Pipa-pipa kecil berwarna putih itu terletak berjejer sesuai alur jalan. Tapi ada juga yang disangga sembarangan, pakai kayu lapuk. Jalan semakin mendaki. Raungan motor yang membawaku seperti hendak berteriak.
Pada sebuah pertigaan, kami berbelok. Lalu berhenti di sebuah rumah, lebih tepatnya pondok. Tukang ojek turun, memanggil-manggil.
"Mak Itam! Mak Itam! Ini ada tamu dari jauh!"
Seorang lelaki, berwajah keras, keluar dari pondok itu. Tanpa baju. Dia mendongakkan kepala.
"Tunggu sebentar. Silakan duduk," katanya, sembari menunjuk bale bambu di depan pondok itu.
Dia masuk lagi. Tidak lama, dia muncul dengan baju lusuh bergambar seorang calon kepala daerah.
Aku memperhatikan pondok itu. Juga pemandangan di atas bukit dan di bawah lokasi rumah. Ada pisang yang baru diambil dari tandannya, tergeletak di pintu masuk. Ada juga karung berisi mentimun. Buah pinang yang sudah dibelah terjemur di halaman. Ada juga biji-biji coklat.
"Perkenalkan, Pak, nama saya Lindan. Saya mahasiswa asal Jakarta," kataku, sembari mengulurkan tangan.
Mak Itam menjabat tanganku, erat. Tangan petani, tentu. Berbeda dengan tanganku yang semakin jarang menggunakan pulpen.
Aku menjelaskan maksudku, mewawancarainya. Mak Itam ditunjuk masyarakat sebagai tokoh yang tepat untuk kuwawancarai. Aku ingin tahu bagaimana strategi perang gerilya yang diterapkan oleh pasukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Kalau catatan-catatan resmi aku sudah punya. Tapi sejarah bukan hanya sekadar catatan, tetapi juga ingatan dan perasaan.
"Saya hanya orang biasa, waktu itu masih sangat muda," ujar Mak Itam.
Dari informasi orang-orang, ia pandai bercerita.
***
"Ini bukan perang. Ini seperti berburu babi," teriak Datuk Sinaro, sambil membenahi celana galembongnya. Sudah dua hari Datuak Sinaro menelusuri jalan di Gunuang Tandikat, mencari lokasi persembunyian pasukan Ahmad Hosen. Tidak ketemu.
"Tapi tugas wajib dilaksanakan, Datuak. Minimal untuk disampaikan di dalam rapat nanti," ujar Buyuang Pinu.
"Apa yang mau dilaporkan? Tidak ketemu, ya, tidak ketemu!" timpal Pandeka Sati.
Ketiganya memang ditugaskan pasukan pusat untuk mencari lokasi tempat persembunyian pasukan pemberontak. Mereka sebetulnya keberatan. Namun, di zaman yang bagolak ini, siapa yang berani menolak perintah? Bisa-bisa nyawa melayang atau keluarga kena tendang.
Mereka menyeberangi sungai kecil yang mengalir jernih. Lalu naik ke atas lereng bukit. Malalak nama tempat ini. Perbatasan antara Agam dengan Padang Pariaman. Dua ekor anjing menjadi teman perjalanan.
Sebuah pondok kecil berayap daun rumbia terlihat di antara rimbun pepohonan. Ada asap keluar dari pondok itu. Ketiganya berhenti, saling pandang. Setelah berembug, mereka memutuskan mendekati pondok itu.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikum salam!" terdengar jawaban seorang perempuan tua.
Pintu pondok dibuka. Seorang anak kecil muncul, takut-takut. Usianya sekitar 10 tahun. Tubuhnya hitam. Tak berbaju.
"Buliah numpang duduak, Nak? Sia di rumah?" tanya Buyuang Pinu.
"Duduaklah, Pak. Ado uwai sajo di rumah."
"Nan lain kama?" selidik Pandeka Sati.
"Kami sajo baduo, Pak. Dunsanak ndak ado, lai," sambut anak kecil itu.
Perempuan separo baya keluar. Melirik. Lalu masuk lagi. Tak lama, dia datang membawa tiga buah cangkir dari batok kelapa, serta ceret aluminium yang sudah usang. Singkong rebus juga ada.
Mereka bercakap sebentar. Perempuan itu ternyata etek  dari anak kecil itu. Mereka bikin pondok, setelah seluruh keluarganya hilang satu demi satu. Bapak si anak meninggal kena penyakit paru-paru, ibunya sudah mendahului ketika si anak masih berusia 4 tahun. Sementara suami perempuan itu pergi, tak pulang lagi, ketika perang datang tanpa diundang.
