Mohon tunggu...
H.I.M
H.I.M Mohon Tunggu... Administrasi - Loveable

Hanya orang biasa yang memiliki 1 hati untuk merasakan ketulusan, 1 otak untuk berpikir bijak dan 1 niat ingin bermanfaat bagi orang lain | Headliners 2021 | Best in Specific Interest 2021 Nominee

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Strategi Petani Indonesia Maju, Jangan Ragu Belajar Pada Keberhasilan Pertanian Thailand

20 Mei 2019   00:18 Diperbarui: 20 Mei 2019   00:20 1331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 1984 dapat dianggap sebagai masa kejayaan pertanian Indonesia. Terbukti keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan produktivitas pertanian dimana tahun 1984 produktivitas beras tanah air mampu surplus 2 ton dari kebutuhan beras nasional saat itu. Bahkan dengan adanya surplus tersebut, Indonesia turut menyumbang 100.000 ton beras untuk masyarakat Eropa yang tengah berada pada krisis pangan (Sumber berita klik disini). 

Hal yang patut diapresiasi adalah tingkat kesejahteraan petani pun ikut terangkat dan menjadi salah satu keberhasilan pada masa pemerintahan Soeharto.

Seiring berjalannya waktu, kejayaan pertanian Indonesia kian menyusut terlihat dimana pemerintah mulai mengimpor kebutuhan pangan seperti beras, jagung, sayuran, umbi-umbian hingga hasil pertanian lainnya dari negara lain. 

Mengutip dari salah satu artikel pada berita online Kompas, 3 April 2018 dijelaskan bahwa sebanyak 19,4 juta masyarakat Indonesia justru tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dirinya sendiri (Berita detail klik disini). Fenomena ini tentu menjadi sebuah keprihatinan dimana dari sebuah negara swasembada berubah menjadi krisis pangan.

Kegiatan Masa Panen. Sumber Pomidor.id
Kegiatan Masa Panen. Sumber Pomidor.id
Terlepas dari hal tersebut, Thailand sebagai negara yang masih dalam kawasan Asean memiliki "nilai raport" yang tergolong baik dalam bidang pertanian. Meskipun jumlah lahan pertanian Thailand lebih kecil dibanding Indonesia namun buktinya Thailand mampu menjadi Lumbung Padi Asean dan berhasil menciptakan swasembada pangan selama bertahun-tahun dan menjadi tumpuan bagi negara-negara yang tengah dihantui krisis pangan nasional. 

Tidak heran ketika ada isu krisis pangan di Indonesia, Bulog sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menaungi logistik nasional juga melakukan import beras dari Thailand.

Apa yang menjadi tantangan pemerintah khususnya Kementerian Pertanian untuk mengembalikan kejayaan pertanian Indonesia agar mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional tanpa harus tergantung dari negara lain. Berkaca pada kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki Indonesia untuk lingkup pertanian yang melimpah seharusnya hal tersebut bukanlah hal mustahil untuk diciptakan.

Saya melihat bahwa ada 4 (empat) hal yang menjadi tantangan terbesar dalam pertanian Indonesia.

Pertama, generasi muda mulai enggan untuk menjadikan sektor pertanian sebagai tumpuan hidup mereka kedepannya. Ini terlihat ketika generasi muda khususnya di pedesaan mengganggap bahwa bekerja sebagai petani bukanlah status sosial yang prestige. 

Terlihat kini pemuda desa mulai berpindah ke kota untuk mencoba peruntungannya untuk merubah nasib. Bukan rahasia umum jika pendapatan sebagai petani memang tidak menentu dan tergantung dari hasil pertanian. 

Mayoritas petani di Indonesia bahkan tidak memiliki lahan sehingga menggantungkan diri sebagai buruh tani. Ketika masa panen, mereka akan mendapatkan hasil jerih payahnya namun ketika masa paceklik ataupun bukan masa tanam maka petani hanya mengandalkan hidup dari apa yang dimiliki saat ini.

Kedua, lahan pertanian yang beralih fungsi. Para pengembang (developer) properti hingga sektor swasta sangat gencar menawarkan pembelian lahan dengan iming-iming harga yang menjanjikan. Secara pemikiran awam, ketika pertanian dianggap kurang menjanjikan kemudian muncul tawaran nilai jumlah fantastis dimana lahan pertanian yang dimiliki warga akan disulap untuk perumahan, lahan komersil maupun kepentingan lainnya tentu menjadi daya tarik yang menggiurkan.

Ilustrasi Tanah Pertanian yang Dijual. Sumber Solopos.com
Ilustrasi Tanah Pertanian yang Dijual. Sumber Solopos.com
Contoh sederhana, ketika lahan pertanian berada di lokasi strategis dengan tawaran 1 hektar bernilai 1 milyar rupiah. Secara pemikiran finansial, masyarakat cenderung memilih menjual lahannya karena hasil pertanian mereka belum tentu menyentuh penawaran tersebut. Ini yang membuat jumlah lahan pertanian kian menyurut.

Ketiga, minimnya akses jual hasil pertanian. Masa panen akan menjadi kebahagian bagi para petani namun ketika masa itu muncul, terbatasnyuya jaringan jual menyebabkan mereka terjebak dalam lingkaran makelar atau cukong tani. 

Tentu saja nilai yang didapat tidak akan berdampak besar karena keuntungan yang paling banyak justru dirasakan oleh para cukong karena mereka membeli dengan harga murah dan menjual dengan setinggi mungkin. Kondisi ini yang membuat daya finansial petani akhirnya stagnan dan tetap pada kategori miskin.

Keempat, kebutuhan biaya pertanian besar. Ketika petani masih berkutat pada pendapatan yang tidak menentu maka sulit bagi mereka untuk menghasilkan produksi pertanian maksimal karena terkendala besarnya biaya pertanian mulai dari pengolahan tanah, pembibitan, pemupukan, perawatan hingga pasca panen. Kondisi ini yang membuat pengembangan pertanian kurang diminati. 

Disaat pemerintah bekerja keras menemukan langkah strategis untuk mengembalikan kejayaan pertanian Indonesia. Saya melihat sebaiknya kita belajar banyak dari Thailand melalui terobosan positif yang dilakukan oleh pemerintah Thailand dengan tetap melihat nilai dan potensi yang ada di Indonesia. Pemerintah Thailand saat ini membuat visi Thailand sebagai Dapur Dunia yang menunjukkan bahwa ada berbagai terobosan maupun cara yang melibatkan berbagai stakeholders untuk menyukseskan visi tersebut.

Saya melihat perbaikan infrastruktur pertanian dapat menjadi langkah awal untuk dilakukan mengingat kemampuan infrastrukur kita masih kalah dibandingkan Thailand. Apa saja yang dapat kita adaptasi dari keberhasilan pertanian Thailand untuk kemajuan pertanian Indonesia.

Keberhasilan pertanian Thailand ternyata tidak terlepas dari dibentuknya Bank Pertanian (Bank of Agriculture) yang diperuntukan secara khusus demi pembangunan pertanian nasional. Modal adalah salah satu tantangan pengembangan sektor pertanian. 

Adanya Bank Pertanian di Thailand adalah bukti pintar Thailand membebaskan petaninya untuk tidak terjerat pada lintah darat atau pemilik modal yang memanfaatkan keterbatasan modal melalui pinjaman bunga tinggi. 

Seharusnya Indonesia memiliki terobosan yang sama. Potensi ini terlihat karena Indonesia memiliki beberapa Bank BUMN yang sudah menjangkau pedesaan serta adanya koperasi sebagai sektor pendukung keuangan. Namun saya melihat peran bank BUMN maupun koperasi masih belum terfokus untuk membantu permasalahan modal petani.

Hal yang dapat dilakukan oleh Bank BUMN dan koperasi desa adalah memberikan bantuan modal dengan bunga serendah mungkin dibandingkan konvensional serta mengesampingkan jaminan lahan dengan menerapkan perjanjian pada masa panen. 

Cara ini saya pandang lebih bijak karena petani lebih bersemangat untuk memaksimalkan pertanian dengan modal yang diterima tanpa dibayangi persyaratan yang tinggi dan bunga yang mencekik. Kewajiban membayar tanggungan akan difokuskan setelah masa panen karena sudah terikat kontrak perjanjian kedua pihak. Apabila pemerintah melakukan hal ini setidaknya tantangan modal dapat teratasi.

