Ketika Gie menyerang 'kelompok Salon' di sekeliling Soemitro, Prabowo lebih memandang sebagai kultur akademis yang dimiliki Universitas Indonesia.Â
Bukankah lebih banyak lagi 'ulah' Gie dalam memberlakukan kawan-kawannya, terutama dari Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) UI yang masuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Gotong Rotong (DPR-GR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) kala itu?Â
Gie mengirimkan lipstik (guna pemulas bibir di hadapan penguasa) dan cotton but (korek kuping, guna tuli terhadap amanat penderitaan rakyat) kepada kawan-kawannya. Soemitro, bagi Prabowo, tak lebih dari seorang akademisi, seorang staf pengajar, di Fakultas Ekonomi UI, sumber recruitment utama kelompok teknokratik Orde Baru.
&&&
Tanggal 29 Mei 1969, Gie keluyuran sejak pagi ke rumah Atika bersama Prabowo. Prabowo, ngobrol dengan Rachma. Gie membuat rencana pendakian Gunung Ciremai yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka sekarang. Gunung yang menjadi area gerilya Jaka Sembung dalam menghadapi tuan-tuan tanah pemilik perkebunan kolonial.
Banyak nama dalam 'Catatan Harian Seorang Demonstran' bukan nama asli, namun samaran. Sebagai junior Soe Hok Gie di Jurusan Ilmu Sejarah UI, saya banyak sekali bertanya kepada siapapun yang ditulis namanya oleh Gie.Â
Sumber utama 'informan' saya adalah dosen-dosen di Jurusan Ilmu Sejarah UI yang merupakan teman-teman Gie. Tak mudah bagi Gie untuk berkawan, membuat rencana pendakian gunung, apalagi meminjam sepatu, kalau bukan kepada Sirkel-nya sendiri, istilah Gen Z sekarang. Dengan Soe Hok Djin, abangnya sendiri,Â
Gie sering diam-diam-an, apalagi dengan pihak lain. Gie tak mengubah nama Tionghoa-nya, sebaliknya dengan Djin yang dikenal dengan Arief Budiman.Â
Prabowo adalah sosok remaja yang tentu diberlakukan egaliter, sebagai mentalitas yang dimiliki Gie. Prabowo masuk dalam 'zona nyaman'-nya, semula guna ikut dalam model developmentalisme yang ternyata berbau Barat itu, lalu kemudian berubah menjadi 'zona nyaman' guna mengeritik rezim.Â
Hingga tahun 1990an, ketika saya jadi mahasiswa UI, kultur egaliter seperti itu masih terjaga setelah 'inisiasi' masuk organisasi mahasiswa, dari tingkat jurusan, fakultas, hingga universitas.Â
Dalam aksi-aksi Keluarga Besar (KB) UI yang digelar tahun 1998, kendaraan-kendaraan seperti Jeep yang kami pakai, disopiri oleh anak-anak perwira (tinggi) militer. Logistik? Datang dari anak-anak alumni UI yang bekerja di lingkaran kekuasaan, baik pemerintahan, milter ataupun bisnis.