tema DPO Corona. Video ini tentang kritik masyarakat yang cuek terhadap penyebaran virus korona berhasil membuat saya tertawa pingkal sekaligus berpikir hal sama.
Dalam hati saya menilai orang ini cerdas karena mengkritik dengan balutan komedi. Ternyata seiring waktu saya baru tahu jika Emon adalah lulusan Stand Up Comedy yang tayang di salah satu TV Nasional. Ini menunjukkan bahwa memang dia memiliki skill menghibur  yang baik.
Beberapa hari ini muncul video terbaru dari Bintang Emon dengan topik yang cenderung kritis terkait kasus penetapan hukuman pelaku penyiraman air keras ke Novel Baswedan yang pernah menjabat sebagai pimpinan KPK beberapa tahun silam.Â
Sekali lagi penyampaiannya cukup kritis karena menyatakan bahwa penyiraman air ke muka sangat tidak logis jika dinyatakan ketidaksengajaan.Â
Logisnya berdasarkan hukum gravitasi seharusnya air yang tumpah akan jatuh ke bawah bukan ke atas (muka Novel Baswedan) jika tidak ada faktor kesengajaan.
Judul tulisan saya kali ini memang sedikit nyeleneh namun saya ingin mengajak pembaca untuk ikut berpikir kritis namun tetap pada jalurnya. Sekali lagi saya menempatkan diri sebagai orang awam yang berusaha melihat kasus ini dari sisi kekritisan saya.
Kekritisan Bintang Emon apakah salah? Kita perlu berpikir bahwa salah satu kelebihan manusia dibanding makhluk ciptaan Tuhan lain adalah diberikan otak untuk berpikir dan naluri ingin tahu.
Pada video Bintang Emon terkait kasus putusan yang menimpa Novel Baswedan, saya menilai bahwa topik kekritisan yang dibalut unsur komedi tersebut lumrah terjadi di tengah masyarakat karena dinilai ada sisi yang  mengganjal. Bedanya bila kita yang mengkritisi mungkin hanya dianggap pandangan awam namun jika public figure atau tokoh politik justru terlihat berbeda.
Saya menilai Bintang Emon hanyalah manusia umumnya yang menggunakan analisa kritisnya dalam melihat putusan yang terlalu ringan dan argumen pelaku yang menyatakan hal tersebut sebagai unsur ketidaksengajaan.Â
Kasus ini sama seperti anak kecil bertanya kenapa ada malam dan siang, kenapa matahari cuma ada di siang hari dan bulan hanya malam hari? kenapa tidak muncul bersamaan?Â
Apakah anak kecil itu salah bertanya yang terkesan kritis? Tentu tidak karena ia berharap  mendapat penjelasan yang masuk akal sehingga menghilangkan rasa keingintahuannya.
Saya akhirnya mencari tahu kronologis penyiraman dari sudut pandang Novel Baswedan sebagai korban serta para saksi mata dari berbagai sumber berita.Â
Diinfokan Novel disiram cairan keras pada saat hendak pulang ke rumah seusai sholat shubuh di masjid yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Tiba-tiba muncul 2 orang yang diduga menyiramkan air keras ke wajah Novel Baswedan hingga muka mengalami luka bakar dan mata buta permanen.
Logika sederhana, ketika seseorang membawa cairan keras serta dibawa dengan kendaraan motor pasti cairan tersebut sudah dimasukan dalam wadah yang kuat agar tidak tumpah.Â
Naluri ini pasti muncul seketika karena dirinya tahu itu akan berbahaya jika jatuh atau tumpah apalagi dibawa dengan kendaraan motor. Apabila tidak ditempatkan di wadah yang aman tentu resikonya air itu akan tumpah ke dirinya terlebih dahulu baru ke orang lain.
Saya pun bertanya, masa ada 2 diduga pelaku membawa air keras pada situasi shubuh disekitaran masjid tanpa ada suatu niatan khusus.Â
Apabila benar air tersebut terjatuh atau tumpah karena ditaruh di wadah yang tidak aman maka seharusnya cairan itu sudah jatuh sejak pelaku menggunakan motor.Â
Secara pelaku bukan warga disekitar tempat kediaman Novel Baswedan. Logika Emon pun wajar muncul karena jika jatuh harusnya ke tanah bukan ke area wajah apalagi situasi dini hari di sebuah kompleks perumahan.
Logikanya lainnya kita sebagai orang awam disaat tidak sengaja melakukan hal yang melukai orang lain pasti secara refleks akan kaget atau panik dan berusaha untuk membantu sebisa mungkin.
Misal: kita menyenggol orang lain di jalan hingga orang tersebut terjatuh maka reflek kita akan membantunya untuk bangun dan meminta maaf. Kenyataannya berbeda pada kasus Novel Baswedan, mereka yang diduga pelaku justru kabur dan meninggalkan Novel Baswedan seorang diri menahan rasa sakit dan terbakar pada area wajahnya.
Kasus ini mirip tabrak lari yang berusaha menyelamatkan diri karena panik dihakimi massa. Selain itu jika tumpah harusnya ada cairan yang mengenai bagian tubuh pelaku namun jika tidak terkena secara nalar wajar ada anggapan bahwa air keras tersebut sengaja "ditumpahkan".
Kekritisan kedua, putusan hukuman hanya 1 tahun penjara. Sudah rahasia umum bahwa banyak putusan hukuman yang seakan "kurang adil" bagi salah satu pihak. Berkaca pada pernyataan Bintang Emon terlihat bahwa dirinya berusaha menempatkan diri sebagai pihak korban yang merasa kurang adil dengan putusan hukuman tersebut. Apakah salah?
Sahabat Kompasiana pasti pernah membaca atau mendengar kisah seorang nenek asyani dijerat hukuman 1 tahun penjara karena dianggap mencuri kayu di kawasan perum perhutani.Â
Sebagai masyarakat, kita pasti prihatin seorang nenek dijerat hukuman yang mirip dengan kasus penyiraman air keras. Nenek tersebut hanya mengambil beberapa potong kayu untuk bertahan hidup tidak melukai orang lain bahkan jika diperkenankan mungkin banyak pihak bersedia membayar kerugian yang ditimbulkan oleh nenek tersebut.
Berbeda halnya dengan kasus penyiraman yang secara nyata menyebabkan Novel Baswedan buta dan area wajah luka secara permanen. Saya yakin jika ditawarkan kepada orang lain untuk mendapatkan liuka yang sama maka mayoritas masyarakat memilih untuk tidak bersedia.
2 tahun belakangan ini juga sedang marak kasus pencemaran nama baik yang menimpa beberapa orang dan kasus penistaan agama. Ada yang sudah mendapatkan hukuman dan justru hukuman yang diterima jauh lebih berat dibandingkan kasus penyiraman air keras.Â
Logika jika jeratan hukuman 1 tahun penjara bagi mereka yang diduga pelaku penyiraman air keras menjadi bahan kritikan Bintang Emon.
Di negara penganut Syariat Islam memberlakukan hukuman mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa. Bahkan Suku Baduy pun memiliki aturan hukum yang mirip dengan syariat islam.Â
Bersyukurlah di Indonesia putusan pengadilan masih memasukkan sisi kemanusiaan karena ada kejadian yang terjadi diluar kendali manusia. Namun tetap berlandaskan keadilan yaitu adil tanpa ada kepentingan lain dari putusan tersebut.
Jika saya menilai bahwa kekritisan Bintang Emon terkait proses penegakan hukum Novel Baswedan hanyalah murni bentuk pandangan kritis masyarakat biasa (karena Emon pasti mengenyam pendidikan yang baik dan memahami cara berpikir yang logis).Â
Terkecuali jika Emon memaparkan asumsi yang menjelekkan salah satu pihak misal si A menerima sogokan dari pelaku agar hasil putusan tidak berat atau si A adalah dalang dari kejadian Novel Baswedan tanpa ada bukti yang konkret maka wajar jika Bintang Emon dipermasalahkan dan bahkan bisa dijerat karena pencemaran nama baik.
Salah bagi kita bila di dalam hati kita juga muncul pertanyaan yang sama dan sebenarnya juga mengkritisi seperti yang Bintang Emon lakukan namun tutup mata terhadap kejadian ini. Kini banyak teman-teman sesama Komika ikut buka suara terhadap kasus ini dan memberikan pandangan masing-masing.
Setiap orang memiliki sudut pandang yang pasti berbeda sehingga wajar juga bila ada pihak yang tidak sepakat dengan yang dilakukan Bintang Emon.Â
Itu pun tetap menjadi bentuk kekritisan dan sepatutnya bisa kita sharingkan melalui kolom koemntar dibawah. Semoga tulisan ini dapat menjadi gambaran sederhana terhadap permasalahan yang dialami Bintang Emon tanpa ada niat menyudutkan salah satu pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H