Judul di atas memang terkesan hiperbola karena menempatkan aplikasi Pinjol sebagai lingkaran setan penebar aib tapi bagi yang pernah terjerat kasus Pinjol, istilah ini pasti akan diiyakan. Disisi lain jika saya tidak membuat judul bombastis, takut sepi pembaca (curhatan pribadi).
Saya menelusuri bahwa kemunculan Pinjol tidak terlepas dari keberhasilan kredit online yang menjadi andalan bagi masyarakat karena proses dan persyaratan yang tidak sulit serta plafon kredit yang tinggi dan menggiurkan. Dibandingkan pengajuan kartu kredit atau pengajuan kredit konvensial yang tergolong ribet dan membutuhkan waktu panjang selama proses pengajuan membuat kehadiran kredit online saat ini ibarat angin sepoi ditengah padang pasir, begitu menyejukkan. Bagaimana tidak, banyak aplikasi kredit online hanya mengandalkan slip gaji, foto diri, foto ktp dan pemberian akses terhadap data privasi di dalam handphone maka pengajuan setidaknya 80 persen diterima dalam hitungan 1-3 hari.Â
Tingginya daya tarik masyarakat ini tentu menjadi lahan basah bagi pengembang aplikasi serta pemilik modal swasta untuk mengembangkan aplikasi serupa dengan berbasis Pinjaman Online (Pinjol). Anda punya hutang? pusing untuk membayarnya? Pinjol adalah solusinya. Anda ingin membeli barang? Masih ragu untuk menjual ginjal hanya demi membeli barang tersebut? Pinjol adalah solusinya. Anda ingin segera menikah? Modal belum ada tapi waswas pacar ditikung sahabat sendiri? Pinjol solusinya.
Kehadiran Pinjol saya rasa pintar dalam membaca situasi. Bagaimana tidak, ketika seseorang berada pada posisi terpepet dana, secara psikologis adanya suntikan dana berupa pinjaman akan sangat menggiurkan. Ibarat otak dan pikiran tertutup awan mendung, peminjam lebih berpikir yang penting masalah uang teratasi, terkait besaran bunga atau efek hilangnya privasi diri adalah urusan belakang.
Apakah saya pengikut Pinjol? Puji Tuhan saya tidak pernah meminjam uang dari Pinjol meskipun terpepet tapi saya akui pernah menggunakan layanan Kredit Online. Bahkan skor poin saya mencapai 770 kategori sangat baik di salah satu kredit online saat Mei 2018 (pamer dikit lah). Adanya kasus seseorang di salah satu media sosial bahwa dirinya telat membayar cicilan Pinkol yang menyebabkan orang yang ada di kontak telepon diterror oleh debt collector pihak pengembang aplikasi membukakan pikiran saya untuk tidak menggunakan Pinjol.Â
Bahkan sebuah postingan yang membongkar pihak pengembang yang memiliki salinan data personal seperti list kontak telepon hingga galeri foto dan video membuat saya berpikir ini salah bila dilanjutkan. Data saya bisa disalahgunakan oleh pihak lain karena data itu justru bisa menjadi bumerang bagi kita karena banyak pihak yang memiliki salinannya.
Siapakah yang patut disalahkan? si peminjam? si pengembang aplikasi Pinjol? atau pemerintah yang lemah dalam menerapkan regulasi terkait informasi dan teknologi?
Ini adalah cara pandang saya secara pribadi tentang siapa yang salah terkait kasus ini berdasarkan pengamatan saya melalui pengalaman teman yang sempat tertimpa kasus ini dan juga melalui pemberitaan media.
# Si Peminjam Memiliki Adil Kesalahan 50 Persen
Bila ada yang protes dan berkomentar, kok Si Peminjam punya kesalahan 50 persen. Mereka kan korban kenapa harus disalahkan? Jika muncul komentar kalimat tersebut saya hanya bisa beransumsi 2 hal : Pertama, mereka pasti pernah merasakan dikejar-kejar debt collector Pinjol sehingga tidak bersedia disalahkan dan ingin mencari pihak lain yang lebih bertanggung jawab. Kedua, mereka hanya bersimpati terhadap korban dari sisi kemanusian tapi kurang bijak dalam menyikapi latar belakang fenomena ini.
Pada awal seseorang mengginstal aplikasi Pinjol, mereka pasti sudah mendapat sedikit informasi tentang fungsi aplikasi itu baik dari iklan, info dari pihak lain ataupun melalui pemberitaan. Kesalahan terbesar dari si peminjam adalah mereka tidak melakukan analisa tingkat bunga yang dibebankan, analisa finansial diri serta analisa resiko.
Analisa finansial diri. Tingginya kasus si peminjam yang tidak mampu membayar karena mereka tidak melakukan analisa finansial diri. Artinya apakah cicilan tersebut mampu dibayar oleh dirinya untuk jangka waktu yang disepakati. Jujur tanpa mengurangi rasa empati saya tapi saya terbawa emosi dengan sikap beberapa orang yang meminjam pinjaman online melebihi kemampuan finansialnya. Contoh : Ibu Rumah Tangga (IRT) umumnya mengandalkan pemasukkan dari pendapatan suami (kesampingkan dulu kasus IRT yang memiliki usaha sampingan, kontrakan ada dimana-mana atau punya warisan dari orang tua karena konteks ini IRT pada umumnya). Artinya pemasukkan utama dari 1 pintu yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, keperluan anak serta pembayaran tagihan rutin.Â
Ketika IRT mengandalkan pendapatan gaji suami yang besarnya tidak jauh berbeda dengan UMK maka ini akan menjadi bumerang sendiri. Contoh kasus Ibu Tuti memiliki suami berpenghasilan 3 juta. Beliau ternyata meminjam uang sebesar 5 juta di aplikasi Pinjol dengan masa pinjaman 6 bulan dan bunga 20 persen. Otomatis Ibu Tuti harus menyisihkan 1 juta setiap bulan untuk membayar tagihan tersebut padahal dirinya harus membayar sewa kontrak bulanan dan memiliki anak yang masih bersekolah. Sepertiga gaji suami justru digunakan untuk membayar tagihan. Ini namanya mencekik leher secara perlahan karena secara kemampuan finansial sudah tergolong memberatkan.
Analisa Resiko. Peminjam cenderung mengesampingkan hal ini saat awal proses peminjaman padahal resiko yang ditimbulkan dari proses pinjaman tersebut justru banyak dan akan menjadi bumerang yang mematikan bagi si peminjam. Kesalahan terbesar adalah ketika menginstal aplikasi dan mulai mengaktifkannya. Rata-rata peminjam perlu memasukkan data diri berupa slip, ktp, foto diri memegang ktp dan yang fatal adalah memberikan ijin bagi pengembang untuk mengakses data diri di smartphone.  Mengapa saya sampaikan ini menjadi bumerang yang mematikan. Ada 3 alasannya :
- Kemudahan akses data di Smartphone memungkin pengembang mengetahui kontak telepon, siapa yang sering peminjam hubungi hingga mengetahui galeri foto/video pribadi anda. Ketika peminjam tidak mampu melakukan pembayaran tepat waktu maka debt collector akan menggunakan data tersebut untuk menekan secara psikologis dan menyebarkan "aib" bahwa anda memiliki hutang yang tidak dibayarkan. Saya sempat membaca kisah di Kask*s (forum komunitas maya terbesar di Indonesia), debt collector tidak segan menghubungi semua orang terkait piutan anda ke semua salinan kontak telepon. Debt Collector bahkan merayu pihak pihak yang ada di kontak seperti keluarga besar, saudara, teman, hingga atasan anda bekerja untuk menginfokan namun bila lebih ekstrem meminta menagihkan atau yang paling ekstrem meminta untuk membayarkan tagihan piutang si peminjam. Resiko, secara sosial nama anda akan dicap tidak baik oleh orang yang mendapat dampak dari debt collector.
- Data Anda Digunakan Untuk Kepentingan Lain. Kini muncul kasus dimana data yang anda gunakan untuk meminjam di aplikasi Pinjol A maka ternyata data diri anda digunakan oleh Pinjol A untuk diajukan pinjaman ke Pinjol B dan seterusnya. Resiko yang terjadi adalah jika data anda digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab justru mereka akan mendapat keuntungan lebih besar dibanding anda. Kemungkinan terburuk adalah anda mengajukan pinjaman hanya di Aplikasi Pinjol A ternyata ada oknum memanfaatkan data anda untuk pinjaman di Pinjol B, C, D dan seterusnya dengan nominal yang jauh lebih besar. Bersiapkan anda akan dikejar debt collector tidak hanya dari 1 pengembang namun juga dari pengembang lainnya.
- Anda hobi menyimpan foto atau video yang sensitif dan bahkan hanya untuk kepentingan pribadi. Jangan kaget jika berkas pribadi yang anda berusaha simpan dengan nama folder beraneka rupa dan nama justru bisa diketahui oleh pihak pengembang Pinjol dan menjadikan itu sebagai senjata untuk menekan anda secara psikis.
Alasan dasar mengapa saya justru menyalahkan pihak peminjam dibandingkan pihak lain karena banyak kasus yang saya temui justru menggunakan Pinjol untuk memenuhi kebutuhan konsumtif dan gaya hidup. Apa reaksi pembaca jika memiliki teman atau kenalan yang menggunakan Pinjol untuk membeli handphone baru, sepeda motor baru, biaya malam minggu, untuk membeli barang yang tidak terlalu perlu. Saya justru kesal dan emosi sendiri karena ternyata uang digunakan bukan untuk kepentingan yang urgensi tinggi.
Baru-baru ini viral kisah seorang IRT yang semula meminjam uang ratusan ribu untuk modal usaha justru membengkak menjadi puluhan juta dan ternyata sudah berhutang lebih dari 10 aplikasi Pinjol. Tanpa mengurangi rasa empati pada kisah ibu itu tapi saya menilai ibu itu nekat mengulang kesalahan sama ketika tidak mampu membayar cicilan. Ketika ada pepatah Kancil tidak akan jatuh pada lubang yang sama, ku sampai tidak bisa berkomentar jika sampai terlilit di lebih dari 10 aplikasi Pinjol dan hutangnya berlipat setiap hari.
# Si Pengembang Aplikasi Pinjol Memiliki Adil Kesalahan 15 Persen
Wow, mengapa kecil sekali penilaian saya terhadap peran si pengembang aplikasi Pinjol dalam kasus ini. Saya menilai bahwa aplikasi Pinjol diciptakan sebagai bentuk karya dari sebuah ide serta gagasan yang tertuang dalam bentuk aplikasi berbasis online. Hal ini sudah tertuang jelas dalam UUD Pasal 28C poin 1 (Ayo buka lagi buku undang-undangnya ) serta adanya hak untuk berkarya, berkumpul dan berpendapat yang menjadi Hak Asasi Manusia (HAM). Â Sebagai bagian dari sebuah karya maka aplikasi Pinjol tidak ada bedanya dengan aplikasi yang dihasilkan saat ini seperti Sosial Media (Sosmed), Ojek Online, permainan dsb.
Tantangan justru berasal dari sosok pribadi seseorang tersebut. Sebagus apapun aplikasi serta promosi yang begitu masif jikalau seorang pribadi mau berpikir sejenak tentang plus minum aplikasi tersebut serta melihat potensi resiko yang ditimbulkan tentu aplikasi sepi peminat. Contoh sederhana, saat ini banyak perbankan serta asuransi yang menawarkan produk kartu kredit ataupun asuransi kepada masyarakat. Begitu besar budget yang dikeluarkan untuk promosi serta kerasnya usaha marketing dalam memaparkan manfaat produk yang ditawarkan bahkan hingga berbusa-busa justru banyak masyarakat yang memberikan tanggapan, "maaf saya belum butuh" ketika ditawarkan. Ini membuktikan bahwa hitungan untung rugi masih digunakan ditengah masyarakat. Mengapa ketika ditawarkan pinjaman melalui Pinjol justru begitu bersemangat. Bahkan ketika satu aplikasi telah di-approve hasrat untuk mengajukan di Pinjol lainnya pun dilakukan.Â
Sifat dasar manusia yaitu Hasrat tidak pernah puas. Bila dipikirkan justru kartu kredit lebih baik dibandingkan Pinjol karena ada promo cicilan bunga 0 persen, ada promo cashback hingga hadiah yang dapat ditukarkan dengan poin yang terkumpul atau asuransi yang menawarkan sistem investasi jangka panjang tapi kurang diminati masyarakat. Inilah alasan mengapa bagi saya, aplikasi Pinjol memiliki adil kesalahan yang kecil karena ia hanyalah produk yang diciptakan sebagai bentuk karya.
Tidak dipungkiri dalam kasus ini pemerintahpun memiliki adil karena telat mengantisipasi ketergantungan sebagian masyarakat pada Pinjol. Saya menilai bahwa kesalahan terbesar pemerintah adalah terlalu menunggu dampak atau keluhan masyarakat dari pengaruh Pinjol. Di sini setidaknya ada Bank Indonesia, OJK hingga Kemeninfo sebagai lembaga pemerintah pertama yang harusnya membuat pagar demi menjaga permasalahan sosial ini muncul.Â
Ketika mulai muncul keluhan masyarakat yang merasa dirugikan karena besarnya bunga yang dibebankan ke mereka melalui Pinjol hingga data privasi yang justru hilang barulah pemerintah gencar melakukan tindakan korektif atau sosialisasi bahwa aplikasi Pinjol ilegal dan tidak terdaftar di OJK. Seharusnya ketika ada 1 aplikasi yang dirasa dapat menimbulkan permasalahan baik secara sosial ataupun administratif maka harus langsung diberikan ketegasan. Keterlambatan inilah yang membuat banyak masyarakat yang sudah terlanjur terjerat dalam lingkaran setan ini. Lingkaran dimana untuk terbebas dari belenggu Pinjol A maka ia mengikat dirinya kepada Pinjol B, C, D dan seterusnya. Akhirnya belenggu ini bukannya hilang justru semakin mencekik leher si peminjam.
Alangkah baiknya masyarakat perlu semakin selektif dalam menggunakan data pribadi dan mengatur pola keuangan miliknya agar menghindari ketergantungan pada pihak/lembaga peminjam yang memberatkan sepihak.Â
Bijaklah dalam menentukan mana kepentingan urgensi yang harus segera dipenuhi atau hanya kepentingan pribadi yang bersifat konsumtif. Sebelum menyalahkan pihak lain, lebih baik salahkan terlebih dahulu diri kita karena hanya demi iming-iming uang cepat dan besar justru menggadaikan nama baik dan privasi kita.Â
Saat ini masyarakat Indonesia telah cerdas dan memiliki tingkat pendidikan yang cukup baik. Gunakan hal tersebut untuk menyaring mana yang baik dan tidak.Â
Patut dicatat bahwa penilaian ini hanya opini pribadi saya berdasarkan pengamatan saya dari lingkungan sekitar yang terjerat Pinjol. Semoga bermanfaat dan ditunggu komentar dan nilainya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H