Terobosan lainnya, ketika Thailand menfokuskan diri pada sistem pengairan sehingga masa panen dapat terjadi 4-5 kali dalam setahun berbeda dengan Indonesia yang hanya 1-2 kali dalam setahun. Tanpa dipungkiri memang Thailand diberkahi dengan sumber air yang melimpah dan merata seperti aliran sungai yang tersebar merata. 

Di Indonesia ancaman musim paceklik atau kemarau panjang memang momok menakutkan bagi pengembangan pertanian di Indonesia namun bila berkaca pada sistem pengairan di Thailand yang juga memanfaatkan kubangan sebagai media penampungan air dan irigasi maka Indonesia juga dapat membangun Embung Air Desa.

Embung Desa sebagai Irigasi Alternatif. Sumber berdesa.com
Embung Desa sebagai Irigasi Alternatif. Sumber berdesa.com
Pembangunan Embung Air Desa berarti masyarakat memanfaatkan kubangan seperti hasil pertambangan atau kubangan alami yang tidak terpakai sebagai tempat penampungan air disaat musim penghujan. 

Tujuannya adalah ketika air melimpah di musim penghujan, air tersebut tidak langsung menghilang terserap oleh tanah melainkan ditampung dalam embung tersebut. 

Apabila setiap desa memiliki embung masing-masing, niscaya meski disaat musim kemarau sekalipun. Kebutuhan air untuk irigasi tetap terjaga. Dampak positif dikemudian hari, dapat saja petani melakukan masa panen lebih dari 2 kali selama setahun sehingga produktivitas pertanian meningkat.

Pembangunan infrastruktur lainnya adalah pencetusan lahan produsen penunjang sektor pertanian yang tidak jauh dari lahan pertanian. Saya anggap ini menjadi penting dengan melihat realitas yang ada. Misalkan daerah Indramayu (Jawa Barat), Subang (Jawa Barat), Banyumas (Jawa Tengah), Jember (Jawa Timur), Tabanan (Bali), ataupun Kabupaten Sidrap (Sulawesi Selatan) yang menjadi daerah lumbung padi namun kenyataannya produsen penunjang sektor pertanian terletak jauh dari wilayah ini. 

Padahal untuk memajukan pertanian membutuhan peran stakeholders seperti produsen bibit tanaman, produsen alat pertanian modern (traktor, pompa irigasi), produsen pupuk, ataupun produsen pengolahan hasil pertanian yang jaraknya terjangkau. Ini karena semakin dekat dengan lahan pertanian maka cost pertanian akan lebih murah dan petani dapat menjangkau tersebut. 

Harapannya adalah pemerintah setidaknya dapat menawarkan kepada stakeholders pertanian untuk ikut bersama membangun pertanian Indonesia dengan bekerjasama membangun usaha tidak jauh dari lahan pertanian. 

Ketika petani membutuhkan bibit unggul atau ketersedian pupuk yang cukup dan ternyata di daerahnya terdapat pabrik/produsen yang mampu memenuhi hal tersebut tentu akan berdampak positif kedepannya.

Pembangunan pasar hasil bumi daerah dan exhibition diantara 100 hektar lahan pertanian dapat menjadi infrastruktur lain yang dapat diterapkan. Artinya ketika terdapat lahan pertanian seluas 100 hektar di suatu daerah maka perlu dibangun pasar hasil bumi maupun exhibition dengan tujuan untuk membantu petani menjual hasil pertanian pasca panen serta terdapat kegiatan promosi yang menghubungkan antara petani maupun sektor swasta yang membutuhkan hasil pertanian langsung melalui kegiatan pameran hasil bumi. Ini tentu akan membantu jaringan pemasaran petani sehingga memperkuat finansial petani.

Itulah pandangan saya bahwa dengan adanya penguatan infrastruktur untuk mendukung ekonomi, promosi, hingga proses pertanian diharapkan dapat menjadi terobosan dan solusi bagi pemerintah untuk diterapkan dikemudian hari. 

Saya melihat bahwa belajar terobosan Thailand disektor pertanian tentu memungkinkan memberikan dampak yang baik pula bagi pertanian Indonesia dengan mempertimbangkan penyesuaian yang ada di tanah air. Semoga Kementerian Pertanian dapat menemukan terobosan baru untuk membawa petani Indonesia berjaya ditanahnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun