Entah. Demikian kata yang kini menggalanyuti pikiranku. Biasanya, kata entah identik dengan ketidakpercayaan diri. Jika kata tersebut muncul karena ketidaktahuan, bisa dimaklumi. Namun jika ditanya tentang diri sendiri. Berarti yang ditanya tak mampu menjawab dirinya lagi. Demikianlah. Entah sudah berapa kali aku mengulangi berada di tempat ini. Entah keberapa kali aku mengelus batu nisan ini. Entah sudah berapa kali kudengar teriakan seorang bocah yang berlari-lari kecil sambil berteriak, “Abang, disuruh ayuk pulang, sudah sore.”
Matahari mulai surut. Bertengger ke barat. Angin mulai membeku meresap ke pori-pori, juga menyapu daun-daun kering yang entah berapa banyak melalui wajahku karena terjatuh dari induknya. Debupun tak bosan hinggap di mata. Tak lama lagi, teriakan anak kecil berlari-lari akan segera menghampiriku. Maka akan kubiarkan suara itu berlalu. Dan lagi-lagi, entah mengapa?
“Tahukah Kamu aku duduk di mana?”
“Untuk apa aku tahu Engkau di mana? Apa untungnya bagiku?”
“Kau selalu begitu?”
“Mengapa denganku?”
“Tidak pernah mau tahu aku?”
“Perlu aku tegaskan lagikah?”
Keningnya menanjak berlekuk-lekuk. Aku menaikkan alis mengiyakan.
“Apa untungnya bagiku?”
“Paling tidak Kamu pedulilah sedikit denganku?”
“Sedikit?” Ia mengurai pingkal sembari meluruskan telunjuk ke wajahku yang seperti terkalahkan. Ia terjungkal. Sesaat bangun lagi. “Dalam bisnis, sedikit dikumpulkan maka jadi bukit.”
Aku tercengang, mengusap kening. “Ya sudah, terserah Kamu saja.” Sejak kapan dia ini mengenal bisnis?
“Ya sudah-sudah,” hiburnya sembari pindah tempat duduk, menepuk bahuku pelan beberapa kali lalu melingkarkan lengan kiri di leherku. Ia tiup wajahku perlahan. “Dari tadi aku liat dirimu di mana. Untuk apa lagi kutanya?”
“Aku hanya bercakap-cakap, paling tidak membuang sepi. Lelah aku di sini, tapi enggan meninggalkannya. Berat rasa hati ini beranjak. Bosan, tapi tak bisa terlepas. Salah, tapi terus kulalui. Hendak aku pergi dari sini seperti yang lainnya, mengejar yang sebetulnya hampa, memburu sesuatu yang tidak jelas sebagai pelampias nafsu ataukah bukan? Selalu seperti itu. Dari waktu ke waktu. Dari hari ke hari. Dan…”
Ia menutup mulutku. Aku terkesiap. Apa gerangan? Apakah ada orang datang? Kuperiksa sekeliling. Tidak ada apa-apa. Ataukah?
Belum lunas pertanyaanku, ia menyela, “Tidak semua yang mereka kejar sia-sia. Tidak semua yang mereka ulangi itu maya belaka. Belum tentu mereka melampiaskan nafsu. Dan belum dijelaskan pula, apakah untuk nafsu mereka ataukah apa? Jangan coba-coba mendahului penciptamu. Janganlah sok tahu kalau mereka begini dan begitu.”
Benar juga yang disebutnya. Mengapa aku jadi angkuh. Merasa tahu dengan kehidupan sekeliling. Tanpa sadar, aku telah melupakan, siapa yang membuatku menjadi seperti ini dan selalu menjaganya?
Memelihara detak jantung setiap saat? Yang tak mampu kuhitung sudah keberapa kali berdetak sejak dilahirkan? Bahkan konon, sejak dari dalam kandungan ibu, katanya sudah mulai bernafas? Tak bisa kubayangkan, bila jantung ini berhenti untuk bekerja?
Memelihara gigi? Alangkah susahnya jika gigi ini terus memanjang layaknya kuku yang sama-sama tulang? Tukang gigi akan kesibukan menerima orderan pemotongan gigi. Atau sibuknya merapikan gigi dengan gurinda. Begitu bersyukurnya, gigi tidak sama kelakuannya dengan kuku. Atau alis berkehendak sama dengan rambut, kumis, dan janggut. Ternyata ada yang memeliharanya sehingga alis tidak memanjang selaksa rambut dan kawanannya.
Memelihara tangan masih bisa mengayun dan kaki yang tetap melangkah? Lidah yang masih kumanfaatkan untuk merasakan masakan?
Tebersit olehku, jika lidah tak mampu lagi melaksanakan tugasnya? Atau geraham yang tak mampu mengunyah? Hidung yang enggan membedakan bau? Persendian mogok melakukan kehendak? Telinga berhenti mencerna perkataan? Kulit telapak tangan jadi tawar? Atau? Atau yang lain-lain. Tak terjewantahkan. Habis seluruh kertas di permukaan bumi ini dari mulai diciptakan hingga dihancurkan, konon kata orang tua, tidak bisa menulis nikmat ini.
“Hei…”
‘Ho..oh,” aku terkesiap. Benakku terputus. Ia bangkit dan mondar-mandir di pandanganku. Mengeluarkan secarik kertas. Meniup gulungannya. Sekejap berubah menjadi kitab tebal. Kembali duduk di sampingku sembari memangku buku tebal yang baru saja muncul.
“Buku apa itu?” tanyaku penuh teka-teki.
“Lihat?”
“Hanya buku tua yang usang.”
“Hahaha. Bukan.” Ia meniup debu-debu menutupi sampul, “Perhatikan tajam-tajam. Fokus, jangan bercampur pikiran lain.”
Aku mencoba melihat seksama sesuai anjuran. Namun sia-sia. Tak membuahkan hasil.
“Ucapkan sesuatu yang biasa kalian ucapkan tiap memulai pekerjaan.”
Keningku menggerenyit. Bertangga-tangga. Mencoba memecah petunjuk darinya. Oh iya, aku ingat. Kuulangi lagi.
Awalnya samar. Menghilang. Buram seperti dalam air. Tak lama terlihat tulisan di sana. Agenda perbuatan baik dan…ya tidak salah. Itu namaku. Kuulangi sekali lagi. Ia membuka halaman pertama. Benar. Di halaman pertama sesuai biodataku. Tanggal kelahiran sesuai cerita ayah dan ibu. Persis pada jam yang sama.
Kutatap batu nisan yang melingkupi sebuah gundukan, tempat menyalurkan hobi akhir-akhir ini. Kejengahan hidup dengan penuh jelaga yang hanya dicegah melalui batin telah mengikatkan diri pada sepi. Mencoba merenungi dan mentapi hari esok. Di alam lain di bawah timbunan di mana telapak kaki tak pernah lepas bersama. Ketika kepemilikan ditinggalkan disertai melodi ratapan pengiring kepergian. Tak pelak harta, tahta, dan wanita terbingkai dalam album kehidupan duniawi hanya menjadi pemberat di hari abadi. Kala yang tidak mengenal manipulasi ini-itu. Hadiah diberikan kepada yang berhak dan hukuman takkan terelakkan. Setimpal dengan perbuatan. Tunai diberikan tanpa penundaan.
“Bukalah!” ia menyodorkan buku besar agendaku yang sebetulnya tidak semua tercatat di ingatan. “Semua kebaikanmu ada di situ.”
Kubuka lembar-lembar itu perlahan. Menuju akhir dengan penuh harap bahwa amal baikku lebih banyak ketimbang kejahatan. Namun, sampai halaman terakhir tak kujumpai satupun.
Dalam agenda itu, aku tidak membaca, tetapi laksana mengulas sekian tahun yang tertinggal. Layar lebar kehidupan berputar tak ubah menonton film biografi. Berdiri bersama teman-teman saat sholat berjama’ah. Berjalan bersama pergi ke pengajian. Berjuang mengundang para tetangga untuk pengajian dan dan mendirikan sholat berjamaah di masjid. Tak luput peristiwa saat aku membantu seseorang yang tersesat pulang ke kampung halamannya dengan melaporkannya ke polisi. Dan sebagainya. Beberapa kali aku menahan tawa, melihat peristiwa-peristiwa lucu di sekitarku. Iapun terasa ikut serta dengan bahagiaku.
