Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Tuah Pemimpin, Tentu Pernah Jadi Buku

5 Desember 2020   23:57 Diperbarui: 6 Desember 2020   02:00 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada buah, kalau tidak ada putik. Tidak ada putik, kalau tidak ada bunga. Tidak ada bunga, kalau tidak ada kumbang atau lebah atau semut sebagai perantara perkawinan. 

Tidak ada pemimpin, jika tidak pernah menjadi anak buah.

Begitu yang terjadi dalam siklus kehidupan.

Dalam menatap pemilihan langsung kepala daerah hari Rabu, 9 Desember 2020 nanti, segala sesuatu tak tumbuh begitu saja. Tak hadir begitu saja. Semuanya berjalan alami. Tentu, terdapat proses yang lain, dalam rangka percepatan. Dikenal dengan hibridisasi. Atau bisa juga bonsaiisasi dalam tradisi Jepang.

Kepemimpinan di ranah eksekutif seyogianya berjalan sesuai dengan apa yang digariskan oleh konstitusi. Hanya saja, konstitusi yang mengalami perubahan pada tatanan undang-undang, tentu membutuhkan eksekutif yang fleksibel dengan manajemen perubahan (change management).

Ketika kepemimpinan eksekutif bergerak terlalu kaku dengan regulasi, inovasi menjadi miskin. Padahal, kehidupan berjalan berdasarkan perubahan demi perubahan. Kemajuan di bidang teknologi menjadi salah satu dasar dari perubahan perilaku kepemimpinan. Teknologi mempermudah hubungan antar manusia. Namun, manusia berada dalam ruang yang tak lagi mudah saling bersua.

Jabat tangan erat, dengusan nafas, mata yang beringas, makin sulit dilihat langsung. Penggambarannya ada. Tetapi tak bisa langsung ditemukan di hadapan muka.

Bagi masyarakat Sumatera Barat, kepemimpinan eksekutif identik dengan birokrat. Atau minimal teknokrat. Mereka yang biasa disebut sebagai "pegawai". Jarang yang diluar itu diberi kesempatan oleh masyarakat. Sebanyak apapun duit yang dimiliki, sosok saudagar kesulitan meraih posisi kepemimpinan di Sumbar. Begitu juga dengan profesi diluar itu.

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perlombaan antar kepala daerah dalam memajukan daerahnya. Selama ini, Sumbar disangga oleh kekompakan pihak rantau dan ranah. Semua kalangan dipengaruhi, agar memperhatikan Sumbar. Namun, dewasa ini sulit itu diharapkan. Semua daerah merasa perlu diperhatikan. Bagi yang kuat kerjasama antar tokoh, bakal mampu meraih prestasi.

Banyuwangi adalah contoh terbaik. Saya mengenal Abdullah Azwar Anas sejak kuliah. Begitu juga ketika menjadi anggota DPR RI. Bupati Banyuwangi ini satu-satunya yang menulis buku tentang apa yang ia kerjakan selama menjadi anggota DPR RI. Hal itu menunjukkan bagaimana pertanggung-jawabannya kepada publik.

Kian ke sini, kian sulit menemukan anggota DPR RI seperti itu. Begitu juga kepala daerah. Akibat langsung yang terasa adalah kesulitan juga menemukan catatan kekurangan atau kelebihan masing-masing pihak yang menjalankan mandat rakyat itu. Mana yang perlu diperbaiki, mana yang sudah diperbuat, menjadi sulit ditemukan. Tidak jarang calon-calon pemimpin baru mengulangi apa yang sebetulnya sudah dijalankan oleh pemimpin sebelumnya.

Dari empat orang calon gubernur Sumbar, hanya satu orang yang lengkap menjadi eksekutif. Yakni dari Aparatur Sipil Negara atau Pegawai Negeri Sipil sejak tamat Sekolah Menengah Atas, Bupati Pesisir Selatan selama dua periode, setelah itu Wakil Gubernur Sumbar. Artinya, sangat memahami apa yang menjadi bidang pekerjaan menjadi seorang pimpinan eksekutif. Tokoh itu adalah Nasrul Abit.

Tiga orang yang lain sama sekali tak memiliki karier sebagai ASN yang lengkap.

Yang tentu punya pengalaman teritorial di pelbagai daerah adalah Fakhrizal, ASN di Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sejak Polri dipisahkan dengan Tentara Nasional Indonesia, tugas keamanan dan supremasi sipil diserahkan kepada Polri. Fakhrizal sangat profesional di bidang ini. Fakhrizal termasuk sosok yang menjadikan kepolisian di Sumbar, khususnya, pun dalam instansi kepolisian di Mabes Polri, umumnya, tidak lagi dikenal tajam ke bawah, tumpul ke atas. Ia memiliki reputasi membantu kalangan warga biasa dalam meraih keadilan.

Mahyeldi Ansyarullah adalah seorang ulama yang berkiprah menjadi umara. Ia berhasil memadukan nilai-nilai relegiusitas dengan kepemimpinan formal yang sekular. Tak kehilangan jati diri sebagai seorang ustadz. Perubahan yang terjadi dalam kepemimpinan Mahyeldi, menurut saya sangat bisa dijadikan satu buku yang baik di masa datang.

Mulyadi, saya tidak tahu kiprah di DPR RI. Tetapi ia berhasil membuat pemahaman yang baik di lapangan. Lampu-lampu jalanan, misalnya, terdapat nama Mulyadi sebagai legislator nasional yang "membawa" ke Sumbar. Tim yang bekerja untuk Mulyadi menurut saya adalah tim terbaik selama lima belas tahun terakhir ini, dalam menyambung hubungan emosional antara legislator dengan publik badarai.

Saya tentu coba ikuti kiprah Mulyadi, walau sangat sukar mendapatkan data. Bahkan, saya sendiri belum pernah berdiskusi secara pribadi dengannya. Akun media sosialnya pun tidak ada dalam daftar yang saya ikuti. Walau, saya sangat dekat dengan Andi Arief, Panca, dan kader-kader Partai Demokrat lain. Bahkan tentu dengan Hinca Panjaitan. Soal kedekatan dengan Andi Alifian Mallarangeng (Anto) dan Anas Urbaninggrum, dua sosok yang membentuk karakter awal Partai Demokrat, jangan tanya lagi. Dibanding dengan Rizal Mallarangeng (Celli), tentu saya lebih dekat dengan Anto. 

Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, pernah menelepon saya sebanyak sembilan kali. Missedcall. Saya telepon Syarief Hassan, setelah membaca pesan beliau. Sejumlah profesional yang bekerja di lingkungan Pak SBY ataupun Agus Harimukti Yudhoyono adalah "jebolan" pendidikan khusus dari saya pribadi.  

Anto, Anas, ataupun Hinca, adalah sosok-sosok masyarakat sipil sebelum masuk ke dalam lingkungan komunitas politik. 

Ketika Koalisi Media mengawal proses transisi demokrasi di bidang pers dan penyiaran, saya menjadi Manager Program. Hinca Panjaitan, Garin Nugroho, Agus Pambagio, Lukas Luwarso, Agus Sudibyo, Dono Prasetyo, hingga Mariza Hamid adalah dedengkot dalam Koalisi Media ini. Hinca dan kawan-kawan bergerak dengan Pohon Demokrasi ke seluruh negeri.

Bersama Garin Nugroho juga saya terlibat dalam pembuatan film Pustaka Tokoh Bangsa, antara lain sosok Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir. Kami bekerjasama dengan putra-putri dari tokoh-tokoh penting itu. Silakan cari "Bung Hatta: Kesunyian Yang Berbisik".

Nah, siapa di antara empat kandidat itu yang sudah memiliki buku? 

Silakan mention akun facebook atau twitter saya. Saya mau baca selama minggu tenang ini. Mana tahu, nanti saya bisa dapat input yang baik. 

Walau tidak bisa lagi kampanye di media sosial, kan saya masih bisa pakai smartphone saya bertelepon ria, kan?

Selamat merenung...

Jakarta, 05 Desember 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun