Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosok Artikel Utama

Prabowo, Berdebatlah seperti Hadapi Gie!

14 Desember 2023   05:55 Diperbarui: 15 Desember 2023   07:15 2939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis & Sulistio ngawal Sri Bintang Pamungkas, 'Simposium Nasional Angkatan Muda 1990an: Menjawab Tantangan Abad 21', Senat Mhs UI, 1994 (DokPri)

‘Bagi saya, Prabowo adalah seorang pemuda (atau kanak-kanak) yang kehilangan horison romantiknya. Ia cepat menangkap persoalan-persoalan dengan cerdas, tapi naif. Mungkin, kalau ia berdiam 2-3 tahun dalam dunia nyata, ia akan berubah’ (Soe Hok Gie, Catatan Harian Seorang Demonstran, 25 Mei 1969).

Prabowo Subianto yang 'dinilai' Gie itu berusia 18 tahun. Masa akhir remaja. Masa awal pemuda. Prabowo juga baru pulang pada usia 16 tahun, dari Swiss, salah satu negara tempat keluarganya berpindah-pindah setelah Soemitro Djojohadikusumo terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). 

Tidak sembarangan, Soemitro termasuk sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri. Muhammad Sjafii, pendiri INS Kayutanam yang terkenal dengan model boarding school dengan lulusan hebat dengan kurikulum antikolonial yang tangguh, didapuk menjadi Menteri Pendidikan,Pengajaran, Kebudayaan (PPK) dan Kesehatan.

Gie sudah berusia 27 tahun. Sekalipun senior, aktivis, dan sekaligus pengajar, Gie tidak keberatan dengan kehadiran Prabowo yang muncul jadi sosok leader Peace Corps (dalam bahasa penulis biografi Gie, John Maxwell) yang mengajak sejumlah sarjana untuk menjadi sukarelawan pembangunan. Nama program itupun terdengar mirip, yakni Pioneers Corps.

Program Peace Corps ini diminati di Amerika Serikat. Bill Clinton, misalnya, pernah berjumpa Presiden John F Kennedy tahun 1963 dalam program Peace Corps ini. Program ini juga dipakai sebelum Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Jaya. 

Pikiran teknokratis ini memang menjadi ciri dari Partai Sosialis Indonesia, selain tentu berseteru dengan kelompok nasionalis dan komunis dalam apa yang disebut sebagai Orde Lama. Peace Corps lahir dalam transisi menuju Orde Baru.

Gie tak lama menjadi bagian dari Pioneer Corps itu. Ia keluar, akibat tak menemukan konsepsi yang jelas dari organisasi yang dia anggap seperti papan catur itu. Walau bersahabat dengan Soedjatmoko yang menjadi Duta Besar di Amerika Serikat, Gie seperti tak banyak belajar organisasi sejenis di Amerika Serikat. 

Gie memang 'manusia di persimpangan jalan', baik persimpangan sejarah, perimpangan ideologi, hingga persimpangan rezim. Gie terlalu Indonesianis. Ia bersekutu dengan hutan, angin, dan langit, ketika mendaki gunung demi gunung. Prabowo, juga tak ingin menjelaskan lebih jauh.

Di Gunung Semeru, Gie meninggal dunia tanggal 16 Desember 1969. Walau tulisan-tulisan Gie menyerang 'kelompok dansa-dansi' yang suka ke 'salon' yang sempat ia ikuti mulai hingga pertengahan tahun 1969, 

Gie tetap bersahabat dengan Prabowo. Kelompok Teknokratik itu tentu berinduk kepada Soemitro, ayah Prabowo. Belakangan, buku kecil Soemitro yang saya punya, menjelaskan dengan baik pikiran-pikirannya terkait ekonomi pembangunan dan pembangunan ekonomi, beserta kritikan terhadap penggunaan anggaran pembangunan yang bocor hingga 30%.

Dan, sepatu yang dipakai Gie ketika mendaki Semeru dan meninggal, dipinjam dari Prabowo. Gie tak melihat lagi perkembangan Prabowo yang juga meninggalkan Pioneer Corps. 

Kelompok ini pudar, setelah Prabowo memilih masuk pendidikan Akademi Militer. Dalam dunia militer, tour of duty seperti ini terjadi di lingkup para sarjana yang langsung jadi perwira, terutama kedokteran, tanpa perlu menempuh pendidikan militer murni selama beberapa tahun. Sejarawan? 

Tak pernah ditawarkan guna menjadi perwira militer seperti dokter, sekalipun tentara kolonial Belanda sangat terkenal dengan catatan harian mereka yang akurat.

&&&

'Mungkin, kalau ia berdiam 2-3 tahun dalam dunia nyata, ia akan berubah' yang dimaksud Gie, terkait waktu kepulangan Prabowo yang 'baru' 2 tahun dari Swiss. Atau bisa jadi, lebih dalam lagi, nalar psikologis yang dijalani Prabowo, yakni berada di luar negeri, kebanyakan di 'Negara Atas Langit', selama menjadi pelarian. Pendidikan menengah Prabowo ditempuh di tiga kota dan negara berbeda: Kuala Lumpur (Malaysia), Zurich (Swiss), dan London (Inggris). Tak ada waktu menjadi romantik.  

Kelompok PSI dikenal sebagai pemikir sejak revolusi kemerdekaan. Kemampuan Prabowo menjadi recruiter sejumlah sarjana dan akademisi guna bergabung ke dalam Pioneer Corps, terbukti dengan kehadiran Gie. 

Walau, Gie sudah 'diasah' sebagai 'pemikir' sejak sejak sekolah menengah pertama, di Kebon Jeruk, Tamansari, Jakarta Kota. Hubungan Gie dengan Soedjatmoko dan Syahrir (Ciil), misalnya, sudah terbangun lama. Begitu juga dengan Kartini, adik Luhut Binsar Panjaitan, istri dari Uda Ciil.

Tokoh-tokoh yang terlibat dalam PRRI atau terkait dengan itu, kemudian ditangkap, ditahan di Penjara Glodok, tidak jauh dari rumah keluarga Gie. Buya HAMKA, Mochtar Lubis, Mohammad Natsir, hingga pemusik 'Ngak Ngik Ngok' Koes Plus, ditahan di penjara yang sudah jadi pertokoan Glodok Plaza itu. 

Penjara Glodok dikenal sebagai penjara paling manusiawi dalam era Presiden Sukarno. Dikelilingi pusat perdagangan, hingga Pecinan Town, sejak era Belanda dan Jepang, hingga Sukarno,  membuat penghuni Penjara Glodok mendapatkan 'asupan' gizi yang baik, termasuk kebutuhan (utama) akan koran sebagai informasi.

Baik Gie, maupun Prabowo, sejak remaja, sudah terlatih dalam berpikir. Gie, tentu lebih mampu 'berjarak' dengan situasi. Peristiwa, hadir dalam bacaan melimpah. 

Prabowo, tentu terbatas dalam mengakses koran-koran yang terbit di Indonesia, selama pelarian. Sumber informasi, apalagi kalau jejaring diplomat, pun pelarian politik lain. 

Informasi yang hadir, sudah bertambah dengan 'selimut' persepsi, politik, juga ideologi. Pilihan yang tersedia, bukan untuk 'berjarak', tetapi sebaliknya, 'terlibat'. Informasi sudah menjadi bagian dari propaganda.

'Ia cepat menangkap persoalan-persoalan dengan cerdas,...' adalah penilaian yang objektif dari Gie terhadap Prabowo. '...tapi naif' juga objektif. Naif yang dimaksud Gie, tentu cara Prabowo menggunakan informasi (persoalan-persoalan) yang ditangkap guna kebutuhan aksi. Developmentalisme yang dibawa Prabowo sudah menjadi ideologi di negara-negara atas angin, usai Perang Dunia II yang hancur-hancuran.

Sementara, pendalaman (konsepsi) atas metode developmentalisme yang dipakai, sudah tentu menjadi kebutuhan para sarjana dan akademisi kampus seperti Gie. 

Bagi Prabowo, jauh lebih penting mengumpulkan sejumlah kaum cendekiawan dengan beragam latar ilmu pengetahuan, ketimbang ia sendiri yang mendalami persoalan demi persoalan yang terhidang itu.

Ketika Gie menyerang 'kelompok Salon' di sekeliling Soemitro, Prabowo lebih memandang sebagai kultur akademis yang dimiliki Universitas Indonesia. 

Bukankah lebih banyak lagi 'ulah' Gie dalam memberlakukan kawan-kawannya, terutama dari Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) UI yang masuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Gotong Rotong (DPR-GR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) kala itu? 

Gie mengirimkan lipstik (guna pemulas bibir di hadapan penguasa) dan cotton but (korek kuping, guna tuli terhadap amanat penderitaan rakyat) kepada kawan-kawannya. Soemitro, bagi Prabowo, tak lebih dari seorang akademisi, seorang staf pengajar, di Fakultas Ekonomi UI, sumber recruitment utama kelompok teknokratik Orde Baru.

&&&

Tanggal 29 Mei 1969, Gie keluyuran sejak pagi ke rumah Atika bersama Prabowo. Prabowo, ngobrol dengan Rachma. Gie membuat rencana pendakian Gunung Ciremai yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka sekarang. Gunung yang menjadi area gerilya Jaka Sembung dalam menghadapi tuan-tuan tanah pemilik perkebunan kolonial.

Banyak nama dalam 'Catatan Harian Seorang Demonstran' bukan nama asli, namun samaran. Sebagai junior Soe Hok Gie di Jurusan Ilmu Sejarah UI, saya banyak sekali bertanya kepada siapapun yang ditulis namanya oleh Gie. 

Sumber utama 'informan' saya adalah dosen-dosen di Jurusan Ilmu Sejarah UI yang merupakan teman-teman Gie. Tak mudah bagi Gie untuk berkawan, membuat rencana pendakian gunung, apalagi meminjam sepatu, kalau bukan kepada Sirkel-nya sendiri, istilah Gen Z sekarang. Dengan Soe Hok Djin, abangnya sendiri, 

Gie sering diam-diam-an, apalagi dengan pihak lain. Gie tak mengubah nama Tionghoa-nya, sebaliknya dengan Djin yang dikenal dengan Arief Budiman. 

Prabowo adalah sosok remaja yang tentu diberlakukan egaliter, sebagai mentalitas yang dimiliki Gie. Prabowo masuk dalam 'zona nyaman'-nya, semula guna ikut dalam model developmentalisme yang ternyata berbau Barat itu, lalu kemudian berubah menjadi 'zona nyaman' guna mengeritik rezim. 

Hingga tahun 1990an, ketika saya jadi mahasiswa UI, kultur egaliter seperti itu masih terjaga setelah 'inisiasi' masuk organisasi mahasiswa, dari tingkat jurusan, fakultas, hingga universitas. 

Dalam aksi-aksi Keluarga Besar (KB) UI yang digelar tahun 1998, kendaraan-kendaraan seperti Jeep yang kami pakai, disopiri oleh anak-anak perwira (tinggi) militer. Logistik? Datang dari anak-anak alumni UI yang bekerja di lingkaran kekuasaan, baik pemerintahan, milter ataupun bisnis.

Gambaran situasi diskusi atau debat atau candaan antara Prabowo dengan Gie, hanya bisa digali lewat sumber-sumber tertulis, atau lewat wawancara mendalam atas sejumlah orang. Termasuk dengan 'Atika' dan Rachma' yang ditulis Gie. 

Nama asli mereka, bisa dilacak dengan berbagai cara, termasuk laporan kepada pihak yang terkait dengan zona pendakian Gunung Ciremai. Pun kesaksian lain sebelum mendaki Gunung Semeru. Tentu, wawancara mendalam ini dilakukan oleh sejarawan kritis.

Jika Prabowo ingat bagaimana berdebat dengan Gie, saya kira dengan cara itu pula Prabowo menghadapi Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Anies lahir tanggal 7 Mei 1969, bulan yang dipenuhi dengan keakraban Gie dan Prabowo. Jarak usia Prabowo dengan Anies, 18 tahun, dua kali lipat dibandingkan dengan jarak usia Gie dengan Prabowo. 

Tapi, ingat juga, Anies juga seorang pemikir kritis sejak sekolah menengah pertama. Dan begitu pula dalam menghadapi Ganjar, kelahiran 28 Oktober 1968. Usia Ganjar dan Anies, tak berbeda jauh.

Ketika Prabowo berlaku seperti Gie yang memperlakukan Prabowo, dalam hubungan singkat mereka, dalam berdebat dan bersahabat dengan Ganjar-Anies, satu suasana debat yang baru akan tercipta. Kalau mau meniru cara Gie berdebat atau berorasi, tentu Prabowo lebih banyak lagi menggali ke Jurusan Ilmu Sejarah UI, khususnya, dan UI, umumnya. 

Kampus yang dipenuhi para senior yang sangat bangga melihat junior-junior mereka, bahkan seusia anak atau cucu mereka, langsung mengarahkan telunjuk tangan kiri ke arah senior-senior mereka yang berpangkat. Mau sipil, apalagi militer!

Kami tunggu di Debat Kedua dan Debat Ketiga, Pak Prabowo!

Markas Sang Gerilyawan Nusantara, Griya Kemayoran, Kamis, 14 Desember 2023, Dua Hari Jelang 54 Tahun Kematian Soe Hok Gie di Puncak Gunung Semeru. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun