Diakui atau tidak, kehadiran Partai Golkar dalam barisan Kabinet Indonesia Maju pasca-Munaslub Partai Golkar 2016 di Bali sanggup memberikan perbedaan (diferensiasi) politik level tertinggi. Bukan karena seorang Airlangga Hartarto yang menjadi Menteri Perindustrian, setelah Setya Novanto terpilih. Tetapi terletak kepada ketangguhan individu per individu dalam tubuh Partai Golkar, baik yang berada di legislatif atau eksekutif, termasuk barisan kepala dan wakil kepala daerah. Gerak kolektiviteit yang dilakukan seluruh anggota, kader, pengurus, fungsionaris, hingga simpatisan Partai Golkar. Â
Joko Widodo pelan-pelan mendapatkan ruang yang nyaman, bukan bagi berteduhnya seorang kader elite Banteng Merah -- waktu itu -- guna memamah rerumputan hijau dan air yang jernih, namun justru bagi tugas dan fungsi yang dijalankan dalam menjalankan pemerintahan. Partai Golkar tidak menempatkan diri sebagai sais atau kusir pedati atau bendi bagi Jokowi, namun menyalin rupa menjadi kapal dan barisan mualim yang memberi keseimbangan perjalanan bagi Seorang Nahkoda. Atau portir bagi seorang pendaki dan drone penembak rudal.
PresidenMomentum simbolik yang menjadi gerak pengubah itu terjadi pada bulan Ramadhan 2018. Tepatnya tanggal 23 Mei 2018, enam tahun lalu. Bertempat di kantor DPD I Partai Golkar DKI Jakarta, seluruh petinggi, kader, dan pengurus Partai Golkar menggunakan SERAGAM PUTIH sebagai simbol 'KERJA UNTUK Indonesia' yang jadi slogan penting Presiden Joko Widodo.Â
Sementara Presiden Joko Widodo menggunakan satu jaket berwarna kuning yang membalut baju putihnya. Jelas sudah, Partai Golkar memberikan ruang yang lapang kepada Joko Widodo.Â
Yang terjadi sebelum itu, Presiden Joko Widodo adalah 'petugas partai'.
Tak berhenti hingga itu, Partai Golkar tak memaksakan kader-kader utama dalam proses pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 dan 2024. Baik sebagai calon presiden, atau sebagai calon wakil presiden. Dalam pilpres 2019, Partai Golkar kembali mengusung Joko Widodo yang merupakan kader PDI Perjuangan sebagai Calon Presiden. KH Ma'ruf Amin didapuk menjadi Calon Wakil Presiden.
Dalam Pilpres 2024, Partai Golkar mengusung Prabowo Subianto, Ketua Umum DPP Partai Gerindra, dan Gibran Rakabuming Raka, kader PDI Perjuangan -- waktu itu -- yang belum satu periode menjadi Walikota Surakarta. Gibran dipilih, lebih karena posisi sebagai putra (mahkota) Presiden Jokowi, bukan kualifikasi yang lain. Gibran dinilai lebih mampu meraup suara dari pemilih Jokowi, terutama dengan raihan tingkat kepuasan yang sangat tinggi kepada Presiden Jokowi, bahkan dibandingkan dengan lembaga kepresidenan atau perdana menteri di negara-negara demokrasi Barat.
Di Asia, apalagi Asia Tenggara, tingkat kepuasan masyarakat yang tinggi terhadap pejabat yang sedang berkuasa bukan sesuatu yang asing. Lee Kuan Yew (Singapura) dan Mahathir Mohamad (Malaysia) adalah contoh sosok yang selalu mendapatkan tingkat kepuasan tinggi, pada periode apapun mereka menjabat lagi.Â
Rodrigo Duterte (Filipina) bahkan didukung untuk mengubah konstitusi, agar bisa dipilih lagi untuk tujuh tahun periode kedua. Berbeda dengan Indonesia yang melibatkan Mahkamah Konstitusi guna mengubah undang-undang pilpres, Duterte tak melanggar pagar api. Dr M, julukan Mahathir Mohamad, hingga kini sangat sehat menjalankan posisi sebagai sosok yang kalah di distrik pemilihannya, namun sangat enjoy menjalankan peran sebagai critical thinker. Â
Kini?
Mohammad Bobby Afif Nasution menjadi perbincangan, setelah menerima Nomor Pokok Anggota Partai Gerindra. Dengan status itu, Bobby dipastikan bakal diusung Partai Gerindra menjadi Calon Gubernur Sumatera Utara. Bahwa Bobby sudah disebut sebagai bagian dari 'Keluarga Besar Partai Golkar' tentu bukan sesuatu yang melanggar pakem. Sebagai Keluarga Besar, Bobby tentu belum menjadi simpatisan, anggota, kader, fungsionaris, pengurus pleno, pengurus harian, dan segala bentuk jenjang 'karir' kaderisasi di tubuh Partai Golkar.
Berbeda dengan Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anggota dan kader PDI Perjuangan, sejauh ini Bobby belum bergabung menjadi anggota partai politik manapun. Bobby juga sudah menjalankan tugas sebagai Walikota Medan selama satu periode. Ketika Partai Gerindra dengan sigap menjadikan Bobby sebagai anggota, bukan berarti Bobby mengabaikan Partai Golkar. Sebab Musa Rajekshah atau Ijeck yang menjabat Ketua DPD I Partai Golkar Provinsi Sumut sudah menjabat sebagai Wakil Gubernur Sumut selama satu periode. Ijeck juga mendapatkan surat tugas menuju pencalonan sebagai Gubernur Sumut dari Partai Golkar.
Bobby tentu tak ingin terlihat bersaing dengan kader Partai Golkar juga, sebagaimana terjadi di Daerah Khusus Jakarta, seandainya jadi menerima Nomor Pokok Anggota Partai Golkar. Dari sisi Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, dan Tidak Tercela (PDLT) yang menjadi tolok ukur utama dalam kaderisasi dan keanggotaan di tubuh Partai Golkar, tentu Bobby bakal jauh lebih rendah nilainya, dibanding Ijeck. Jadi masuk akan kalau Bobby lebih memilih Partai Gerindra ketimbang Partai Golkar dalam pilihan keanggotaan partai politik itu. Ijeck, kini sendirian guna diusung Partai Golkar.
Namun, politik adalah kerja detail. Andaipun Bobby dan Ijeck dipasangkan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Sumut yang diusung Partai Gerindra, Partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional, sudah tentu keputusan itu diartikan sebagai pengabaian atas kinerja Ijeck. Hanya saja, penilaian yang bersifat individualistis itu semakin sulit dijadikan patokan. Sebab Partai Golkar adalah satu kesatuan organisasi yang diikat dengan Ikrar Panca Bhakti. Eksistensi Ijeck tidak bakal bisa dilepaskan dengan eksistensi Partai Golkar secara keseluruhan, tidak hanya sebatas keberadaan Partai Golkar di Sumut.
Taruhlah, benar bahwa Bobby - Ijeck maju di Sumatera Utara, berarti Partai Golkar dapat poin lebih di provinsi lain yang menjalankan kerjasama atau koalisi ketiga partai ini. Â Saya membayangkan, Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional bakal memberikan suara bulat agar kader Partai Golkar, sebut saja Ahmed Zaki Iskandar, maju sebagai Calon Gubernur Daerah Khusus Jakarta. Dengan menjadikan kader Partai Golkar pada posisi Calon Gubernur, kian terlihat betapa eksistensi personal semakin dilekatkan dengan eksistensi organisasi secara keseluruhan.
Siapa yang ditempatkan sebagai Calon Wakil Gubernur, bagi saya justru lebih baik berasal dari kalangan non partai koalisi. Soalnya, sesuai Undang-Undang Nomor 2/2024 tentang Daerah Khusus Jakarta, Presiden RI menunjuk Ketua Tim Pembangunan Jakarta. Tugas-tugas utamanya adalah menjalankan Proyek Strategis Nasional yang sudah masuk dalam APBN.
Belakangan, nama Gibran Rakabuming Raka menjadi Ketua Tim Pembangunan Daerah Khusus Jakarta yang ditunjuk Presiden Joko Widodo. Jika saja setelah Presiden Terpilih dilantik, Surat Keputusan Presiden Joko Widodo itu hanya berganti dengan nama Presiden Prabowo Subianto, kehadiran Gibran Rakabuming Raka masih tetap proporsional. Gibran tidak lagi sekadar pribadi dalam menjalankan tugas, namun juga dalam posisi sebagai Wakil Presiden RI Terpilih. Ketika Wakil Gubernur Terpilih berasal dari partai politik, sebagaimana Gubernur Terpilih -- andai koalisi ini menang -- kesan yang muncul di masyarakat, betapa partai politik sedang berebut proyek pemerintah.
Atau taruhlah Daerah Khusus Jakarta 'gagal' ditukar-guling dengan Sumatera Utara, bukankah masih ada Banten, Jawa Barat, dan lain-lain?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H