Beberapa hari ini media massa maupun media sosial tengah dihebohkan dengan pengakuan Amir yang mengaku berbohong dengan aksi fenomenalnya berjalan kaki dari Medan hingga Banyuwangi yang telah viral di berbagai sosial media.Â
Aksi berjalan kaki ini diinformasikan merupakan bagian dari nazar Pak Amir karena sembuh dari penyakit yang sempat dialaminya. Tidak hanya itu, tujuan berjalan kaki lintas pulau ini juga dikarenakan niat dirinya menemui sang ibu yang konon tinggal di daerah Ketapang Banyuwangi.Â
Tak elak, banyak netijen dan relawan yang bersimpati dan bahkan selain dukungan moril, Pak Amir juga mendapat bantuan secara finansial hingga fasilitas untuk mendukung aksinya tersebut.
Sejujurnya saya pertama kali mengetahui aksi Pak Amir untuk berjalan kaki dari Medan hingga Banyuwangi melalui sebuah postingan facebook kemudian muncul repost instagram hingga akhirnya ada beberapa media yang meliput aksinya ini.Â
Awalnya saya sangat terkesima dengan niat dan tujuan dari aksi tersebut dan berpikir bahwa Pak Amir sebagai sosok inspiratif karena mewujudkan rasa bersyukur dengan cara berbeda serta hasrat bertemu dengan sosok ibu yang telah lama berpisah sangatlah besar. Ternyata saya menjadi bagian dari masyarakat yang merasa terbohongi oleh sikap Pak Amir tersebut.
Saya ingat betul, seminggu lalu salah seorang rekan kerja di kantor memposting dirinya tengah menemani Pak Amir saat tiba di daerah Pasuruan. Dengan rasa bangga, teman saya setia menemani berjalan kaki bersama Pak Amir hingga memasuki ujung perbatasan kecamatan.Â
Ternyata akibat viralnya kisah Pak Amir di Sosmed serta didukung pemberitaan media massa, banyak relawan baik secara individu maupun komunitas berbondong-bondong menunggu kehadiran Pak Amir.
Rasa takjub saya adalah ketika teman menginformasikan bahwa banyak komunitas yang saling berkoordinasi tentang lokasi terkini Pak Amir sehingga saat akan memasuki daerah baru, Pak Amir akan disambut oleh relawan lainnya yang akan mendampingi di perjalanan kedepannya.Â
Istilahnya mereka rela melakukan pendampingan secara estafet agar Pak Amir memiliki teman yang setia menemani selama perjalanan. Suatu bentuk simpati dan empati yang luar biasa untuk seseorang yang sebenarnya belum mereka kenal.
Rasa takjub saya lainnya adalah ternyata dukungan masyarakat begitu besar terbukti banyak yang menyelipkan amplop berisi uang, pemberian barang, tumpangan menginap hingga ada yang tertarik memberikan paket umroh saat aksi ini berakhir.Â
Teman kerja yang ikut mendampingi bercerita bahwa selama diperjalanan, banyak masyarakat yang menghampiri untuk memberikan amplop kenang-kenangan. Bahkan tas kecil yang dibawa Pak Amir seakan penuh dengan amplop.Â
Terbukti saat pengakuannya, Pak Amir menyatakan uang yang terkumpul dan tersimpan di ATM selama aksi jalan kaki ini sudah hampir mencapai 74 juta. Jumlah yang fantastis.
Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari fenomena ini?