Datuak Sinaro menarik nafas dalam-dalam. Seperti ada ribuan ton batu menghimpit dadanya. Tak ada yang tersisa lagi dari perang ini, kecuali kehilangan demi kehilangan.
"Kami mau menuju daerah Kapalo Hilalang. Kira-kira jalannya kemana?" tanya Datuak Sinaro.
"Taruih sajo ka arah lambah itu, Pak. Ado jalan satapak. Kami sakali sabulan ka sinan, mambao pisang jo sampelo," kata perempuan itu, sambil menunjuk.
"Tigo hari lai kami ka sinan, Pak. Kabanyo banyak ughang bakumpue," tambah si anak hitam.
Ketiga laki-laki itu tersenyum. Mereka menyelesaikan minum dan makan. Datuak Sinaro meninggalkan beberapa lembar uang.
"Apa yang akan kita cari lagi? Semua laki-laki dewasa menyingkir dari rumah. Yang tinggal hanya anak-anak dan kaum perempuan!" rutuk Datuak Sinaro.
Buyuang Pinu dan Pandeka Sati tidak menjawab. Tenggelam dalam salak anjing. Mereka beringsut, hilang di tikungan jalan.
***
Bunyi arit. Kayu-kayu tumbang. Papan. Pedati-pedati. Kerbau. Kuda. Dan senjata.
Serta sejumlah pasukan dari beragam kesatuan. Sebuah tenda peleton berdiri gagah di area yang sulit dijangkau dan disergap. Beragam bahasa bercampur. Ada bahasa Jawa, Batak, Bugis, Bali, sampai Ambon, Minang dan Betawi. Inilah wilayah kecil yang berada di ketinggian yang dipenuhi pasukan pusat.
"Bangunan pasar sudah hampir selesai. Tinggal atap rumbia campur jerami di bagian depannya. Seminggu lagi, pedagang-pedagang bisa masuk ke kawasan ini," terdengar seorang tukang bicara.
"Bakal banyak yang mengutang, nih. Prajurit kan tak punya uang operasional?" sungut seorang pemuda.
Tampaknya dia hafal betul karakter tentara.
"Tak apa-apa, daripada mereka terus menerus mengambil ternak penduduk," bisik seseorang yang lebih tua.
Datuak Sinaro mendengar semua pembicaraan itu. Bukan rahasia lagi, kehadiran tentara dalam jumlah banyak itu merugikan penduduk. Mereka bisa dengan cepat meminta diadakan dapur umum. Kalau tidak sabar, mereka mengambil ayam, kambing, bahkan sapi dan kerbau milik penduduk.
"Ngutang, ya!" Itu kata mereka.
Penduduk tidak bisa melawan, membiarkan saja. Surau-surau yang biasanya penuh makanan di waktu Maulid Nabi, kini hanya ditemani lapek bugih dan kerupuk jariang. Lemang semakin jarang. Apalagi singgang ayam.
Ikan larangan yang dipelihara penduduk selama bertahun-tahun juga tak luput dari sasaran para tentara. Awalnya, seorang tentara menembaki ikan itu. Mati. Lalu ikan itu dibakar dan dimakannya. Keesokan harinya, tiga orang tentara mati, lima belas orang sakit. Komandan pasukan panik. Penduduk dikumpulkan, dirazia, dikirain ada yang menaruh tuba.
Untunglah, seorang Kapten dari Siliwangi paham dengan penjelasan penduduk. Ikan larangan tidak boleh dimakan. Kecuali suluahnya dicabut. Yang bisa mencabut, Tuanku Mudo Panjang dari Sungai Geringging.
Tuanku itu dijemput. Dia membaca doa-doa. Lima belas tentara yang sakit langsung sembuh.
"Silakan tuan-tuan memakan ikan larangan ini, tapi yang sudah lewat batas itu dan batas itu, baik di hilir dan mudiknya," jelas Tuanku Mudo Panjang.
Ia menunjuk daun pelepah kelapa yang berwarna kuning. Ia juga menyibakkan dahan-dahan rumpun kayu pimpiang.
Komandan pasukan meminta penduduk membuat batas dari batu-batu. Tapi di sela batu, dikasih aliran air, biar ada ikan yang ke hilir atau ke mudik. Begitulah. Setiap hari, ada saja tentara yang piket menjaga batas itu, lalu berteriak bila melihat ada ikan yang melewati batas. Hujan lebat di hulu, banjir, mereka nanti dengan harap. Banjir selalu membawa sejumlah ikan melewati batas larangan.
Tapi tidak di hari yang sibuk ini. Sudah lama hujan tak turun. Menanti banjir seperti berharap siang hadir di malam hari. Tak ada yang tahu apa penyebabnya. Kering.
*** Bersambung ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H