Tsunami yang menimpa di sekitar Pantai Anyer, Cilegon Banten dan juga di sekitar pantai di Lampung memang mengejutkan banyak pihak. Tanpa diawali gempa besar seperti yang sempat terjadi di Aceh dan Palu ataupun peringatan awal dari BMKG seakan memunculkan berita simpang siur di tengah masyarakat.Â
BMKG sempat mengeluarkan pernyataan bahwa kejadian yang menimpa daerah di Anyer bukanlah berasal dari Tsunami melainkan gelombang air pasang laut serta pengaruh fenomena bulan purnama. Pernyataan ini didasari karena tidak adanya gempa yang terjadi atau kejadian lainnya yang mampu menyebabkan tsunami seperti jatuhnya material besar ke laut atau terdapat meteoroid yang jatuh ke permukaan laut.
Adanya aktivitas erupsi yang terjadi di anak Gunung Krakatau menambah spekulasi bahwa telah terjadi runtuhan material dari anak Gunung Krakatau yang menyebabkan naiknya gelombang air laut. Meskipun fenomena ini bisa dianggap sebagai tsunami kecil namun menguntip data sebuah artikel online, tsunami kecil ini telah menyebabkan 43 korban tewas, 584 orang terluka. Jumlah ini dapat bertambah mengingat masih banyak orang yang hilang dan belum ditemukan hingga saat ini (berita detail baca disini).
Tsunami kecil yang terjadi pada Sabtu Malam, 22 Desember 2018 mengingatkan kita akan terjadinya Mega Tsunami yang terjadi di Aceh tahun 2004 dan Selat Sunda pada tahun 1883. Mega Tsunami Aceh 2004 begitu membekas karena mayoritas masyarakat Indonesia dapat melihat jelas dampak yang dihasilkan oleh Tsunami yang terjadi karena gempa berkekuatan 9,1 SR. Hanya tinggal menghitung hari mengenang tragedi tersebut yang terjadi pada 26 Desember 2004 namun justru menambah luka pilu karena terjadi pula tsunami kecil di Anyer di bulan yang sama.
Kejadian semalam seakan mengingatkan kita akan Mega Tsunami yang terjadi di tahun 1883. Meskipun kita tidak dapat merasakan langsung betapa dasyatnya bencana tersebut setidaknya banyak rekam sejarah yang berhasil menggambarkan kengerian dan kehancuran yang terjadi saat itu. Bahkan Mega Tsunami 1883 tercatat sebagai bencana paling buruk dalam peradaban manusia modern.
Letusan Induk Gunung Krakatau bahkan terdengar hingga Benua Afrika karena kekuatannya setara dengan 21.574 kali lipat bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Bisa dibayangkan bila sebuah bom atom mampu meruntuhkan sebuah kota apalagi bila kekuatannya berpuluh ribu kali dari kekuatan tersebut. Abu Vulkanik yang dihasilkan bahkan berhasil membuat langit gelap dan menutupi sinar matahari hingga ke Benua Afrika dan Eropa. Fenomana ini bahkan menciptakan perubahan cuaca ekstrim di berbagai belahan dunia selama beberapa tahun.
Tentu yang dilupakan adalah kedasyatan gelombang Tsunami yang dihasilkan. Tsunami setinggi hampir 40 meter menghantam pesisir di sekitarnya dan menewaskan 30 ribu jiwa (data detail klik disini). Saya sempat membaca postingan berita bahwa banyak mayat korban Tsunami 1883 yang hanyut disapu gelombang menjadi santapan buaya dan ikan di sana. Saya tidak dapat membayangkan kengerian dan ketakutan masyarakat pada saat itu.
Keberadaan anak Gunung Krakatau sebagai gunung api aktif yang berada tengah Selat Sunda menyimpan rasa ketakutan sendiri bagi masyarakat sekitar. Gempa yang terjadi akibat pergeseran lempeng bumi mampu menimbulkan dampak dan tsunami yang besar apalagi jika gempa dihasilkan oleh ledakan erupsi dari gunung api yang terletak di tengah/dalam laut. Potensi terjadinya tsunami tentu akan besar.
Di sisi lain Selat Sunda sebagai penghubung antara Pulau Jawa dan Sumatera dengan lalu lintar transportasi yang tinggi memunculkan rasa kekhawatiran lainnya. Kejadian semalam di mana adanya tsunami kecil yang tidak terdeteksi dini oleh BMKG menunjukkan bahwa bencana dapat terjadi kapan pun tanpa terprediksi. Hal yang perlu diantisipasi adalah apa yang harus dilakukan apabila terjebak di tengah laut saat anak Gunung Krakatau memunculkan erupsi secara tidak terduga. Ini yang menjadi tugas pemerintah bersama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Saya tertarik mengajak sobat pembaca untuk memberikan masukan apa yang harus dilakukan sebagai tindakan antisipasi bila terjadi erupsi Anak Gunung Krakatau ataupun munculnya gelombang air laut yang tinggi sehingga masyarakat mampu menghindari dan bertahan hidup dari bencana tersebut. Mohon memberikan komentar di bawah sehingga dapat menjadi masukan dan informasi bagi banyak pihak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H