Netijen hingga wartawan seakan terkecoh dengan informasi yang beredar secara cepat. Bukan rahasia umum bila masyarakat begitu mudah terpancing tentang informasi yang dibungkus dengan kisah perjuangan, penderitaan, penzoliman, ataupun kisah lainnya yang dianggap informasi ini harus segera disebarkan atau diviralkan agar masyarakat mengetahuinya. Ini pula yang terjadi pada kisah Pak Amir.Â
Disaat informasi yang beredar begitu inspiratif dimana hadirnya kisah ketulusan seseorang untuk bertemu ibunya di Banyuwangi sehingga rela berjalan kaki dari Medan serta bentuk syukur yang luar biasa kepada Tuhan atas berkat kesembuhan yang dirasakan menjadi "Bumbu yang sedap" bagi seorang netijen ataupun wartawan untuk menyebarkan informasi ini melalui pemberitaan ataupun share di sosial media.
Saya menyatakan bahwa ini menjadi tamparan keras bagi kita semua dimana justru kita baru mencari mencari kebenaran setelah sekian lama pemberitaan Pak Amir tersebar hingga viral.Â
Padahal kenyataannya, sang ibu justru masih berada di Sumatera Utara (kronologis detail klik disini). Sangat disayangkan memang ketika orang tua justru dijadikan alasan untuk mendapat simpati dari masyarakat akan aksi Pak Amir. Kebohongan ini baru terbongkar ketika dirinya sudah berada di Daerah Besuki, Situbondo yang jaraknya sudah tidak terlalu jauh lagi dari Banyuwangi.Â
Tidak hanya itu, terbongkarnya lokasi sang ibu sebenarnya masih ada di Sumatera Utara memunculkan kebohongan lain yang menyatakan alasan ke banyuwangi untuk mengunjungi teman lama yang tinggal di Ketapang. Namun ketika relawan mengantar ke alamat yang dituju, tidak ada kawan Pak Amir yang tinggal disana.Â
Entah hanya Pak Amir sendiri yang tahu maksud dari alasannya tersebut. Seandainya pengkroscekan informasi dapat segera dilakukan ketika berita baru viral mungkin masyarakat tidak akan terlalu terbohongi.
Tamparan berikutnya adalah, aksi Pak Amir tentu akan berdampak pada keraguan kita akan kisah perjuangan orang lain. Bagaimana tidak, aksi yang dilakukan selama 2 bulan ini justru bisa mendapatkan bantuan secara luar biasa dan bernilai fantastis. 74 juta terkumpul dalam waktu tergolong singkat dan didapatkan dari masyarakat yang bersimpati dan berempati.Â
Ada perasaan sesak di dada ketika membaca berita yang menuliskan bahwa Pak Amir menyesal membohongi masyarakat dan akan menggunakan uang yang diterima dengan sebaik-baiknya khususnya untuk membuka usaha di kampung halaman (berita klik disini).Â
Meskipun banyak donatur yang ikhlas memberikan sumbangan kepada Pak Amir namun cara yang dilakukan oleh Pak Amir terkesan sangat tidak terpuji. Dampaknya adalah ketika suatu saat muncul aksi serupa dan ternyata memang dilakukan apa adanya.Â
Tingkat kepercayaan masyarakat akan berkurang meskipun akan memunculkan jiwa kritis dalam benak masyarakat karena belajar pada kasus Pak Amir.Â
Setiap kejadian tentu ada sisi positif dan negatif. Secara negatif memang tindakan yang didasarkan pada kebohongan tentu akan menghilangkan kepercayaan orang lain. Tidak dipungkiri dari sikap kebohongan Pak Amir akan menjadi penilaian buruk pada sosok dirinya dan tentu membekas untuk jangka waktu panjang.Â
Meskipun belum ada pihak yang melaporkan tindakan Pak Amir sebagai bentuk kriminal tapi sangsi sosial telah diterima oleh Pak Amir sendiri. Secara positif, kasus ini mengajarkan kita untuk lebih teliti dan harus menyaring segala informasi yang ada. Bersikap bijak sebelum jari ini dengan leluasa menyebarkan informasi yang belum tentu benar adanya.
Apabila ada sobat yang ingin menyampaikan komentar atau menjadi bagian dari relawan yang mendampingi kisah Pak Amir, silakan untuk sharing di kolom komentar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H