Dari perhitungan sederhana di atas, kepala daerah yang korupsi 30% dari total jumlah kepala daerah di Indonesia. Sedangkan untuk anggota DPRD yang korupsi 17,85% dari total anggota DPRD di Indonesia. Korupsi kepala daerah hasil pilkada langsung jauh lebih besar prosentasenya dibandingkan korupsi anggota DPRD. Ini fakta yang belum diungkap dalam tulisan ‘DPRD dan Korupsi’.
Uniknya lagi, Oce Madril menyatakan kegagalan pilkada via DPRD karena menyebabkan korupsi berjamaah anggota DPRD sehingga solusinya adalah pilkada langsung. Padahal kajian saya terhadap UU No 32 tahun 2004 yang menjadi landasan pilkada langsung tidak menemukan alasan korupsi DPRD sebagai pertimbangan. Yang tercantum sebagai pertimbangan dalam Undang-Undang tersebut adalah penyelenggaraan pemerintah daerah berdasar UUD 1945 menurut asas otonomi dan pembantuan, efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah daerah, dan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang sudah tidak sesuai keadaan.
Bahkan, kalaupun logika korupsi DPRD yang sebabkan diubah jadi pilkada langsung itu benar, maka logika yang sama pula harusnya digunakan untuk membatalkan pilkada langsung karena ternyata 30% kepala daerah hasil pilkada langsung terjerat korupsi.
Tentu saja siapapun yang melakukan, berapapun prosentasenya dan berapapun besarnya, korupsi tetaplah korupsi yang harus dibasmi. Maka dibandingkan terjebak dalam konflik pilkada langsung VS pilkada DPRD, lebih baik mencari solusi sistem pemilhan yang mengurangi biaya mahal seperti yang sekarang kita jalani. Sistem itulah yang akan mengurangi potensi korupsi kepala daerah dan anggota DPRD.
Pemilu Serentak
Tidak ada metode dan sistem pemilihan kepala daerah yang paling benar. Yang mungkin adalah metode dan sistem pemilihan kepala daerah yang paling tepat untuk tempat tertentu dan waktu tertentu. Kita perlu bersama mendiskusikan metode dan sistem yang paling tepat dengan kekinian dan kedisinian. Metode dan sistem yang berbiaya murah, efektif, efisien dan mampu mengurangi potensi korupsi di negeri ini.
Di antara wacana yang mengemuka untuk mengurangi biaya mahal pilkada langsung adalah pilkada serentak se-Indonesia. Usulan ini menarik, hanya saja jika hanya pilkada serentak, secara biaya dari APBD dan APBN relatif sama dengan yang terjadi selama ini. Hanya saja pengeluarannya sekaligus bersamaan.
Saya mengusulkan pemilu serentak. Pemilihan Presiden, Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati/wakil bupati dan pemilihan walikota / wakil walikota secara serentak bersamaan dengan pemilihan Anggota DPR, pemilihan anggota DPD, pemilihan anggota DPRD tingkat I dan pemilihan anggota DPRD tingkat II.
Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan tahun 2019 pemilihan presiden bersamaan dengan pemilihan legislatif. Keputusan itu mengamanahkan pemilihan eksekutif dan legislatif bersamaan. Mengapa tidak dilaksanakan serentak dengan pemilihan kepala daerah?
Pemilu serentak eksekutif dan legislatif tingkat pusat, provinsi dan kota/kabupaten memiliki banyak keuntungan, di antaranya :
Pertama, Biaya APBN dan APBD akan lebih hemat. Kebutuhan logistik pemilu, pembiayaan penyelenggara pemilu, dan lain sebagainya hanya sekali dalam lima tahun.