Trauma berlarut terjadi ketika peristiwa elite itu merembes ke rakyat. Para pendekar berilmu silat tinggi dengan mudah meringkus kelompok PKI yang duduk pada barisa yang lebih berkuasa zaman itu. Rapat demi rapat memakmurkan tubuh dengan ideologi revolusioner dan proletar mereka. Tubuh yang lamban, lupa latihan, hingga mudah dipataskan dengan satu -- dua sapuan jurus.
***
Andai Peristiwa Bubat difilmkan, apakah perputaran energi arus kerbau juga bakal terjadi. Bayangkan, akibat dari operasi kontra intelijen terhadap pahlawan penyatuan nusantara bernama Mahapatih Gajahmada itu masih terasa. Padahal, sudah berusia 663 tahun. Sekitar 12 kali lipatan tahun dibandingkan dengan G30S 1965. Energi kerbau sekuat apa yang bisa memutari kumparan selama itu?
Dampak Peristiwa Bubat itu jauh lebih fatal dibandingkan dengan stigmatisasi Melayu berbeda antar negara penjajah tadi. Tak banyak lagi perbedaan antara orang Melayu se-kawasan, dibanding orang Jawa merasa berbeda dengan orang Sunda/Banten. Kesumat dendam masih terserak di banyak altar budaya. Berlapis dengan politik aliran. Ketika PDIP tidak dapat kursi DPR di Aceh dan Sumbar tahun lalu, PAN pun alami hal yang sama di Jawa Tengah.
Bagi saya, menggali dokumen sezaman terkait Peristiwa Bubat jauh lebih penting, ketimbang terus bersitumpu dengan putaran kumparan yang sama seputar G30S/PKI. Seakan tulisan yang berada dalam daun-daun lontar terkait perisiwa itu sudah dibuang jauh, dihitamkan. Siapapun bakal kesulitan melacak kebesaran Gajahmada dalam bentuk penghormatan kepada Panglima Tertinggi Armada Majapahit yang berbendera Keris Mpu Gandring itu.
Didaulat dengan hebat oleh Muhammad Yamin lewat untaian kalimat Sumpah Palapa, dinyatakan berhasil menyatukan Nusantara, akhir Gajahmada dipermalukan ketika hendak pensiun. Dengan julukan sebagai bandot pemetik bunga. Bahwa Gajahmada adalah anak muda sakti yang paling dipercaya untuk menjaga kamar tidur putri-putri Kartanegara hingga Dara Petak, sama sekali terlupakan. Bukan saja persatuan nusantara tak berhasil dipertahankan, malah di tanah yang sama, terjadi pertikaian terus-menerus hingga berwujud perbedaan politik zaman kini.
Bagaimana Nusantara bisa disatukan, sementara duri dari tulang yang terinjak di Bubat masih tertanam di dalam hati, babad, dan tuturan orang Sunda dan Jawa di pulau yang sama? Padahal, kunci persatuan nusantara adalah persatuan kuat antara Jawa dan Sunda ini
Lontara hitam yang menyimpan sobekan berdarah itu ternyata sudah ikut menjadi batu. Dibutuhkan usaha yang keras guna mengubah lontara itu kembali putih...
Jakarta, 29 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H