“Lihat itu!” aku menunjuk ke diriku yang tergesa-gesa dari masjid ke rumah teman untuk menumpang buang hajat, di suatu subuh, namun belum sempat ditunaikan, si Hajat telah menyapa sebelum sampai tempatnya. Ia mengulum tawa. Aku terbahak-bahak.
“Aku heran, mengapa tidak ada di sini!”
“Apa?”
“Apakah aku tidak memiliki kesalahan? Di agenda ini hanya amal baikku saja yang ada. Mana amal burukku? Aku tidak yakin masuk ke surga…”
“Juga tidak ingin ke neraka kan?” potongnya. Seperti lirik lagu. Aku mengangguk. ”Sebentar.” ia mengedipkan matanya ke sebelahku, seolah ada sesuatu yang diberi aba-aba.
Sesosok tubuh mendadak muncul dari sebelah kiriku. Tahulah aku siapa dia, teman malaikat Rokib. Tersenyum lebar. Langsung menyalami. Tanpa melepas sopan bersalaman. Lalu menjulurkan sebuah kitab sama persis dengan yang tadi. Batinkuterguncang, hati ini merasakan bahwa yang ini lebih berat ketimbang sebelumnya. Karena lututku nyaris tertekuk lebih rendah saat meletakkan di pangkuan.
Ia yang baru muncul mendehem keras. Membuyarkan lamunanku tentang pembalasan atas diriku.
“Mengapa?” singkat suara itu mencelat, “Kau ragu melihatnya?”
Sekelumit enggan mulai meluap. Kebahagiaan saat lalu hengkang. Berdiri kian berat. Sekujur tubuh kaku. Seisi langit mulai menindih, perlahan dan pasti. Awan kelam bergelanyutan. Memenuhi mata. Gulita. Angin beliung berdatangan. Bahu membahu. Menyusup ke rongga pernafasan. Sesak. Dadaku penuh. Membuncah. Otot mengeras. Darah mengalir deras. Panas. Akan meledak. Dan…sebuah erangan seolah letusan keras mencelat dari mulut ini. Bagaikan gunung meletus mengeluarkan api. Aku menghempas kedua buku itu dari pangkuan. Kupandang mereka berdua dengan mata berapi-api silih berganti. Alis menanjak membentuk tikungan tajam. Menghujam ke sana kemari. Belingsatan. Kupungut kedua catatan yang tadi terhempas dengan langkah dan gigi gemeletukan. Kususun di depan mereka. Merogoh kantung. Seutas api muncul dengan satu putaran ibu jari. Perlahan kuarahkan api itu mendekati kedua buku. Mata tajam ini masih mencacah pembawa dua benda yang tiba-tiba sangat kubenci. Bunyi benda terbakar sayup dan tak lama kemudian mulai menderas masuk ke telinga. Kubakar dua buku itu. Buku yang lama dijaga oleh mereka. Puas, dengan pandangan terus menghujani mereka. Jelas. Jelas sekali mereka ingin berlari dan menyelamatkan benda kesayangannya. Segera meninggalkanku yang tak mampu kotrol diri. Namun mereka tak kuasa melepas luncuran jeruji yang dilepaskan oleh mataku. Semakin mereka bergerak, kian banyak jeruji ini berhamburan. Jangankan berlari, memadamkan api yang terus melumat benda kesayangannya pun tak bisa.
“Ini!” geramku sembari menunjuk benda yang mulai hangus menjadi abu.”Ini kulakukan atas kesalahan kalian menyerahkannya padaku wahai Rokib Atid! Maka, dengarkan aku baik-baik. Pasang telinga kalian lebar-lebar. Aku akan mulai dari baru lagi! Kalian buatlah catatan baru!”
Bakmoy, Merigi, Kepahiang, Bengkulu. Januari 2014
Cerpen-cerpen:
Semesta Sengsara
Ia Datang Bersama Cahaya
Operasi Nurani
Membakar Catatan Rokib dan Atid
Artikel:
Keganjilan Mengenai Peserta Sertifikasi Guru 2014
Puisi-puisi:
Mata yang Selalu Menyapa
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI