Ketika Arteria Dahlan berhadapan dengan Pak Emil dalam acara Mata Najwa minggu lalu, saya marah. Darah saya mendidih. Saya sempat menulis sejumlah cuitan. Saya menggerutu, hampir juga menyumpah. Saya teringat seorang kakek di kampung yang memiliki gasing tengkorak di kamarnya. Ada bau menyan di ruangan itu. Ia juga merapal kalimat tertentu. Bukan kalimat biasa, dalam lengkingan yang hanya terjadi di malam menuju fajar. Hampir saya bertanya kepada tetua tentang rapalan itu.
Saya hubungi Roosdinal Salim, putra Pak Emil, sahabat karib. Di tengah jadwal rapat dan pertemuan dengan orang lain yang ketat, saya terus berpikir. Tahun 2014, kami blusukan bersama Pak Emil ke sejumlah tempat, dalam rangka memenangkan Partai Golkar. Saya dan Pak Emil tidak menjadi calon legislatif. Acara puncak kami helat di area sejuk dekat Bukit Tambun Tulang, Kayu Tanam, milik Siswono Yudhohusodo.
Baru malam hari emosi saya reda. Saya kembali melihat peristiwa itu lebih luas lagi. Saya kaget dengan satu kenyataan, Pak Emil masuk panggung yang sebetulnya adalah milik Generasi Z, atau minimal Generasi X seperti saya. Apa itu? Media sosial. Pak Emil juga masuk acara yang lebih banyak ditujukan kepada Generasi Z. Mata Najwa, baik dalam acara live di televisi ataupun offline, selalu hadirkan mahasiswa. Mahasiswa? Kelompok yang sudah pasti berada dalam batas-batas dan ciri-ciri yang dikategorikan Generasi Z. Apa itu? Generasi yang akrab dengan teknologi informasi. Yang berbicara sambil merunduk.
Pak Emil sudah masuk ke pusaran itu. Ia pengguna twitter. Penolakannya terhadap revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tertulis dalam cuitannya. Bukan hanya soal itu, tetapi pelbagai isu penting lain. Saya sadar: Pak Emil sudah masuk ruang revolusi era kini. Revolusi digital ia jelajahi dengan talenta, pikiran dan sikap yang tak berubah. Revolusi diri di dalam revolusi digital. Jauh sebelum Pak Emil menggunakan twitter, Gunawan Muhammad sudah bermedia sosial. Dua orang yang dibingkai dan membingkai kata "revolusi" sebagai stupa beku. Dua kakek yang tak hendak pensiun dini seperti ayah saya. Mereka sedang turun-naik turbulensi suasana revolusi. Pertukaran pemikiran yang paling dasar. Akar umbi dari seluruh persoalan. Kata-kata yang radikal.
Tak heran, jika Arteria Dahlan langsung naik emosi, manakala Pak Emil baru mulai membuka kata. Arteria tak pernah bersentuhan dengan Pak Emil. Dengan satu-dua pertanyaan, sang revolusioner itu membuar Arteria lepas kendali. Dan itu berimbas kemana-mana, jagat media sosial. Revolusi Pak Emil sudah lama berhenti di Hari Minggu. Revolusi digital khas revolusioner sejati, seolah baru dimulai. Tak lagi mengenal hari...
Jakarta, 14 Oktober 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI